Geger Topeng Sang Pendekar

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 20. kniha · Pantera Publishing
5,0
1 recenzia
E‑kniha
112
Počet strán
Hodnotenia a recenzie nie sú overené  Ďalšie informácie

Táto e‑kniha

DALAM ketemaraman suasana dan dinginnya udara menjelang penghujung malam itu, penunggang kuda yang berlari laksana dikejar setan itu tarik tali kekang kuda tunggangannya ketika sepasang matanya menangkap lobang menganga hitam sepuluh tombak di depan sana.


Binatang tunggangan itu angkat kaki depannya tinggi dengan moncong perdengarkan ringkihan keras. Saat kaki depannya menghentak kembali ke atas tanah, si penunggang sudah tidak tampak lagi di atas pelananya! Dan tahu-tahu di dekat lobang menganga hitam yang ternyata adalah sebuah jurang yang sangat curam, telah tegak satu sosok tubuh.


Dia adalah seorang perempuan. Meski wajahnya sudah tidak muda lagi, tapi paras mukanya masih membayangkan kecantikan. Bahkan sepasang matanya tampak tajam. Orang ini sejenak arahkan pandangan matanya ke seberang jurang. Karena suasana masih agak gelap, dia hanya melihat rimbun kehitaman dan batu-batu yang juga berwarna hitam. Memandang sekeliling pun orang ini masih melihat bayangan hitam. Namun bukan untuk melihat warna-warna hitam orang ini memandang berkeliling. Dia ingin yakinkan diri bahwa di tempat itu tidak ada orang lain! Jelas pertanda kalau kedatangannya tidak ingin diketahui orang dan pasti punya maksud tertentu.


Setelah yakin dia berada sendirian, dia arahkan pandangannya ke jurang di depannya. “Hem…. Aku harus menunggu sampai suasana terang! Aku baru pertama kali ini datang kemari! Aku tidak boleh bertindak gegabah!” bisiknya lalu setelah memandang berkeliling sekali lagi, dia perlahan-lahan melangkah dan dudukkan diri pada sebuah lamping batu. Sepasang matanya sudah memejam. Namun bukan berarti perempuan ini tertidur. Karena meski sepasang matanya terpejam rapat, sesekali kepalanya bergerak.


Tidak berapa lama, dari arah timur perlahan-lahan sinar terang menebar, pertanda tak lama lagi sang surya akan muncul. Si perempuan masih belum beranjak. Dia baru bangkit setelah cahaya sang surya mampu menerangi tempat di mana dia berada.


Perlahan-lahan si perempuan melangkah ke arah pinggir jurang. Matanya memandang ke bawah. Meski masih agak gelap, tapi dia kini dapat melihat keadaan di bagian lamping jurang.


“Hem…. Aku tidak bisa langsung melihat ke dasar jurang. Pertanda jurang ini sangat dalam. Bagaimana bisa betah Pendeta Sinting hidup bertahun-tahun di dalamnya?!” gumam si perempuan. Dari gumaman si perempuan jelas menunjukkan kalau jurang di hadapannya adalah Jurang Tlatah Perak, tempat kediaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.


SI perempuan pandangi lebih seksama bagian samping jurang. “Hem…. Tumbuhan yang banyak dl bagian samping itu kiranya dapat kubuat sebagai jembatan untuk sampai ke dasar jurang. Dan dengan jalan turun sedikit demi sedikit, aku akan lebih leluasa melihat keadaan di bawah!”


Memikir sampai di situ, akhirnya si perempuan kerahkan tenaga dalam. Dalam beberapa saat, sosoknya telah melesat turun ke dalam jurang. Mula-mula dia hentikan layangan tubuhnya pada sebuah pohon yang merambat di lamping jurang. Lalu melesat


turun lagi dan berhenti pada pohon dl bawahnya sambil melihat keadaan di bawah. Hal itu dilakukan si perempuan sampai pada akhirnya dia dapat melihat dasar jurang.


Si perempuan agak lama menunggu. Sepasang matanya terus mengawasi bagian bawah jurang yang hanya sejarak delapan tombak di bawahnya. Namun hingga lama memperhatikan, dia tidak menangkap gerakan orang.


