Di tengah-tengah hal seperti itu, penerjemahan kitab yang temanya terbilang kontroversial ini menjadi penting untuk dilakukan. Setidaknya untuk mengimbangi pandangan-pandangan negatif terhadap para jomblowan dan jomblowati. Bahwa, memilih jomblo, bahkan untuk seumur hidup pun, tidak melulu sebuah hal negatif. Bahkan sebaliknya, menjomblo seumur hidup, bisa menjadi hal yang bersifat positif.
Telah menjadi mafhum bahwa menikah adalah sunnah Nabi yang sangat dianjurkan dan diutamakan. Bahkan salah satu hadis secara tegas menyatakan bahwa; “al nikahu sunnati, faman raghiba an sunnati falaysa minni” (nikah itu sunnahku, barang siapa tidak suka sunnahku, maka tidak termasuk kelompokku). Pertanyaan awam tentang fenomena ini mungkin saja adalah: ‘apakah para Ulama besar itu berani tidak mengikuti sunnah Nabi?” Tentu saja kita tidak akan berani secara gegabah menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban “ya”, karena di jajaran ini kita menemui mereka yang tidak diragukan lagi kealiman dan kesalehannya, seperti Ibnu Jarir At-Thabari, Imam Nawawi al-Dimasyqi, Ibnu Taimiyah, Syaikh Zamakhsyari, dan beberapa ulama besar lain yang secara begitu detil diuraikan dalam buku ini.
Membaca fenomena ini memerlukan kearifan akan maslahat dan manfaat, kepekaan kontekstual, pemahaman akan prioritas (darury-hajiy-tahsiny), juga kritisisme sosial-psikologi. Bagian awal buku ini telah secara jernih menguraikan hal tersebut. Alih-alih
menganggap mereka sebagai mengabaikan amanat Nabi untuk menikah, saya justru menganggap mereka sebagai manusia-manusia mulia yang mengorbankan kenyamanan hidup berkeluarga demi ilmu dan kemanfaatannya untuk umat. Mereka adalah orang-orang yang berjuang dan berkorban, demi ilmu-umat dan kemaslahatan.