Pasca 2000-an, otot-otot kekuasaan kedua entitas social ini secara nyata bertumbuh-kembang. Yaitu, pertama, setelah militer kembali ke barak, berarti Negara menempatkan polisi sebagai pengendali keamanan publik secara total; tetapi, kedua, bersamaan dengan ini keluarnya sejumlah undang-undang yang membuka partisipasi publik terhadap jalannya roda pemerintahan, berarti secara otomatis membatasi otoritas pengendali ekamanan publik ini dalam menafsir realitas dan menggunakan kekuasaannya secara aktual. Prinsipnya, ketika otoritas pengendali keamanan publik itni tidak lagi didikte kakak kandungnya militer, ia harus mau berbagi tafsir atas realitas dan segala aturan main dengan organisasi masyarakat sipil perihal bagaimana menggunakan kekuasaaannya.
Sutrisno Suki, kelahiran Rangkasbitung, Rabu Legi. Doktor Sosiologi Universitas Indonesia ini, sebelum bergabung dengan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, pada pertengahan dasawarsa 2000-an adalah Penanggung jawab Depertemen Riset Bidang Sosiologi pada The International Institute of Islamic Thought–Indonesia, sebuah NGO yang berkiprah dalam pemikiran Islam. Tahun 2009 membawakan makalah “Crime Prevention in Indonesia: a Sociological Perspectif” di UNAFEI–Tokyo.
Menempuh S1 secara nomaden. Awalnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, tidak selesai; di UGM Fakultas Filsafat, tidak selesai. Selesainya pada Depertemen Sosiologi Universitas Andalas, Padang. Sembari menyelesaikan S2-nya di Sosiologi UI, ia belajar filsafat di STF-Driyarkara. S3-nya diselesaikannya pada disiplin yang sama di Universitas Indonesia.
Penggemar laksa—togenya agak dibanyakin—ini setelah menyelesaikan S1-nya, pulang kampung ke Jakarta, mendirikan sekolah persamaan untuk anak-anak tak mampu di Kampung Bahari, Tanjung Priok. Di sini ia mendedikasikan diri sebagai guru hampir untuk semua mata palajaran, merangkap tenaga administrasi sekaligus manejer sekolah bagi sedikit orang volunteer. Mempersunting gadis Minangkabau, sarjana kimia. Kemudian, tentu dengan penuh kesengajaan, dari perkawinan beda suku dan budaya ini menghasilkan tiga anak yang lebih me-Nusantara.
Kalau dihitung pakai kalkulator, hidupnya yang nomaden itu sebagian besar masa remajanya—tetapi bagian kecil dari masa hidupnya—dihabiskan di tanah kelahiranya di Lebak, kota kecil sekitar 125 kilo meter dari Jakarta, di mana Multatuli dan Saidjah menunaikan pengkhidmatan atas kemanusiaan. Ia tumbuh bersama Pak Suki, sosok pria asketik, pekerja keras yang tak dikenal banyak orang. Darinya ia belajar sangkan paraning dumadi: meniti preskripsi Eric Fromm, menggeluti modus to be - menanggalkan modus to have. Darinya pula ia rajin membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat. Katanya supaya selamat dari pengaruh Dajjal, tanpa harus mengabaikan Heraklitos, Epictetus, Plato, Gandhi, Ki Ageng Suryomentaram, hingga Spinosa.
Sekarang, penggemar alunan Ebiet G. Ade dan Iwan Fals ini hidup penuh syukur di belantara Jakarta, kota pengap yang mengajarinya hidup saling berbagi dan bersabar di tengah deru-debu mesin, klakson, teriakan kernet Metro Mini, jerit anak jalanan, dan lengking fore rider di tengah kemacetan.