Dewi Bunga Asmara

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 පොත 34 · Pantera Publishing
ඉ-පොත
120
පිටු
ඇගයීම් සහ සමාලෝචන සත්‍යාපනය කර නැත වැඩිදුර දැන ගන්න

මෙම ඉ-පොත ගැන

ENTAH karena ingin tahu tanpa harus bertanya, begitu melangkah kira-kira sepuluh tombak, tanpa menoleh dan buka mulut pada si kakek yang melangkah di belakangnya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuhnya. Kejap lain dia berkelebat.


Mula-mula Joko agak memperlambat kelebatannya dengan kepala sesekali melirik ke arah si kakek. Yang dilirik tampak enak-enakan melangkah dengan isap dua pipa di mulutnya. Dan karena Joko mulai berlari sementara si orang tua tetap melangkah, jarak kedua orang ini mulai jauh.


“Hem…. Apa sebaiknya kutinggal saja? Tidak mungkin aku mencari dengan gerak lambat begini rupa!” Joko berhenti dengan kepala lurus memandang ke depan.


“Mengapa berhenti, Anak Muda?! Ada sesuatu yang menarik perhatianmu?!”


Pendekar 131 tersentak dan berpaling. “Aneh…. Dia baru saja ada di belakang sana! Sekarang tahu-tahu sudah ada di sini!”


Tak mau orang melihat gelagat rasa terkejutnya, Joko segera menyahut.


“Kek! Kau benar-benar hendak ikut aku?!”


“Hem…. Mengapa kau masih sangsikan diriku?! Kau merasa keberatan?!”


“Terus terang saja, Kek! Apa yang akan kudatangi mengandung banyak bahaya! Apakah kau nanti tidak akan merasa menyesal? Bukankah saat ini kau lagi kasmaran?”


Si kakek tertawa bergelak. “Joko…. Bahaya itu tidak ada! Itu hanya perasaan manusia! Dan bahaya itu juga ciptaan manusia! Kalau manusia mau berjalan di hukum alam, tidak akan ada bahaya di atas bumi ini!”


“Ah…. Repot kalau sudah begini!” batin Joko. “Tapi satu hal yang aku masih sangsi, bagaimana dia bisa menyusul begitu cepat?! Aku akan mencobanya sekali lagi!”


Membatin begitu, Joko anggukkan kepala lalu berkata.


“Kek! Aku sudah memberi ingat padamu! Kalau nanti terjadi apa-apa, harap tidak menyalahkan aku atau….”


“Anak muda…. Aku yakin bahaya itu tidak ada! Jadi kau tak usah cemas!” Si kakek telah memotong ucapan Joko.


Pendekar 131 melirik sesaat. Kejap lain dia kembali berkelebat tanpa terlebih dahulu buka mulut. Kali ini dia sengaja langsung berlari kencang laksana orang kesetanan. Bahkan dia tidak berusaha untuk berpaling melihat ke arah si kakek yang ada di belakangnya.


Begitu memasuki kawasan sepi dan banyak ditumbuhi pohon, Joko coba palingkan kepalanya sedikit ke belakang tanpa mengurangi kecepatan larinya. Murid Pendeta Sinting sempat kernyitkan dahi tatkala dia tidak lagi melihat sosok si kakek.


“Ke mana dia?!” Joko memperlambat larinya dengan kepala terus berpaling ke belakang. Dan ternyata si kakek memang tidak kelihatan lagi batang hidungnya hingga akhirnya Joko berhenti dengan mulut megap-megap. Dia balikkan tubuh. Dia tegak memandang ke depan menunggu. Namun hingga agak lama, yang ditunggu tidak juga muncul!


“Jangan-jangan dia berbalik jalan! Ah…. Mengapa aku jadi memusingkannya?! Bukankah aku harus segera menemukan di mana Bukit Toyongga?! Walau aku belum yakin benar dengan apa yang tertera di gulungan daun itu, tapi tidak ada salahnya aku mencoba! Tapi sebaiknya kutunggu barang sesaat, siapa tahu dia akan menyusul. Bagaimanapun juga dia telah memberi keterangan berharga padaku…,” Joko terus tegak dengan mata jelalatan memandang ke arah mana dia tadi datang.


Namun setelah agak lama menunggu dan tidak ada tanda-tanda kemunculan si kakek, Joko memutuskan untuk teruskan berjalan. Seraya angkat tangan kanan menyisir rambutnya yang basah, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh.


