Bidadari Cadar Putih

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 წიგნი 16 · Pantera Publishing
ელწიგნი
113
გვერდი
რეიტინგები და მიმოხილვები დაუდასტურებელია  შეიტყვეთ მეტი

ამ ელწიგნის შესახებ

APA yang dikatakan Cucu Dewa benar adanya. Karena laki-laki bertubuh pendek Ini memang sempat jumpa dengan perempuan yang mengenakan pakaian putih dan seluruh wajahnya ditutup pula dengan cadar yang juga berwarna putih. Perempuan ini tidak lain memang orang yang menolong Dewa Orok dari tindakan Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa yang menanam tubuh pemuda bertangan buntung itu dalam tanah dengan keadaan tertotok.


Entah apa yang dirasakan si perempuan bercadar putih, namun begitu Dewa Orok sempat sebut-sebut nama Joko, ada getaran aneh di dadanya. Hingga meski ia mengatakan harus pergi setelah memberi pertolongan, namun sebenarnya dia tidak begitu saja berlalu. Dia coba mengelabui Dewa Orok dengan hentakkan kuda tunggangannya keras-keras, hingga kuda tunggangannya itu berlari kencang. Padahal sebenarnya si perempuan bercadar sendiri tidak pergi jauh dari tempat di mana tadi dia menolong Dewa Orok.


Secara diam-diam, si perempuan bercadar putih lalu mengikuti ke mana Dewa Orok melangkah. Dan perempuan bercadar putih ini sempat terkesiap tatkala tiba-tiba mendapati Dewa Orok jumpa dengan Joko. Dadanya berdebar keras. Kalau menuruti kata hati, ingin rasanya dia tunjukkan diri. Namun ada sesuatu yang membuatnya bertahan untuk terus sembunyi meski dengan hati makin bergejolak. Selain itu, ada hal lain yang membuat dia bertahan sembunyi yakni karena saat itu ada seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan jubah merah menyala di samping Joko Sableng.


Begitu Dewa Orok berkelebat pergi meninggalkan murid Pendeta Sinting dan perempuan muda mengenakan jubah merah, si perempuan bercadar kembali dilanda perasaan bimbang. Malah karena tenggelam dalam kebimbangan, hampir saja Joko memergokinya kalau dia tidak keburu berkelebat. Dan untung suasana gelap menolongnya. Hingga meski Joko sempat mengejar, namun dia pada akhirnya bisa meloloskan diri dan terus mengikuti langkah Dewa Orok.


Pada awalnya, begitu si perempuan bercadar putih bisa lolos dari kejaran Joko Sableng, sebenarnya dia ingin sekali berbalik dan mengikuti murid Pendeta Sinting. Dada perempuan ini kembali dibuncah rasa ragu dan bimbang. Namun ingat akan dirinya dan gadis muda yang ada di samping Joko, pada akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Dewa Orok. (Tentang pertemuan Dewa Orok dengan Joko Sableng silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : “Sekutu Iblis”).


Si perempuan bercadar putih tidak tahu mengapa dia memutuskan mengikuti langkah Dewa Orok. Dia hanya memperturutkan perasaan. Dan begitu memasuki kawasan yang banyak ditumbuhi ilalang dan ranggasan semak belukar, dia menangkap suara tawa orang bersahut-sahutan. Dia sengaja tidak teruskan langkah untuk mengikuti Dewa Orok yang terus berlari seakan mengejar suara orang yang tertawa di tengah kawasan ranggasan semak belukar. Lalu dia menangkap bentakan-bentakan yang memberi pertanda jika Dewa Orok telah berhadapan dengan orang yang tadi perdengarkan tawa yang bukan lain adalah dua orang laki-laki yang wajahnya diberi bedak arang hitam


Saat dia menyimak ucapan-ucapan orang dari jauh tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu di hadapan perempuan bercadar putih telah tegak seorang laki-laki bertubuh pendek yang tidak lain adalah Cucu Dewa.


Perempuan bercadar putih sempat terkesiap dengan kemunculan Cucu Dewa. Namun karena tidak mau orang tahu apa yang sedang dilakukannya, si perempuan bercadar putih segera saja hendak berkelebat pergi tanpa bicara sepatah kata.