“Apa tempat ini telah ditinggal penghuninya?! Tapi Kiai Lidah Wetan tak mungkin menunjukkan tempat yang sudah tidak berpenghuni!! Atau barangkali dia tahu kedatangan ku…? Hem…. Persetan! Dia tahu atau tidak, yang pasti aku harus bertemu dengannya!”


Si perempuan gerakkan kedua tangannya. Tubuhnya meluncur lalu tegak di dasar jurang. Kepala si perempuan cepat bergerak berputar. Sepasang matanya liar memperhatikan. Namun sejauh ini tidak melihat siapa-siapa!


Si perempuan mulai melangkah dengan sikap waspada. Namun hingga dia mondar-mandir beberapa kali, tetap saja tidak melihat orang. Si perempuan mulai khawatir.


“Hem…. Jangan-jangan tempat ini memang sudah kosong! Dan melihat keadaannya, ada orang lain yang datang ke tempat ini sebelum aku!” Si perempuan meneliti tempat di mana dia berada. “Apa yang harus kulakukan sekarang?! Mencarinya di luar sana?! Hem…. Itu mungkin satu-satunya jalan terbaik. Sambil mencari Pendeta Sinting, aku akan menemui Saraswati….”


Habis menggumam begitu, mendadak wajah si perempuan berubah. Tanpa sadar mulutnya berkata. “Anakku…. Dalam masa tuaku ini, sebenarnya aku ingin habiskan untuk hidup bersamamu…. Tapi, nyatanya hatiku masih belum bisa tenang sebelum semua kekecewaan hati ini terbalaskan! Kuharap nantinya kau bisa mengerti perasaan ibumu ini…. Ini semua kulakukan demi ketenangan hidup kita berdua! Kalaupun saat ini aku harus kembali pada Kiai Lidah Wetan, itu hanya untuk sementara. Begitu semuanya selesai….”


Si perempuan tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya dia mendongak. Beberapa pohon yang merambat di samping jurang tampak bergerak-gerak. “Ada orang…,” desisnya lalu berkelebat dan menyelinap sembunyi.


Baru saja si perempuan mendekam sembunyi, satu sosok tubuh melesat turun dan tegak di dasar jurang. Dari gerakan orang, siapa pun dia adanya pasti memiliki kepandaian tinggi.


“Mungkinkah dia?!” kata si perempuan dari tempat persembunyiannya. Lalu perlahan-lahan dia arahkan pandang matanya pada sosok yang baru muncul.


Si perempuan seketika pentang matanya besar-besar. Malah kalau saja dia tidak tekap mulut, niscaya akan terdengar seruan.


“Menuruti keterangan Kiai Lidah Wetan, aku yakin bukan ini manusianya yang kucari! Tapi bagaimana manusia ini bisa muncul di sini?! Apa dia juga mencari Pendeta Sinting?! Apa aku harus menemuinya…?!”


Selagi si perempuan membatin, tiba-tiba orang yang baru muncul sudah perdengarkan ucapan.


“Pendeta Sinting! Keluarlah! Kita perlu bicara!”


“Hem…. Dari ucapannya, dugaanku tidak meleset! Aku akan menunggu dahulu. Siapa tahu Pendeta Sinting masih sembunyikan diri!” kata si perempuan seraya memperhatikan orang di depan sana. Orang ini ternyata adalah seorang laki-laki. Namun paras dan sekujur tubuhnya tidak saja mengerikan, namun juga angker! Karena orang ini hanya merupakan susunan dari kerangka tanpa daging!


Mendapati teriakannya tidak mendapat sambutan, atau tidak ada tanda-tanda akan munculnya orang, orang yang baru muncul dan bukan lain adalah Setan Liang Makam berteriak lagi.


“Pendeta Sinting! Aku hanya akan ulangi sekali lagi ucapanku! Keluarlah!”


Setan Liang Makam menunggu. Maklum tidak ada suara sahutan atau tanda-tanda gerakan, Setan Liang Makam putar kepala dengan mata dibelalakkan.


Di balik tempat persembunyiannya, dada si perempuan berdebar. Karena mendadak kepala Setan Liang Makam berhenti tepat menghadap ke tempat mana dia sembunyikan diri. “Apakah dia tahu keberadaanku di sini?!”


Baru saja si perempuan membatin begitu, Setan Liang Makam telah buka suara.


“Keluarlah! Atau kuhancurkan tempat persembunyianmu itu!”