Namun mendadak gerakan tangan di rambut Joko terhenti. Sepasang matanya mendelik menatap ke depan. Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia melihat satu sosok tubuh duduk bersandar pada satu batang pohon. Joko memang tidak bisa jelas melihat raut wajah dan sosok tubuh orang karena sekujur sosok itu disemburati asap!


“Busyet! Bagaimana dia bisa berada di depanku?!


Padahal aku tidak merasa dilewati! Berarti bukan aku yang menunggu, tapi dia yang menunggu!”


“Anak muda…. Kulihat kau selalu cemas. Kepalamu sering menoleh ke belakang! Bahkan kau sering berhenti! Apa kau takut bahaya itu?!” Orang yang duduk bersandar di batangan pohon dan sekujur tubuhnya disemburati asap dan bukan lain adalah kakek yang terus isap pipa, perdengarkan suara seraya bergerak bangkit.


“Sekarang aku yakin! Dan ini menambah keyakinanku jika tulisan yang tertera di gulungan daun bukan main-main!” gumam Joko talu melangkah hendak mendekati si kakek.


“Anak muda…. Aku memang tidak akan bertanya ke mana kau akan pergi! Tapi aku menduga kau tengah kebingungan mencari tempat yang hendak kau tuju! Sayang sekali aku bukan orang sini, jadi tidak bisa memberi tahu meski kau bertanya! Tapi…. Mungkin kau bisa bertanya pada orang itu!” Kepala si kakek berpaling ke kanan.


Joko ikut arahkan pandang matanya ke arah mana si kakek berpaling. Namun Joko tidak melihat siapa-siapa.


“Kek! Yang kau maksud bertanya pada siapa?!” Karena menduga dari tempatnya Joko tidak bisa melihat keberadaan orang, Joko cepat melompat dan tegak di samping si kakek.


Si kakek segera berpaling dengan tersenyum. Namun Joko tidak balas senyuman orang. Sebaliknya dia segera arahkan pandangannya ke mana tadi si kakek melihat.


“Aku tidak melihat orang! Siapa yang dimaksud orang ini?!”


Joko sudah akan bertanya. Namun sebelum suaranya terdengar, si kakek angkat tumitnya. Tangan kanan diangkat ditadangkan di depan kening. Lalu kepalanya bergerak pulang balik ke kanan ke kiri seakan mencari orang yang sembunyi.


Karena tak mau banyak tanya dan penasaran, Joko ikut-ikutan angkat tumit. Lalu tangan kanan ditadangkan pula di depan kening dengan kepala digerakkan ke samping kiri kanan. Matanya nyalang tembusi jajaran batang pepohonan.


Namun hingga tumitnya kelu dan matanya mendelik panas, Joko tidak juga melihat siapa-siapa. Merasa dipermainkan orang, Joko segera berpaling. Si kakek tampak tenang-tenang saja sambil bersandar ke batangan pohon. Malah kedua tangannya dilingkarkan ke belakang merangkul batangan pohon!


“Kek! Harap kau tidak main-main!”


“Hem…. Begitu?!”


“Dari ucapanmu tadi, jelas kau sepertinya melihat orang! Tapi mana?! Mana orangnya?!” Suara Joko terdengar agak keras karena mulai jengkel.


Si kakek tidak menyahut. Dia hanya tertawa perlahan membuat Joko tambah dongkol.


“Kek! Aku mau mengajakmu bukan untuk bersenda gurau!”


“Hem…. Begitu?!”


“Ya! Begitu!” sahut Joko saking jengkelnya.


“Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Aku memang suka bercanda. Tapi aku tahu kapan dan di mana serta bagaimana suasananya!”


“Jadi, kau berlagak seperti melihat orang hingga aku jadi penasaran, padahal orangnya tidak ada, itu kau anggap bukan main-main?!”


“Aku memang melihat orang…!”


“Mana manusianya?!” sahut murid Pendeta Sinting.


Baru saja Joko ajukan tanya begitu, dari arah depan sana, terlihat satu sosok bayangan berkelebat cepat di antara jajaran pohon.


Joko tergagu diam beberapa lama dengan mata pulang balik memandang ke depan dan ke arah si kakek di sampingnya.