“Kuharap kau tidak menaruh curiga padaku! Aku tidak akan mempersoalkan apa yang sedang kau lakukan di sini. Aku hanya kebetulan lewat…,” ujar Cucu Dewa membuat gerakan si perempuan bercadar putih tertahan.


Sepasang bola mata si perempuan bercadar putih sesaat perhatikan orang di hadapannya. Tapi sejauh ini dia belum juga perdengarkan suara hingga Cucu Dewa kembali berucap.


“Apa kau juga sedang kebetulan lewat…?’


Si perempuan bercadar menjawab dengan anggukkan kepala. Sementara Cucu Dewa coba pandangi si perempuan seolah ingin mengetahui siapa adanya orang.


“Boleh aku tahu. Hendak ke mana kau?!”


Si perempuan bercadar putih tidak segera menjawab. Dan seakan tahu apa yang ada dalam benak orang, Cucu Dewa cepat-cepat sambungi ucapannya. “Sekali lagi kau tak usah menaruh curiga! Aku bertanya semata-mata hanya ingin tahu. Barangkali kita satu arah jalan….”


Si perempuan bercadar putih masih juga kancingkan mulut tidak perdengarkan suara. Cucu Dewa tidak tinggal diam. Dia kembali buka mulut.


“Kau tampaknya sedang dalam keadaan bimbang. Tubuhmu di sini, tapi pikiranmu berada jauh!. Pandangan matamu mengatakan hal itu! Benar?!”


Pancingan Cucu Dewa kali ini tampaknya membawa hasil. Karena si perempuan bercadar putih segera perdengarkan suara sahutan.


“Kau rupanya pandai juga menebak orang dari matanya…. Mau sebutkan nama?”


Cucu Dewa tertawa perlahan. “Apalah artinya sebuah nama. Lagi pula dengan keadaanmu begitu, kau pasti juga tidak ingin untuk dikenali! Betul bukan?! Dari itulah maka percuma saja aku sebutkan nama, karena kau tidak akan perkenalkan diri!”


Mendengar ucapan Cucu Dewa, si perempuan bercadar putih mulai perdengarkan tawa meski ditahan. “Harap maafkan. Ini kulakukan bukan karena aku tidak mau dikenali. Tapi ada sesuatu yang mengharuskan aku begini! Dan ini kulakukan bukan karena ada hubungannya dengan orang lain, tapi semata-mata berkaitan dengan diriku sendiri….”


“Aku maklum…,” ujar Cucu Dewa. “Kadang kala seseorang memang dituntut untuk melakukan sesuatu yang membuat orang merasa curiga! Hem…. Sekarang apakah kau mau mengatakan hendak ke mana?!” kata Cucu Dewa mengalihkan pembicaraan.


Entah apa yang menyebabkan si perempuan berterus terang. Yang jelas perempuan bercadar putih segera menyahut.


“Sebenarnya aku tak tahu akan ke mana….”


Cucu Dewa arahkan pandangan pada jurusan dimana terdengar suara-suara bentakan.


“Kau mengikuti pemuda bertangan buntung itu?!”


“Aku hanya menuruti perasaan….”


“Kau mengenal pemuda itu?!”


Si perempuan bercadar putih gelengkan kepala, membuat Cucu Dewa sedikit kerutkan dahi sebelum akhirnya berkata pula.


“Apa yang dikatakan perasaanmu hingga kau mengikutinya?!”


“Aku tak tahu. Yang jelas aku menduga dia membutuhkan orang lain….”


“Mau ikuti saranku…?!” tanya Cucu Dewa sambil menatap ke bola mata si perempuan. Meski nada bicaranya ajukan tanya, namun laki-laki bertubuh pendek Ini tidak menunggu orang jawab pertanyaannya, karena saat itu juga dia telah menjawab ucapannya sendiri. “Tinggalkan pemuda itu…. Kau perlu waktu untuk berpikir lama. Jangan tanya kenapa aku mengatakan demikian. Mungkin satu hari nanti kau akan temukan jawabannya sendiri….”


“Sepertinya kau mengenal pemuda itu!” kata perempuan bercadar putih.


“Dari saranku tadi, kurasa tak perlu lagi aku mengatakan mengenal atau tidak pemuda itu….” Cucu Dewa tiba-tiba arahkan pandangannya pada arah mana bentakan-bentakan jauh di depan sana terdengar. Bersamaan itu mendadak bentakan-bentakan di depan sana tidak lagi terdengar.