“Dia sudah tahu, tak ada gunanya sembunyikan diri!” Berpikir begitu akhirnya si perempuan berkelebat keluar dan tegak sepuluh langkah di hadapan Setan Liang Makam.


Sesaat Setan Liang Makam memperhatikan sosok yang tegak di depan sana. “Dari yang kudengar, Pendeta Sinting adalah seorang laki-laki! Mengapa yang muncul makhluk lain?!”


Namun Setan Liang Makam tak mau berpikir terlalu lama. Begitu tahu yang muncul seorang perempuan, dia cepat membentak.


“Di mana Pendeta Sinting?!”


Si perempuan tidak segera menjawab. Diam-diam dia membatin. “Apakah Kiai Lidah Wetan sengaja menyuruhku ke tempat ini untuk bertemu dengan manusia ini?! Apakah dia masih memendam dendam akibat sakit hati di masa lalu itu?! Kalau betul…. Mengapa dia melakukan dengan cara ini?! Tapi dari ucapan-ucapannya, kurasa tidak mungkin! Tapi hati orang siapa tahu?! Bukankah saat ini dia juga sedang melakukan sesuatu dengan jalan licik….”


Dari cara membatin si perempuan menunjukkan kalau si perempuan bukan lain adalah Lasmini. Kekasih Kiai Lidah Wetan waktu masih muda.


“Perempuan! Di mana Pendeta Sinting?!” Setan Liang Makam membentak lagi.


“Kau tak akan mendapat jawaban apa-apa dariku, karena aku pun datang perlu mencari orang yang kau tanyakan!”


“Hem…. Sebutkan siapa dirimu, Perempuan!” “Namaku tidak ada artinya bagi orang lain!” Tulang wajah Setan Liang Makam tampak bergerak-gerak. Namun sebelum orang ini buka mulut lagi, Lasmini telah mendahului.


“Orang yang sama kita cari tidak ada! Bukankah lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini?!” Sambil berkata, Lasmini tampak sunggingkan senyum. Perempuan ini rupanya berpikir panjang. Dia merasa yakin, orang di hadapannya bukan orang sembarangan. Sementara dirinya saat ini tengah berusaha membalaskan sakit hatinya.


Dia sudah paham siapa-siapa saja yang mungkin akan dihadapi. Kalau saja dia bisa bersahabat setidaknya tidak membuka perselisihan dengan orang, tentu apa yang tengah dilakukan akan berjalan dengan sesuai rencana. Bahkan kalau bisa bersahabat, maka hal itu akan membuatnya punya kekuatan tambahan. Untuk itulah, Lasmini berusaha mengubah sikap terhadap Setan Liang Makam.


Mendapati orang yang diajak bicara belum juga menyahut, Lasmini kembali buka mulut.


“Harap kau tidak berprasangka buruk padaku! Aku bukan teman Pendeta Sinting! Dan saat aku datang, tempat ini sudah kosong!”


“Apa tujuanmu mencari manusia sinting itu?!” bertanya Setan Liang Makam.


“Seperti halnya dirimu, aku ingin bicara dengannya!”


“Urusannya?!”


“Nyawa..!”


“Dengar, Perempuan! Jangan berani menyentuh manusia itu kalau kau tidak ingin berurusan dengan Setan Liang Makam! Kau dengar itu?!”


Lasmini tersentak mendengar Setan Liang Makam sebutkan siapa dirinya. “Jadi inikah manusia yang pernah diceritakan Kiai Lidah Wetan?! Manusia yang katanya sebagai pemegang senjata dahsyat Kembang Darah Setan itu?! Hem…. Tak disangka kalau aku bertemu dengannya di sini! Berarti keterangan Kiai Lidah Wetan benar… Dia telah termakan berita kalau si pemegang Kembang Darah Setan sekarang adalah Pendekar 131 murid Pendeta Sinting! Hem…. Aku sekarang bisa menduga mengapa dia mencari Pendeta Sinting….”


Berpikir begitu, akhirnya Lasmini berkata.


“Kalau tidak salah, bukankah kedatanganmu masih ada hubungannya dengan Kembang Darah Setan?!”


“Aku tidak akan jawab pertanyaanmu!”


Lasmini tersenyum. “Aku tahu siapa dirimu, Sahabat! Kau telah lama menghilang dari rimba persilatan! Saat ini kau butuh seseorang yang tahu banyak tentang seluk beluk dunia persilatan! Kalau tidak, ilmu tinggi yang kau miliki tidak akan ada artinya apa-apa!”


