"Tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi, Mas." Kutatap netranya yang memerah mungkin menyesal setelah aku memergokinya sedang 'bermain' di kamar hotel. Tak lupa kuukir senyum manis pada Mas Arfan - lelaki yang sudah lima tahun menikahiku, akan tetapi belum dikaruniai buah hati.
"Kamu serius, Lan? Kamu tidak marah sama Mas?" tanyanya penuh selidik, seolah tak yakin dengan jawabanku tadi. Dia memutar tubuhku hingga kini aku berhadapan dengan lelaki berambut hitam pekat nan ikal itu.
"Tidak, Mas," jawabku sigap tetap dengan mengukir senyum. Dan, kembali membersihkan meja makan lepas pakai tadi.
"Mas, janji sama kamu, Lan. Mas akan berubah dan tidak akan berhubungan lagi dengan Angel. Maaf ya, Mas sudah khilaf. Mas sadar istri sebaik kamu tidak pantas Mas zolimi."
"Apa yang perlu kamu sesali, Mas? Bukankah menyenangkan kegiatan di atas ranjang tadi? Kau begitu menikmatinya, bukan?" Aku bertolak ke dapur hendak mencuci piring bekas pakai makan malam bersama ibu mertua dan iparku yang sudah duluan masuk ke kamar masing-masing sehabis makan tadi.
"Ini ada apa sih ribut-ribut. Kamu juga Arfan, tidak perlu minta maaf pada istrimu yang tidak bisa memberikan keturunan itu. Baguslah kalau dia sudah tahu, jadi tidak ada yang perlu ditutupi lagi. Segeralah kamu menikahi, Angel!" ucap Mama. Aku mendengar dengar jelas apa yang dilontarkan dari mulut wanita yang melahirkan Mas Arfan tiga puluh lima tahun yang lalu.