“Aku mencium adanya bahaya…. Aku harus segera pergi….”


Cucu Dewa berpaling. Laki-laki bertubuh pendek Ini tersentak. Ternyata si perempuan bercadar putih sudah tidak ada lagi di tempatnya.


“Muridku…. Mudah-mudahan perempuan tadi adalah karunia Yang Maha Pengasih untukmu…,” desis Cucu Dewa seraya mendongak memandang langit. Saat bersamaan kakinya bergerak. Sosoknya berkelebat lenyap di antara ranggasan semak belukar dan ilalang.


Berlari sejarak seratus tombak dari tempatnya semula, perempuan bercadar putih berhenti. Kepalanya sejenak berpaling ke kiri kanan. Ternyata dia mendapatkan diri sudah berada di luar kawasan semak belukar dan ilalang di mana tadi dia sempat berjumpa dengan Cucu Dewa.


Perempuan bercadar putih melangkah lalu duduk di bawah sebuah pohon. Perlahan-lahan kepalanya di sandarkan pada batangan pohon di belakangnya dengan sedikit di tengadahkan. Sepasang matanya yang merupakan satu-satunya anggota wajahnya yang terlihat tampak memandang jauh bahkan melampaui rindang dedaunan pohon di mana dia berada.


“Apa sebenarnya yang kucari dalam perjalananku ini? Mengapa aku tidak dapat berdamai dengan hatiku? Aku tahu…. Sejak jumpa pertama dahulu aku merasakan keanehan dalam diriku, tapi saat itu aku masih punya harapan, meski untuk mencapai harapan itu harus ku langkahi beberapa halangan. Aku tak tahu…. Mengapa aku begitu berani ambil risiko, walau untuk itu nyawaku lah yang harus kujadikan jaminan….


Ah, itu saat-saat yang berlalu! Kini tidak mungkin lagi aku menggantungkan harapan meski beberapa halangan telah pula berlalu. Aku bukan lagi yang dulu.


Dan kurasa dia pun demikian juga…. Tapi mengapa aku tidak dapat melupakannya? Padahal aku tahu, semuanya akan berakhir dengan perasaan kecewa kalau kupaksakan! Aku sadar…. Mungkin dia diciptakan bukan untukku. Dia seorang pemuda tampan dan punya ilmu. Namanya juga dikenal dan harum. Tak heran jika banyak gadis yang coba mendekati dan mengerumuninya….”


Perempuan bercadar putih katupkan sepasang matanya dengan menghela napas dalam. “Gadis berjubah merah…. Dia memang cantik jelita. Mereka berdua tampak serasi dan pantas berdampingan…. Tapi, mungkinkah gadis berjubah merah itu tidak punya maksud apa-apa?! Dari pembicaraan orang-orang yang sempat kudengar, aku merasa ada hal besar yang hendak terjadi! Apalagi pembicaraan yang menyebut-nyebut malam purnama…. Jangan-jangan gadis berjubah merah itu….”


Tiba-tiba perempuan bercadar putih tertawa sendiri. “Masih pantaskah aku menaruh rasa cemburu pada gadis yang berada di sampingnya? Tapi…. Aku tidak bisa menipu diri sendiri. Sepenggal hatiku telah terbawa olehnya sejak jumpa pertama itu! Dan apa pun yang terjadi nanti, aku akan tetap meletakkan hatiku padanya meski aku sadar, dia tidak mungkin tergapai oleh tanganku…. Kedua tanganku sudah terlalu lemah untuk menggapainya. Sementara banyak tangan lentik dan kuat yang melingkari dirinya!”


Si perempuan bercadar putih kembali buka kelopak matanya. Untuk kesekian kalinya dua pasang bola mata itu menerawang jauh memandang langit. “Hem…. Cinta kadang bukan harus dengan memiliki. Lebih dari itu, cinta adalah milik siapa saja. Termasuk diriku yang mungkin tidak layak lagi…. Hem…. Saat ini aku hampir merasa yakin kalau dia sedang menghadapi satu urusan besar!”


Si perempuan bercadar putih terlihat angkat tangan kanannya lalu menghitung. “Purnama tinggal sembilan hari lagi…. Apa sebenarnya yang akan terjadi? Aku harus….” Perempuan bercadar putih serentak bangkit. Sesaat dia tampak hendak berkelebat. Namun satu perasaan yang muncul tiba-tiba membuat gerakannya tertahan. la tampak bimbang.