“Kau jangan menggurui ku!”


“Aku menawarkan diri sebagai sahabat! Kita saling membantu tanpa mencampuri urusan masing-masing!”


“Bantuan apa yang bisa kau berikan padaku, hah?!”


“Aku memang tidak memiliki ilmu setinggi yang kau miliki! Tapi aku tahu banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan! Saat ini tentu kau butuh keterangan banyak, karena kau harus mencari orang-orang yang belum kau kenal betul! Tanpa adanya orang yang memberi keterangan, tidak tertutup kemungkinan kau salah sasaran! Bahkan mungkin saja kau menduga musuhmu telah mampus, padahal dia masih enak-anakan!”


“Hem…. Ada benarnya juga ucapan perempuan ini!” kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu berkata.


“Kita bersahabat! Tapi kalau kau berani berkhianat, taruhan mu adalah nyawa!”


Lasmini lagi-lagi sunggingkan senyum. “Persahabatan di antara kita hanya untuk saling membantu. Jadi bukankah tidak ada untungnya kalau di antara kita berkhianat?”


“Bagus! Sekarang kau bisa menduga ke mana kira-kira Pendeta Sinting?!”


“Ada beberapa tempat! Itu kita bicarakan sambil jalan!” Habis berkata begitu, Lasmini melangkah dengan kepala mendongak. Tempat di mana mereka berdua berada telah terang benderang meski udaranya lembab. “Kita sekarang keluar dari sini!”


“Tunggu!” tahan Setan Liang Makam tatkala melihat Lasmini hendak melesat ke atas. “Kau belum katakan siapa dirimu!”


Tanpa menoleh pada Setan Liang Makam, Lasmini menyahut. “Namaku Lasmini!”


“Apa sebenarnya urusanmu dengan Pendeta Sinting?!”


“Kita masih punya banyak waktu untuk bicara….


Lagi pula udara di tempat ini membuat perutku mual!”


“Lasmini….” Setan Liang Makam sebut nama itu berulang-ulang. “Setan! Mendekam di tempat celaka itu membuatku lupa dengan manusia-manusia yang pernah kukenal!” Akhirnya Setan Liang Makam memaki sendiri begitu tidak bisa mengingat orang.


Sementara mendengar umpatan Setan Liang Makam, Lasmini tampak tersenyum. Lalu berujar.


“Itulah mengapa kukatakan kau butuh seorang sahabat! Sambil jalan, nanti akan ku jelaskan siapa diriku dan orang-orang yang kini dikenal dalam rimba persilatan!”


Habis berkata begitu, Lasmini jejakkan sepasang kakinya. Sosoknya melesat ke atas. Seperti halnya waktu turun, dia naik ke atas dengan jalan menapak dari satu pohon ke pohon lain di samping jurang.


Setan Liang Makam pandangi sejenak sosok Lasmini yang sudah berada di atas sana. Lalu memandang berkeliling seolah belum percaya kalau tempat di mana dia berada sudah ditinggal penghuninya. Saat lain manusia dari Kampung Setan ini telah ikuti jejak Lasmini melesat ke atas dengan jalan menapak dari pohon ke pohon lain yang banyak merambat di lamping Jurang Tlatah Perak.

Hodnotenia a recenzie

5,0
1 recenzia

Ohodnoťte túto elektronickú knihu

Povedzte nám svoj názor.

Informácie o dostupnosti

Smartfóny a tablety
Nainštalujte si aplikáciu Knihy Google Play pre AndroidiPad/iPhone. Automaticky sa synchronizuje s vaším účtom a umožňuje čítať online aj offline, nech už ste kdekoľvek.
Laptopy a počítače
Audioknihy zakúpené v službe Google Play môžete počúvať prostredníctvom webového prehliadača v počítači.
Čítačky elektronických kníh a ďalšie zariadenia
Ak chcete tento obsah čítať v zariadeniach využívajúcich elektronický atrament, ako sú čítačky e‑kníh Kobo, musíte stiahnuť príslušný súbor a preniesť ho do svojho zariadenia. Pri prenose súborov do podporovaných čítačiek e‑kníh postupujte podľa podrobných pokynov v centre pomoci.