"Ceraikan aku, Mas!" ucap Niken dengan lantang.
Ucapan Niken menghentikan langkah Ryan. Dia yang sudah memegang handle pintu menoleh pada istrinya itu. Niken berdiri menatapnya dengan tatapan tajam. Tidak ada lagi tatapan sendu penuh damba seperti yang selama ini dia lihat.
"Jangan bercanda soal perceraian. Sampai kapanpun kita tidak akan bercerai," jawab Ryan.
"Kalau begitu biar aku yang menggugat cerai di pengadilan. Aku akan mengajukan khulu. Sepertinya pengadilan tidak akan menolak gugatanku. Setahun ini sudah cukup dijadikan alasan untuk menggugat cerai!"Niken bicara dengan tenang. Jika dulu dia selalu sopan dan tunduk pada suaminya. Maka mulai hari ini, perempuan itu berhenti melakukannya.
"Ma ...!" Ryan melangkah mendekati istrinya.
"Jangan kekanak-kanakan seperti ini. Astrid sedang membutuhkanku. Aku harap kamu mengerti," ucap Ryan.
Niken tertawa mendengar ucapan suaminya. Tawa bercampur dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.
"Kamu bilang aku kekanak-kanakan? Kamu bilang Astrid membutuhkanmu? Apa kamu pikir aku tidak membutuhkanmu? Apa kamu kira Safa, putrimu itu tidak membutuhkanmu? Apa cuma Astrid yang ada di kepalamu?" teriak Niken meluapkan isi hatinya yang sudah lama dia pendam.
"Sejak kamu menikahi perempuan itu, tidak pernah lagi peduli pada kami. Dalam seminggu hanya sehari kamu datang menemuiku, itupun pergi lagi jika istri mudamu itu menghubungimu." Niken melanjutkan ucapannya.