Tanpa sadar sepasang mata perempuan bercadar putih memandang berkeliling. Anehnya yang terlihat olehnya saat itu adalah kabut putih tipis yang pada saat lain mendadak membentuk sosok-sosok gadis muda berparas jelita!


Perempuan bercadar putih kerjapkan mata berulang kali. Lalu menarik napas panjang. “Aku terlalu di hantui perasaan sendiri…. Aku harus dapat menerima kenyataan…. Aku tidak pantas lagi mengharapkan nya, tapi aku memang tidak mengharap imbalan apa-apa! Aku hanya ingin dia tahu, kalau di hatiku masih ada sebentuk perasaan yang tak mungkin dapat kulenyapkan sampai kapan pun! Dan demi perasaan itu, aku rela berbuat apa saja….”


Kini kebimbangan dalam pandangan dan sikap perempuan bercadar putih sirna. Dia kembali hendak berkelebat. Namun kembali dia urungkan. Bukan karena munculnya perasaan, melainkan sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh yang berlari cepat jauh di depan sana.


“Dalam situasi seperti saat ini, siapa pun juga perlu mendapatkan kecurigaan!” gumam perempuan bercadar putih. Tanpa menunggu lama lagi, dia segera berlari ke arah mana tadi matanya menangkap seseorang.


Tapi pada satu tempat, si perempuan bercadar putih kehilangan jejak orang yang diikuti. Karena dia belum tahu siapa adanya orang yang diikuti, juga karena dia tidak mau diketahui, maka si perempuan tidak berani bertindak tanpa perhitungan. Dengan sigap dia segera berkelebat lalu mendekam di balik dua batu yang saling berdekatan hingga bukan saja membuat sosoknya tidak kelihatan, namun dengan leluasa dia dapat melihat apa yang ada di hadapannya dari celah batu.


Baru saja perempuan bercadar putih mendekam sembunyi, matanya menangkap satu sosok tubuh hentikan larinya dan tegak tidak jauh dari batu di mana dia mendekam. Sepasang mata perempuan bercadar sesaat memperhatikan tak berkesip pada orang yang tegak dengan kepala sedikit disorongkan ke depan seakan ingin memperjelas penglihatannya.


Mendadak dua bola mata perempuan bercadar putih terbeliak besar-besar saat orang yang tegak tak jauh dari tempatnya sembunyi putar diri. Dia adalah seorang perempuan berwajah cantik. Mengenakan pakaian biru tipis yang di bagian dadanya dibuat rendah seolah ingin menunjukkan lembah belahan payudaranya yang membusung kencang. Bibirnya merah dan tampak sunggingkan senyum.


“Bukankah dia…: Ratu Pemikat!” gumam perempuan bercadar putih. Mungkin karena tersentak kaget mengenali adanya orang yang tegak, hampir saja dari mulut di balik cadarnya menyeruak suara seruan. Untung si perempuan cepat sadar apa yang kini sedang dilakukannya.


Buru-buru si perempuan bercadar putih lebih rundukkan kepala dan tubuh. “Aku yakin. Perempuan ini bukan orang yang berkelebat kukejar. Karena dia muncul dari arah belakangku…. Kalau dia orang yang kukejar, pasti dia sekarang tahu aku berada di sini! Dan rupanya dia juga sedang mengejar orang…. Tentu orang yang berkelebat tadi….” Diam-diam perempuan bercadar putih simpulkan peristiwa yang baru saja terjadi.


Baru saja si perempuan bercadar membatin, tiba-tiba satu suara terdengar.


“Mengapa diam di situ? Kau mengejarku, bukan?!”


Perempuan bercadar laksana sirap darahnya. Jelas kalau suara yang baru terdengar adalah suara perempuan. Dadanya mulai sesak. Dan merasa orang sudah tahu keberadaannya, dia cepat angkat kepala. Namun kepala orang ini sesaat diam laksana dipacak. Sepasang matanya membesar memperhatikan dari celah batu.


“Astaga! Bukan dia yang bersuara!” gumam perempuan bercadar putih dalam hati. Lalu perhatikan sosok perempuan berwajah cantik berpakaian biru tipis yang bukan lain memang Ratu Pemikat adanya.


