ATURAN baru kolonialisme yang ditekankan oleh Herman Willem Daendels kepada keraton Jawa tengah-selatan pada 1808โ1810 menyulut kegelisahan di jantung ibu kota Kesultanan Yogyakarta. Di mancanegara timur kesultanan, Raden Ronggo Prawirodirjo III (1779โ1810) menentang praktik kolonialisme dan imperialisme Belanda itu pada 20 Novemberโ17 Desember 1810. Raden Ronggo menjadi tokoh penting yang memainkan peran besar sebelum runtuhnya masa tatanan lama setelah Perang Jawa (1825โ1830) dan secara tidak langsung mengantar kelahiran tatanan baru di Jawa. Memang, perlawanannya gagal dan dia dianggap sebagai pembelot, sehingga jasadnya dikebumikan di kompleks makam pemberontak di Banyusumurup, Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menyebut โsetelah lenyapnya Raden Ronggo, sebetulnya Kerajaan Yogyakarta sudah tak punya lagi seorang pelagaโ. Pasca-kemerdekaan, Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan Raden Ronggo sebagai โpejuang perintis melawan Belandaโ dan memindahkan jasadnya ke Astana Giripurno di Magetan pada 1957. Buku ini berisi riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III, Bupati Madiun sekaligus Bupati Wedana Mancanegara Timur di bawah Kesultanan Yogyakarta (1796โ1810), yang mengobarkan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Dalam babad autobiografinya yang ditulis dalam pengasingan di Manado pada 1831โ1832, Pangeran Diponegoro menganggap Raden Ronggo Prawirodirjo III sebagai suri teladan bagi perjuangannya selama Perang Jawa.