Ketika gairah ditekan, nafsu dikekang dan insting dipenjarakan, maka dunia terasa begitu membosankan. Naluri dikebiri. Aliran darah berhenti, wajah pun pucat basi. Manusia gersang karena kurang makan, tandus karena sedikit minum, begitulah naluri bila dipaksa untuk terus berpuasa meski nantinya juga berbuka. Insting yang melemah karena hak pemuasannya dilarang membuat kita tidak bertaring dan bercakar merah. Manusia pun tercerabut dari pesona alamiah. Kita menjadi makhluk zombie, tanpa semangat dan kurang berapi.
Agama dan moralitas selalu membenci nafsu dan naluri, dianggapnya sebagai lawan yang suci, perwujudan si iblis api. Hasrat ditabukan, dan pengungkapannya disamakan dengan pemberontakan. Agama enggan menatap kenyataan, tidak mau berkawan dengan hidup, malah menggandrungi yang kering dan penuh beban. Agama dan moralitas memang sering menghambat pencapaian dan pengungkapan diri manusia dalam sejarah. Masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan, kenyamanan dan kesenangan menghalangi manusia untuk tumbuh dewasa menatap tantangan dunia luar. Terlalu merayakan masa lalu, takut menghadapi imaji masa depan yang tak pasti. Kita mudah puas dengan kemapanan, benci adanya perlawanan, sebisa mungkin kita tetap diam dan tenang.
Agama sebenarnya sangat menuhankan masyarakat. Tuhan adalah simbol dari masyarakat yang disakralkan. Ia menancapkan patok-patok besi yang terbuat dari norma dan aturan. Ia adalah fakta eksternal yang menekan individu-individu seperti kita. Kita berpikir, bertindak dan merasakan, harus sesuai dengan kategori-kategori yang diciptakan masyarakat. Manusia dikungkung oleh jeruji ide moral kolektif. Moral kawanan yang harus diikuti dengan merunduk takluk. Kita disatukan oleh sesuatu yang artifisial dan penuh paksaan. Solidaritas yang hampa penuh kemunafikan. Bermoral sesuai dengan ide masyarakat jelas-jelas memiliki kelemahan mendasar, karena apabila masyarakat kita sakit dijangkiti patologi dan anomali maka kita sedang menisbahkan diri pada jiwa yang meradang. Norma masyarakat bisa membuat individu kehilangan keunikannya, terhisap pusaran besar moral pasaran. Akhirnya, kebudayaan terhalang mekar oleh yang suci dan terlarang. Kita pun menjadi lamban, takut untuk dewasa dan mengembang.
Alangkah keringnya menjadi manusia normal. Merunduk pada sopan-santun dan basa-basi. Diperbudak oleh hati nurani. Hidup pun menanggung penat keumuman dan diseret penyesuaian. Sebenarnya kita menganut sebuah agama gerombolan, agama perkawanan, mengidap lemah mental dalam menghadapi kekosongan dan kesendirian. Takut tersesat dalam gelap malam. Terlalu tergantung dan memuja cahaya terang. Tidak biasa melihat warna hitam. Ya, inilah awal munculnya moralitas budak, moralitas kerumunan.
Zaman onta yang bodoh, dibebani iman dan kepercayaan, dipecundangi oleh norma dan kesantunan, layak segera diakhiri. Agama yang tidak dewasa selalu menciptakan ketergantungan, seperti seorang anak yang tidak mau berpisah dari bapaknya. Memeluk agama sama dengan terus mendekap dan memohon perlindungan pada sang ayah. Takut menghadapi dunia luas sendirian tanpa penjaga dan pelindung. Tuhan itu seperti seorang ayah, tempat kita meminta bantuan dan pertolongan walaupun ia juga sering memarahi dan menghukum kita. Meningggalkan agama berarti kita memutuskan untuk hidup dewasa, meski awalnya penuh kesulitan dan konflik batin mendera. Otonom berarti bersedia meninggalkan daratan yang nyaman menuju badai lautan. Manusia harus mandiri, tak segan mengarungi samudera ketidakpastian walau hanya berbekal sampan bambu reot tak memadai. Badai dan tantangan tak perlu kita takuti, justeru dengan mengalaminya akan memperbesar potensi-potensi alamiah dalam diri. Kapal yang paling kuat dan terbesar adalah mental pemberani.