Saat itu Ratu Pemikat tampak tidak memandang ke arah batu di mana perempuan bercadar putih mendekam. Tapi ke satu jurusan dari mana tadi suara teguran terdengar. Inilah yang membuat perempuan bercadar putih tahu kalau suara teguran bukan keluar dari mulut Ratu Pemikat dan ditujukan padanya. Melainkan justru dari orang lain dan ditujukan pada Ratu Pemikat.


Sepasang mata perempuan bercadar putih kini beralih ke arah mana saat itu Ratu Pemikat juga sedang memandang. Untuk kesekian kalinya bola mata si perempuan putih membelalak, malah kali ini kalau tidak segera takupkan telapak tangan ke mulut, niscaya keberadaannya akan diketahui orang!


Dari celah batu, si perempuan bercadar putih melihat seseorang yang membuat dadanya berdebar keras. Malah kalau tidak ingat keberadaan dirinya, segera saja ia hendak melompat keluar dan menghambur.


“Tak kusangka…. Suaranya tadi suara perempuan. Nyatanya dia…. Rupanya dia tahu sedang diikuti orang. Atau Jangan-jangan keduanya pura-pura saling kejar padahal keduanya sudah saling sepakat untuk bertemu di sini…?!”


Perempuan bercadar putih menghela napas dalam. Sepasang matanya yang tadi memandang besar-besar, kini berubah sayu. Kegembiraan yang sesaat terpancar dari matanya mendadak lenyap laksana direnggut setan.


“Ah…. Nyatanya kau telah tahu kalau kukejar….” Ratu Pemikat buka suara seraya melangkah mendekati orang yang tegak di depan sana. Seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian putih-putih dengan rambut panjang sedikit acak-acakan. Pada kepalanya melingkar satu ikat kepala yang juga berwarna putih. Pemuda ini tegak memandang pada orang yang mendatanginya dengan mulut sunggingkan senyum serta tangan kiri terangkat dan jari kelingking masuk ke lobang telinganya!


“Ah…. Dugaanku rupanya tidak meleset. Sikap dan sambutannya menandakan mereka berdua sepertinya sengaja bertemu di sini…. Tapi mengapa ini bisa terjadi…? Bukankah mereka pernah….” Si perempuan bercadar putih gelengkan kepalanya perlahan dengan mata terus memandang ke depan lewat celah batu.


“Hem…. Bisa saja mereka sekarang sudah berbaikan! Dan tidak tertutup kemungkinan pula mereka sedang terlibat cinta! Ah…. Kenapa aku terus dihantui hal-hal itu? Peduli dia terlibat asmara dengan siapa saja. Aku hanya ingin dia tahu, kalau aku….” Perempuan bercadar putih putuskan kata hatinya. Karena saat itu pemuda berpakaian putih-putih dan tidak lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng angkat bicara. Kali ini jelas kalau suaranya suara laki-laki.


“Jauh mengejarku, pasti ada sesuatu yang hendak kau sampaikan….”


Ratu Pemikat hentikan langkah hanya sejarak tiga tombak dari murid Pendeta Sinting. Perempuan bertubuh bahenol ini sesaat tampak sunggingkan senyum seraya geliatkan tubuh, hingga pinggulnya yang mencuat kencang dan besar terlihat menggoda.


“Kau tentunya ingat akan pertemuan kita beberapa waktu yang lalu…. Kau tahu, sampai saat ini aku tidak bisa melupakan peristiwa itu! Aku selalu teringat pada belaianmu…. Sentuhan-sentuhan tanganmu yang nakal…. Rengkuhan dan cumbuanmu…. Aku….”


Murid Pendeta Sinting tarik jari tangan kirinya dan lobang telinga, lalu dilintangkan ke mulut. Kepalanya berputar dengan mata liar memandang berkeliling.


Ratu Pemikat tersenyum dengan sebelah mata mengerdip. “Kau tak usah khawatir. Di sini hanya ada kita berdua. Seperti saat kita bertemu beberapa waktu yang lalu! Kurasa kau tentu masih mengingatnya….”


Joko tidak menyambuti ucapan Ratu Pemikat Dia tetap memandang berkeliling dengan dada berdebar. Jelas wajahnya membayangkan ketakutan. Sementara di balik batu, dada perempuan bercadar laksana meledak. Sepasang matanya serentak memejam rapat! Ucapan Ratu Pemikat laksana ledakan petir didada dan telinganya.


