Hatiku berdesir mendengar permintaan istriku--Lisa yang sebenarnya tak seberapa itu. Hanya ayam kampung yang harganya mungkin hanya lima puluh ribu, tetapi apa mau dikata jika pendapatanku terkadang tidak sampai segitu.
Jangankan ayam kampung. Setiap hari bisa makan tempe saja kami sudah bersyukur. Terkadang kami hanya makan dengan lauk kerupuk yang kubeli seharga seribu lima ratus di pedagang keliling.
"Insyaallah, ya Dik. Nanti abang usahakan," jawabku untuk menghibur hati istriku.
"Lisa rindu opor ayam buatan Amak di kampung Bang, biasanya kalau lebaran kan Amak pasti motong ayam dan dimasak opor, terus dimakan pakai ketupat."
"Iya, Dik. Adik doakan abang supaya jualan kita laris ya."
"Iya, Bang, doa buat Abang, Afifah, Amak dan Apak pasti Lisa panjatkan setiap hari," jawabnya kemudian.
Aku beranjak ke kamar mandi untuk memyamarkan bulir bening yang tak tahu diri keluar dari sudut mataku. Miris rasanya hatiku saat ini.
Sudah hampir satu bulan kami *terbuang* di daerah yang sangat asing untuk kami, karena kesalahan yang tidak aku perbuat.
***