Mari kita menuju suatu era, di mana roh singa yang selama ini letih berpuasa sehingga haus dan kelaparan dari pemuasan, siap mengaum dan menerkam. Merobek-robek tatanan, mencabik-cabik dogma, tabu, dan aturan yang sudah lama usang memfosil di palung terdalam alam bawah sadar. Gunung yang menanggung beban pun memuntahkan perutnya yang kembung berisi lava dendam dan kebencian. Roh pemberontakan siap dilahirkan. Dataran dan jalanan dengan gembiranya bersorak menyongsong pesta anarki dan pembangkangan. Tubuh terguyuri emosi dan kemarahan, bebas dari kekangan dan pendisplinan.
Era singa mempersiapkan munculnya putera anggur yang terlambat. Anak haram yang tak diinginkan lahir oleh nabi langit dan agama keramat. Karena ia mengabarkan tentang tragedi kriminal kerasukan tuhan yang mengakibatkan para nabi menggila, bersyair sambil kelojotan. Anak haram, putera sang malam, menghembuskan nafas api yang membangkitkan perlawanan, menggoncang tatanan. Orde langit khawatir terlucuti kedok keilahiahannya yang menyembunyikan hasrat penguasaan dan eksploitasi moral. Tubuh para nabi menggeliat kepanasan oleh syair kuda liar yang berlari bebas tanpa kekangan. Wahyu digerogoti oleh kritik duniawi, ternyata yang gaib itu bualan besar demi sebuah korupsi moral. Dalam jiwa anak haram, pikiran berkecamuk tak pernah diam, penuh letupan vulkanis, kaya akan khayalan. Nafas menyempal, kembang kempis susul-menyusul berdegup kencang. Kaki-kaki gemeretakan mengeluarkan pijar panas melepuhkan jalanan. Berlari tanpa jantung tanpa lelah, seolah terbang di atas tanah. Menjelajah dari satu ceruk ke ujung ceruk alam semesta terdalam. Baginya, dunia bukanlah kuburan, sebagaimana yang dipercaya oleh orang-orang beriman, yaitu tempat ziarah sementara bagi imaji yang mati. Dulu menghujat Tuhan dan Nabi merupakan dosa besar. Kini, menistakan dunia dan naluri adalah keterasingan, suatu bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Roh anggur menghidupi dunia layaknya wahana rekreasi bagi jiwa riang tanpa beban. Melepaskan peluru penderitaan. Surga pencapaian. Dunia tanpa paksaan, tanpa dosa, yang ada nyanyian ekstase penuh kegembiraan.
Revolusi kehidupan diawali dengan meresapi roh singa yang garang. Melepas ikatan dan meledakkan hasrat-keinginan. Persetan dengan yang suci dan ilahi, karena keduanya kedok dari nalar mitis yang mengidap patologi. Biarkan saja tubuh kita menghambur-hamburkan api emosi, sebuah kelegaan tiada terperi. Selama ini roh onta telah membuat gerak kita lamban penuh beban. Paranoid dengan dosa. Membudak pada pengekangan, menghamba pada penjara kurungan. Terlalu menahan rasa sakit. Terseret disiplin sempit. Yang dulu diam terbungkam kini bersuara lantang. Yang teratur sudah saatnya mundur. Yang tertata tidak lagi mempesona, dan yang bercahaya tidak bisa dipercaya. Yang berkuasa dalam aliran darahku adalah naluri kesurupan, naluri bahagia milik orang-orang gila. Tak ada penyesalan di masa lalu, karena ku selalu terpesona oleh hari-hari baru. Mabuk memperagakan tarian linglung ketidaksadaran. Aroma wangi anggur pun berkawan dengan pikiran cenayang, memproyeksikan imajinasi liar ke dunia luar. Inilah syahadat masa depan, yang menancap kuat dalam saraf rumus kehidupan, yaitu asas ketidakpastian.