Pada awalnya perempuan bercadar putih masih bias kuasai diri mendengar ucapan Ratu Pemikat. Dia menduga itu hanya ucapan perempuan yang tindakannya sudah banyak diketahui orang kalangan rimba persilatan. Dia juga menyangka ucapan Ratu Pemikat hanya mengada-ada. Karena yang diketahuinya selama ini, antara Ratu Pemikat dan Joko Sableng ada satu ganjalan besar yang tidak mungkin begitu mudah dilenyapkan. Kalaupun ganjalan itu sudah sirna, adalah terlalu cepat bagi mereka berdua jika sampai melakukan sesuatu yang tidak senonoh!


Tapi begitu melihat Joko tidak membantah ucapan Ratu Pemikat malah lintangkan jari di mulut pertanda jelas kalau dia tidak mau orang lain mendengar, si perempuan bercadar putih seakan tidak tahan lagi. Dia sudah hendak keluar dari balik batu. Lalu mengeluarkan apa yang ada dalam benaknya!


Tapi satu perasaan tiba-tiba muncul yang membuat perempuan bercadar putih segera bisa kuasai diri meski tubuhnya masih terlihat bergetar.


“Aku tidak berhak melarangnya berbuat apa pun dan dengan perempuan mana pun…. Aku sekarang bukan lagi yang dulu yang setidaknya masih punya bekal untuk berharap! Yang kumiliki sekarang tinggal sekeping hati. Hanya sekeping hati inilah yang akan kuberikan padanya tanpa aku harus berharap sesuatu meski hanya ucapan harapan….”


Perempuan bercadar coba tabahkan hati. Lalu perlahan-lahan kelopak matanya dibuka lagi dan dengan perlahan-lahan pula diarahkan pada jurusan mana Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting berdiri berhadapan.


Sementara di depan sana, untuk beberapa lama Pendekar 131 memandang lekat-lekat pada Ratu Pemikat. “Aku memang tidak lupa, pernah bersama perempuan ini pada beberapa waktu yang lalu. Tapi apakah waktu itu aku memang sempat berbuat melampaui batas terhadapnya…? Saat itu seluruh pakaianku memang terlepas. Tapi anehnya…. Mengapa aku tidak bisa mengingat apa sebenarnya yang telah terjadi…? Apa karena saat itu aku begitu tenggelam…?!” Murid Pendeta Sinting gelengkan kepalanya perlahan.


“Aku harus hati-hati dengan perempuan ini! Aku masih tidak tahu pasti apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya! Waktu pertama kali jumpa setelah peristiwa di Pulau Biru, dia menyatakan penyesalannya. Bahkan aku lantas terlibat cumbu rayu dengannya. Saat aku tersadar, perempuan ini telah tidak ada. Herannya dia tidak menyentuh pedangku. Padahal kalau dia mau, tidak sulit baginya mengambil dan membawanya pergi. Bahkan kalau dia menginginkan nyawaku, rasanya tidak ada halangan baginya untuk berbuat semaunya….” (Tentang pertemuan Ratu Pemikat dengan Pendekar 131, baca serial Joko Sableng dalam episode: “Warisan Laknat”).


“Yang ku herankan, saat kujumpai lagi dia telah bergabung dengan Iblis Rangkap Jiwa dan Ni Luh Padmi. Malah dari Dewa Orok, kudengar dia juga telah mengambil dot pemuda itu! Dia juga telah tahu kalau Kitab Hitam jatuh ke tangan Malaikat Penggali Kubur…!”


Seperti diketahui, saat Pendekar 131 menyamar sebagai pemuda berperangai perempuan dan memperkenalkan diri sebagai Lumba-lumba untuk menyelidik, murid Pendeta Sinting berjumpa dengan Ratu Pemikat, Iblis Rangkap Jiwa, serta Ni Luh Padmi di bawah Bukit Selamangleng.


Hemm … Aku yakin di balik tindakannya selama ini, dia punya satu maksud tertentu! Bahkan pertemuan purnama depan mungkin saja adalah rencananya. Kalau dia tahu betul jika Malaikat Penggali Kubur telah mendapatkan Kitab Hitam, jangan-jangan pertemuan nanti masih ada kaitannya dengan Malaikat Penggali Kubur…. Hem….”


