Pertanyaan yang dilontarkan Emha Ainun Nadjib di atas tampaknya mewakili banyak orang di negeri ini. Kita semua menjadi sering marah pada hal-hal yang justru sebelumnya bisa kita tertawakan bersama. Belakangan, kita juga cepat marah pada perbedaan pendapat, termasuk dalam menentukan “siapa yang paling pantas menjadi pemimpin”.
Setiap orang pasti memilih pemimpin yang bisa dipercaya.Namun, percaya membabi buta kepada pemimpin tersebut justru bisa menjadi persoalan. Berprasangka baik memang perbuatan yang dianjurkan. Namun, selalu berprasangka baik tanpa sedikit pun meletakkan sikap kritis malah membahayakan.
Melalui Pemimpin yang "Tuhan", sekali lagi Emha mengajak kita untuk mawas diri. Tidak hanya kepada pemimpin yang lalim, tetapi juga berhati-hati agar jangan sampai terjebak menjadi rakyat yang lalim.
[Mizan, Bentang Pustaka, Filosofi, Religi, Agama Islam, Dewasa, Indonesia]
EMHA AINUN NADJIB, lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pernah meguru di Pondok Pesantren Gontor, dan “singgah” di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Emha Ainun Nadjib merupakan cendekiawan sekaligus budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh kata-kata. Tulisan-tulisannya, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi pelbagai media cetak terkemuka.
Pada 1980-an aktif mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985).
Cukup banyak dari karya-karyanya, baik sajak maupun esai, yang telah dibukukan. Di antara sajak yang telah terbit, antara lain “M” Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Adapun kumpulan esainya yang telah terbit, antara lain Indonesia: Markesot Bertutur, Markesot Bertutur Lagi, Arus Bawah (2014), 99 untuk Tuhanku (2015), Istriku Seribu (2015), Kagum kepada Orang Indonesia (2015), Orang Maiyah (2015), Titik Nadir Demokrasi (2016), Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016), Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia (2017), Daur II: Iblis Tidak Butuh Pengikut (2017), Daur III: Mencari Buah Simalakama (2017), Daur IV: Kapal Nuh Abad 21, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2018), Gelandangan di Kampung Sendiri (2018), Sedang Tuhan pun Cemburu (2018), dan Kiai Hologram (2018).