“Anak muda! Ternyata kau yang suka bercanda, bukan?! Kau melihat orang, tapi kau berkata tidak melihat siapa-siapa!”


“Dia bisa melihat kemunculan orang meski orangnya belum kelihatan!” kata Joko dalam hati. “Siapa orang tua ini sebenarnya?! Sayang dia pelit untuk memberitahukan siapa dirinya!”


Sosok di depan sana, mendadak hentikan larinya tatkala sadar tidak jauh di hadapannya ada orang lain. Sosok ini terlihat hendak berkelebat menyelinap. Namun karena kesadarannya terlambat, meski dia masih berusaha melompat ke balik batangan pohon, dia tidak bisa lepas dari pandang mata orang. Hanya saja, Joko masih belum bisa melihat bagaimana wajah orang. Yang dia tahu pasti, sosok itu adalah seorang perempuan.


“Anak muda! Seandainya aku sendirian, aku tidak akan menunggu lama-lama…. Tapi karena ada kau, aku maklum dan tahu diri! Bertaruh apa pun, pasti dia akan memilihmu….”


Joko berpaling. Raut wajahnya tampak bimbang. “Aku harus tetap berhati-hati. Apalagi menghadapi perempuan….”


“Anak muda…. Kau tunggu apa lagi? Bukankah kau perlu orang tempat bertanya? Atau kau tadi hanya bersenda gurau?!”


Tanpa buka mulut menyahut, Joko segera berkelebat ke depan dan tegak sepuluh langkah dari batangan pohon di mana orang menyelinap sembunyi. Joko memandang sesaat. Karena batangan pohon di mana orang sembunyikan diri agak kecil, Joko bisa melihat sebagian pakaian orang.


“Pakaiannya warna kuning. Hem…. Berarti dia bukan pemuda berkebaya atau Bidadari Bulan Emas!” Joko menghela napas lega. Lalu berteriak.


“Harap tidak sembunyikan diri! Kami bukan orang jahat atau orang yang suka bersenda gurau mempermainkan orang! Kami hanya perlu tahu bagaimana bentuk wajahmu!”


“Ah…. Dasar anak muda! Mengapa berteriak begitu rupa?!” Si kakek yang bersandar di batangan pohon bergumam seraya isap dua pipa di mulutnya.


Joko menunggu sejenak. Namun orang di balik batangan pohon tidak juga bergeming dari tempatnya atau perdengarkan suara.


“Orang berbaju kuning! Aku tahu kau berada di balik pohon. Mengapa takut sembunyi?! Aku cuma ingin bertanya….”


Sesaat hening. Joko masih bersabar menunggu. Namun karena tidak juga ada gerakan atau terdengarnya suara jawaban, Joko buka mulut lagi.


Namun sebelum suaranya sempat keluar, terdengarlah suara perempuan menyahut.


“Aku tidak mau bicara denganmu!”


Joko kerutkan dahi. “Dari suaranya, aku bisa menebak dia seorang nenek-nenek! Hem…. Sayang sekali! Tapi tak apalah…. Aku kali ini hanya perlu bertanya di mana beradanya Bukit Toyongga! Anehnya…. Mengapa suaranya terdengar tidak dari tempatnya dia bersembunyi?! Suara itu seperti bersumber dari langit! Hem…. Ini satu tanda kalau dia memiliki ilmu! Mungkin dia sengaja unjuk diri agar tidak mudah dipandang sepele orang…. Tapi mengapa dia tidak mau bicara denganku?! Ah…. Dasar perempuan…. Sudah tua pun masih suka malu-malu kucing!”


Habis membatin begitu, Joko kembali angkat suara.


“Orang di balik pohon! Jangan menaruh prasangka dahulu! Aku cuma ingin bertanya…. Setelah itu, seumur hidup tidak bicara denganku pun tak apa-apa!”


“Kau dengar ucapanku! Aku tak sudi bicara denganmu apalagi menjawab semua pertanyaanmu! Aku hanya mau bicara dengan kakek tampan pengisap pipa temanmu itu!” Terdengar suara jawaban.


Joko tercengang. Dia berpaling pada si kakek yang bersandar di batangan pohon. Si kakek tersenyum dengan tangan kanan digerakkan pulang balik melambai-lambai.


“Orang di balik pohon! Yang punya urusan ini aku! Bukan kakek temanku itu!” Joko buka mulut lagi. Namun diam-diam dia melirik ke arah si kakek di batangan pohon.