“Kau memikirkan sesuatu? Atau sedang mengenang apa yang pernah kita lakukan?!” Ratu Pemikat buka suara setelah agak lama murid Pendeta Sinting hanya terlihat tercenung tanpa buka suara.


Pendekar 131 sunggingkan senyum. “Terus terang. Aku memang tidak bisa melupakan peristiwa itu…. Sayang, setelah itu kau pergi begitu saja tanpa memberi tahu. Aku berusaha mencarimu. Tapi….”


“Aku sekarang ada di hadapanmu…,” potong Ratu Pemikat dengan busungkan dada. “Kalau kau masih ingin….” Ratu Pemikat menyela dengan tertawa nyaring merdu. Lalu lanjutkan. “Kau ingin sekarang…?!”


Tangan kanan kiri Ratu Pemikat terangkat. Lalu mulai membuka kancing pakaiannya. Joko angkat tangan kanannya sambil gerak-gerakkan ke kiri kanan. Namun Ratu Pemikat tidak pedulikan gerakan tangan Joko yang memberi isyarat agar orang tidak lanjutkan tindakannya. Malah sambil tersenyum-senyum, Ratu Pemikat melangkah satu tindak.


Meski tangan kanannya memberi isyarat agar Ratu Pemikat tidak lanjutkan tindakannya, namun begitu perempuan ini luruhkan kembali kedua tangannya, dan di hadapannya terpampang jelas dua payudara putih kencang yang bergerak turun naik menggoda, mau tak mau membuat murid Pendeta Sinting pentangkan mata besar-besar!


Dari celah batu di belakang sana, meski Ratu Pemikat tegak membelakangi batu, namun gerakan dan pandangan mata murid Pendeta Sinting telah cukup membuat si perempuan bercadar putih maklum apa yang ada di depan hidung Pendekar 131.


“Dasar perempuan jalang…,” desis perempuan bercadar putih seraya menarik napas panjang. Perempuan ini tabahkan hati untuk tetap arahkan pandangannya ke depan meski dadanya makin bergelora antara muak, cemburu, dan geram.


“Ratu…,” terdengar suara murid Pendeta Sinting. Kali ini suaranya terdengar agak bergetar parau. “Aku mencarimu bukan untuk mengulangi peristiwa yang lalu…. Aku… aku ingin menanyakan sesuatu padamu….”


Ratu Pemikat tidak coba menutupi dadanya yang terbuka. Malah dia sengaja menarik napas panjang hingga dadanya tampak makin membusung. “Kau ingin bersenang-senang dahulu atau ingin aku jawab pertanyaanmu dahulu?! Atau kau ingin aku menjawab sambil kita bersenang-senang seperti dulu…?!”


“Terus terang. Setelah pertemuan kita beberapa waktu itu, aku pergi ke satu tempat. Dan ketika aku kemarin bertemu seorang sahabat….”


“Jangan terlalu banyak berbasa-basi! Bukankah yang hendak kau katakan masih ada hubungannya dengan sebuah kitab?!” tukas Ratu Pemikat.


“Ah…. Betul!” kata Joko dengan mimik terperanjat.


Ratu Pemikat sesaat memperhatikan perubahan pada wajah murid Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum. "Pandai Juga kau membuat sandiwara wajah…,” gumamnya dalam hati. “Kau tidak tahu. Semua yang ada dalam otakmu sudah ku bongkar saat kita jumpa dahulu! Hik…. Hik…. Hik…! Membunuhmu saat ini tidak sulit bagiku. Tapi itu tak akan kulakukan! Dengan membunuhmu, berarti aku berhadapan langsung dengan Malaikat Penggali Kubur. Pemuda keparat itu terlalu sulit ku taklukkan! Aku ingin kau yang berhadapan dengan Malaikat Penggali Kubur. Kuyakin, kau masih mampu menghadapi Malaikat Penggali Kubur. Setelah Kitab Hitam berada di tanganmu, saat itulah kematianmu tiba….”


Setelah diam sesaat, Ratu Pemikat lalu buka mulut.


“Aku memang telah mendengar ada sebuah kitab sakti. Tapi benar tidaknya kabar itu aku tidak tahu pasti. Yang jelas, saat ini telah muncul beberapa orang yang namanya pernah disegani dalam kancah dunia persilatan! Mereka sengaja hendak mencari kitab itu atau tidak, aku juga tidak tahu banyak! Apa kau menginginkan kitab itu juga?!”


