Karya sastra, khususnya teen-lit dan chick-lit, kini telah memasuki fase idustrialisasi dan kapitalisme sastra. Jenis sastra inilah yang kini tengah menjadi bagian gaya hidup remaja kita. Shopping dan hang out di mall, chatting, berface book ria, dan membaca teen-lit adalah gaya hidup remaja kotemporer di kota besar. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila semua toko buku kini memajang novel bercover mencolok ini secara atraktif. Hampir semua buku jenis ini laris manis diserbu pembaca ABG. Bahkan, ada teen-lit yang terjual hingga 40.000 copy, sesuatu hal yang dulu musykil terjadi dalam sejarah penerbitan sastra sebelumnya.
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi magnet novel ini bagi pembacanya? Novel teen-lit ternyata bercerita tentang dinamika kehidupan remaja dan gaya hidup remaja kota besar, lengkap dengan mimpi-mimpi kaum urban di kota metropolitan. Isi cerita yang renyah, ringan, dan dituturkan denga gaya bahasa khas remaja itu, sangat memikat pembaca belia. Adapun hal lain yang menarik sekaligus mengejutkan adalah hampir 80% dari ratusan judul novel tersebut menyajikan hal yang seragam: imajinasi tentang kemewahan, hedonisitas, dan gaya hidup kelas sosial masyarakat tertentu. Penyeragaman rasa ini tidak lepas dari penerbit sebagai sumber kapital. Penerbit rupanya mempunyai peran besar dalam mengarahkan selera pembacanya.
Adapun fenomena yang terungkap dalam karya sastra ini memberikan banyak informasi tentang trend gaya hidup populer pada zamannya; gaya hidup remaja metropolitan yang dipenuhi hedonisme; pandangan pengarang terhadap gender; semangat zaman yang penuh dengan budaya instan dan kekinian; serta mencerminkan respon dan gudang pengalaman penulis terhadap budaya populer remaja Indonesia. Wacana macam itulah yang akan dikupas tuntas dalam buku ini.