Saatnya kita rayakan kelahiran kembali sang putera api, setelah lama mendekam di dasar neraka terdalam, yaitu kerak hitam tempat bersemayamnya dorongan-dorongan yang selalu kita tekan melalui larangan dan kewajiban moral.
“Dulu, aku seorang pahlawan. Terkemuka seantero alam. Sambungan segala rintih penderitaan. Kanal bagi yang tertekan, ksatria kalangan kaum paria, dan pejuang untuk mereka-mereka yang selalu terkalahkan oleh kenyataan. Karena difitnah oleh para nabi langit, aku pun meradang pesakitan, mengidap virus pecundang. Tersudut di lorong-lorong keputusasaan. Kegelapan merupakan rumahku dalam keabadian. Banyak orang yang geram dengan tujuan hidupku. Takut kehilangan kuasa dan wibawa, karena aku seorang durjana, pembangkang yang suka melawan. Tata tertib sosial cemas dengan keberadaan diriku, oleh karena itu anarki adalah dosa yang melekat pada sejarahku. Mereka para nabi tidak mau agamanya menjadi sepi. Butuh tumbal totem sebagai ritus dan ibadah setiap hari. Tempat segala cacian dan hinaan. Pelepasan orgasme moral. Aku, musuh bersama orang beriman. Metamorfosis yang sempurna, dari pahlawan menuju pecundang. Asal-usul segala kejahatan yang tak mau dipikul tuhan. Ribuan abad, mereka memanggilku dengan sebutan Iblis Setan.”
Awalnya yang ada adalah gelap. Sumber dari segala kehendak kehidupan. Ia hanya mengada begitu saja, tidak muncul dari tiada. Tidak bisa terpikirkan bagaimana ia tiada, karena yang ada tidak mampu membayangkan yang tiada. Gelap merupakan materi pertama alam semesta, roh bagi benda dan gugusan bagi pikiran. Gelap tidak pernah tiada, ia hanya ada, menggentayangi semua yang ada. Itulah mengapa hantu kesurupan identik dengan kegelapan. Meski suram dan kelam, gelap begitu alamiah, naluri paling terdalam yang bergerak spontan.
Gelap merupakan penanda ketidakpastian, semacam ketidakterbatasan yang tak berujung maupun berpangkal. Penuh misteri yang takkan habis untuk diketahui. Eksistensi pengetahuan itu sebenarnya absurd dan kerdil, kesia-siaan. Kelahirannya selalu mengundang ketidaktahuan berikutnya. Satu pengetahuan baru muncul, akan diikuti ribuan misteri ketidaktahuan. Capaiannya memang sejarah besar bagi umat manusia, namun ia hanya sekeping bara di tengah gelapnya samudera tak terkira. Ketidaktahuan lebih melanda dan menggejala, selalu berlari jauh di depan ilmu pengetahuan yang tertatih-tatih. Benda-benda bercahaya adalah pengkhianat. Berusaha membunuh naluri malam, inangnya sendiri. Cahaya itu parasit, penumpang dalam kereta remang-remang. Pembokong dan penelikung. Begitulah sedikit percikan risalah buram dari asal-usul yang gelap, sumber kehidupan. Sangat purba dan primitif, penuh manipulasi, fitnah dan muslihat. Gelap inilah yang mengisi eksistensiku, massa dan pikiran alamiah diriku, Iblis yang dilaknat. Aku bercerita seperti ini hanya bermaksud mengembalikan harga diriku yang dirampas oleh cahaya suci milik para Nabi. Aku yang terkutuk takkan berhenti menggoda, berteriak keras ataupun berbisik lirih, agar ada makhluk yang berani mengungkap fitnah kolosal yang hampir sama tuanya dengan umur umat manusia