Sesaat tidak ada jawaban. Namun begitu Joko arahkan pandang matanya pada batangan pohon tempat orang sembunyi, terdengar suara sahutan.


“Ini memang urusanmu. Tapi aku sudah katakan tidak mau bicara denganmu! Aku memilih kakek tampan itu! Dia punya tongkat sakti! Padahal kau tidak!”


Untuk kesekian kalinya dahi murid Pendeta Sinting berkerut. Apalagi dari balik batangan pohon tempat orang bersembunyi terdengar orang bergumam dan mendengus tak senang.


Joko manggut-manggut. Saat lain dia berucap.


“Orang di balik pohon! Kau keliru jika menduga aku tidak punya tongkat sakti! Aku punya yang lebih sakti dari milik kakek temanku itu!”


“Ah…. Yang benar?! Mau memperlihatkan padaku?!


Aku akan keluar!”


Suara sahutan orang belum selesai, Joko sudah sentakkan kepalanya ke arah si kakek yang bersandar di batangan pohon. Matanya mendelik angker dengan mulut terkancing saat melihat mulut si kakek tampak bergerak-gerak perdengarkan suara!


“Jangkrik! Dia menipuku! Sahutan itu suara dia! Bukan suara orang di balik pohon!”


“Kek! Mengapa kau masih juga mempermainkan aku, hah?!”


Yang dibentak tidak menyahut. Sebaliknya tertawa bergelak-gelak! Saat itulah terdengar suara.


“Kalian manusia-manusia lancang yang tak punya aturan! Mulut orang macam kalian perlu diberi gebukan!”


Meski suara yang baru terdengar nadanya membentak, namun suara itu merdu, hingga Joko cepat sentakkan kepala berpaling lagi ke arah pohon di mana orang bersembunyi.


Murid Pendeta Sinting beliakkan mata ketika di depan pohon di mana orang bersembunyi telah tegak satu sosok tubuh. Dia adalah seorang gadis cantik jelita berambut hitam lebat digeraikan hingga punggung. Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian warna kuning tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda hingga busungan dadanya yang mencuat tampak sekali menggoda. Pinggulnya besar ditingkah pakaian bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisinya. Hingga tatkala gadis ini tegak dengan sedikit renggangkan kaki, Joko bisa melihat jelas pahanya yang padat dan mulus. Pada pinggangnya yang ramping melilit sebuah ikat pinggang dari kain yang juga berwarna kuning. Dan tepat di bagian sisi bagian kiri pinggangnya tampak satu pedang pendek bergagang batu berwarna kuning pula.


Saat Joko berpaling, baik Joko maupun si gadis berpakaian kuning tampak sama terkejut. Joko cepat tersenyum. Si gadis segera pula hendak sunggingkan senyum. Namun mungkin karena teringat akan ucapan-ucapan orang, si gadis urungkan senyum dan balik unjukkan tampang ketus seraya alihkan pandangan!

මෙම ඉ-පොත අගයන්න

ඔබ සිතන දෙය අපට කියන්න.

කියවීමේ තොරතුරු

ස්මාර්ට් දුරකථන සහ ටැබ්ලට්
Android සහ iPad/iPhone සඳහා Google Play පොත් යෙදුම ස්ථාපනය කරන්න. එය ඔබේ ගිණුම සමඟ ස්වයංක්‍රීයව සමමුහුර්ත කරන අතර ඔබට ඕනෑම තැනක සිට සබැඳිව හෝ නොබැඳිව කියවීමට ඉඩ සලසයි.
ලැප්ටොප් සහ පරිගණක
ඔබට ඔබේ පරිගණකයේ වෙබ් බ්‍රව්සරය භාවිතයෙන් Google Play මත මිලදී ගත් ශ්‍රව්‍යපොත්වලට සවන් දිය හැක.
eReaders සහ වෙනත් උපාංග
Kobo eReaders වැනි e-ink උපාංග පිළිබඳ කියවීමට, ඔබ විසින් ගොනුවක් බාගෙන ඔබේ උපාංගයට එය මාරු කිරීම සිදු කළ යුතු වේ. ආධාරකරු ඉ-කියවනයට ගොනු මාරු කිරීමට විස්තරාත්මක උදවු මධ්‍යස්ථාන උපදෙස් අනුගමනය කරන්න.