“Kalau kau saja berpendapat tidak tahu pasti, apa gunanya aku bersusah payah?”


“Aku juga mendengar kalau pada purnama ini akan ada satu pertemuan besar di Kedung Ombo….”


“Hem…. Akhirnya dia mengatakan juga perihal pertemuan itu…,” membatin Joko.


Ratu Pemikat masih dengan tersenyum lanjutkan ucapannya. “Aku punya firasat, pertemuan itu ada kaitannya dengan kitab sakti yang dibicarakan orang. Kalau kau ingin tahu benar tidaknya kitab itu, tidak ada salahnya kau hadir di sana purnama ini….”


“Kau akan hadir nanti…?!” tanya Pendekar 131.


Ratu Pemikat gelengkan kepala. “Aku sudah bosan dengan segala hal yang berkaitan dengan dunia persilatan. Pengalaman di Pulau Biru telah membuatku berhitung diri. Tapi kalau kau mengajakku, aku tidak keberatan….”


“Seperti halnya dirimu, aku juga sudah muak dengan hal-hal yang berhubungan dengan rimba persilatan. Itu hanya akan mendatangkan malapetaka! Kalau kau berminat silakan kau datang sendiri saja. Aku tidak tertarik!”


Masih dengan senyum Ratu Pemikat anggukkan kepala. “Ah…. Kalau orang sepertimu tidak tertarik, untuk apa aku berminat?” katanya meski diam-diam dalam hati dia berkata sendiri. “Kau menutupi apa sebenarnya yang ada dalam hatimu. Aku percaya kau pasti akan datang…. Kitab Hitam adalah sebagai tugasmu untuk memusnahkannya! Dan kau pasti tidak akan sia-siakan kesempatan….”


“Seperti juga ucapanmu,” kata Ratu Pemikat menyambungi ucapannya. “Hal yang berhubungan dengan rimba persilatan hanya akan mendatangkan malapetaka. Bahkan sia-siakan waktu dan nyawa. Padahal ada hal lebih menarik yang bisa diperbuat dan tidak mendatangkan malapetaka, malah mendatangkan kenikmatan. Juga tidak perlu harus menunggu sampai bulan purnama, tapi sekarang juga bisa….”


Habis berkata, Ratu Pemikat tengadahkan kepalanya sedikit seolah ingin tunjukkan lehernya yang jenjang dan putih. Dari mulutnya terdengar suara desahan panjang.


“Pendekar 131…. Apalagi yang kau tunggu? Aku telah menjawab apa yang kau tanyakan. Sekarang saatnya kita bersenang-senang seperti dulu, bukan…?”


Murid Pendeta Sinting tergagap meski sepasang matanya tetap mementang tak berkesip. Dan pemuda dari dusun Kampung Anyar ini tersedak tatkala mendadak Ratu Pemikat telah maju dan kedua tangannya langsung melingkar ke tengkuknya!

შეაფასეთ ეს ელწიგნი

გვითხარით თქვენი აზრი.

ინფორმაცია წაკითხვასთან დაკავშირებით

სმარტფონები და ტაბლეტები
დააინსტალირეთ Google Play Books აპი Android და iPad/iPhone მოწყობილობებისთვის. ის ავტომატურად განახორციელებს სინქრონიზაციას თქვენს ანგარიშთან და საშუალებას მოგცემთ, წაიკითხოთ სასურველი კონტენტი ნებისმიერ ადგილას, როგორც ონლაინ, ისე ხაზგარეშე რეჟიმში.
ლეპტოპები და კომპიუტერები
Google Play-ში შეძენილი აუდიოწიგნების მოსმენა თქვენი კომპიუტერის ვებ-ბრაუზერის გამოყენებით შეგიძლიათ.
ელწამკითხველები და სხვა მოწყობილობები
ელექტრონული მელნის მოწყობილობებზე წასაკითხად, როგორიცაა Kobo eReaders, თქვენ უნდა ჩამოტვირთოთ ფაილი და გადაიტანოთ იგი თქვენს მოწყობილობაში. დახმარების ცენტრის დეტალური ინსტრუქციების მიხედვით გადაიტანეთ ფაილები მხარდაჭერილ ელწამკითხველებზე.