Gerbang Istana Hantu

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Книга 7 · Pantera Publishing
4,8
Отзывы: 5
Электронная книга
108
Количество страниц
Оценки и отзывы не проверены. Подробнее…

Об электронной книге

TAK jauh dari istana Hantu, Pendekar 131 hentikan larinya. Kepalanya berputar dengan mata liar mengawasi sekeliling. Tapi dia merasa heran. Ratu Malam dan Gendeng Panuntun tak tampak batang hidungnya di situ!


“Aneh. Kemana mereka? Padahal jelas Raka Ratu Malam mengatakan hendak ke sini. Atau jangan-jangan mereka berdua langsung masuk Istana Hantu. Tapi apa mungkin?!“ Joko berpikir sejenak.


“Hem… Siapa tahu mereka benar-benar masuk. Lagi pula tidak ada salahnya aku menyelidik…” Murid Pendeta Sinting melangkah ke arah istana Hantu.


Lima langkah di depan Istana Hantu yang pintunya tetap terbuka, Pendekar 131 berhenti. Sepasang matanya membeliak memandang ke dalam. Namun yang terlihat hanyalah warna hitam.


“Ratu Malam! Gendeng Panuntun! Apakah kalian berada di dalam?!” teriak Joko. Tidak ada sahutan. Murid Pendeta Sinting tajamkan telinga. Tidak juga terdengar apa-apa. Tidak sabar, dia berteriak kembali. Tapi masih juga tidak ada sahutan. Joko teruskan langkah mendekat. Dua langkah di depan pintu dia pentangkan sepasang matanya memandang tak berkesip kedalam. Sepertinya dia hendak berusaha menembus warna hitam yang tampak. Namun hingga matanya pedas keluarkan air mata, yang terlihat hanyalah warna hitam gelap!


“Aneh… Aku tak dapat menembus kegelapan di dalam istana!” Murid Pendeta Sinting terlihat ragu-ragu.


Namun tak lama kemudian dia teruskan langkahnya. Begitu kaki kanannya setengah jalan masuk ke dalam Istana, mendadak satu gelombang angin dahsyat menggebrak! Bukan saja membuat kaki kanan Joko terpental balik, tapi tubuhnya tersurut lima langkah!


Pendekar 131 terbelalak dengan dahi mengernyit. Lalu cepat salurkan tenaga dalam pada dadanya untuk lindungi diri dengan jurus Inti ‘Sukma Es’. Lalu pelan-pelan dia melangkah kembali ke arah pintu. Kedua tangannya diangkat ke atas siapkan pukulan. Namun belum sampat kakinya melangkah masuk, kembali satu gelombang angin menggebrak. Joko tidak tinggal diam. Kedua tangannya didorong ke depan.


“Brakkk! Brakkk!” Terdengar derakan keras dua kali berturut-turut. Sosok murid Pendeta Sinting terjajar lima langkah dengan tubuh bergetar dan paras berubah.


“Bagaimana ini? Akan kuteruskan atau aku pergi saja? Jika Ratu Malam dan Gendeng Panuntun menuju ke sini, tentu tidak mudah juga bagi mereka untuk masuk. Berarti mereka menuju tempat lain. Ah… Tapi Ratu Malam menduga Tengkorak Berdarah yang ada di belakang lenyapnya Iblis Ompong dan saudara-saudaranya. Hem… Aku harus buktikan!”


Pendekar 131 kembali melangkah maju. Lalu berteriak.


“Tengkorak Berdarah! Aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Tapi harap katakan apakah sahabatku iblis Ompong berada disini?!”


“Di sini bukan tempat untuk bertanya!” terdengar jawaban berat dari dalam istana.


“Jika begitu, harap kau perbolehkan aku masuk untuk membuktikan”


“Di sini bukan tempat untuk membuktikan” jawab suara dari dalam istana.


“Lalu tempat apa ini?!” tanya Joko agak jengkel.


“Tempat orang-orang dungu salah alamat…” Murid Pendeta Sinting nyengir. Lalu berujar.


“Kau jangan menutupi diri! Bukankah kau yang berada di balik kegegeran dan lenyapnya beberapa orang pada akhir-akhir pancing Joko. Untuk beberapa lama tidak ada jawaban.


“Nah. Berarti orang yang datang ke sini bukan salah alamat. Justru kaulah yang salah tempat” Karena masih tidak ada sahutan, murid Pendeta Sinting berucap lagi.


“Kenapa diam?”


“Aku tak suka bicara dengan orang dungu!” jawab suara dari dalam Istana.


“Dan lekas menyingkir dari depan pintu Istana!”


“Aku tak akan pergi sebelum aku dapat menemukan sahabatku!”


“Berarti kau orang dungu yang hendak serahkan nyawa…” Pendekar 131 tertawa panjang.


“Silakan kau menganggapku apa saja. Yang jelas jika kau tak serahkan sahabat-sahabatku, aku akan memindahkanmu ke tempat yang benar!”


“Jangan hanya bicara besar. Buktikan ucapanmu! kata suara dari dalam Istana.


Meski hatinya belum yakin benar jika lenyapnya Iblis Ompong dan saudara-saudaranya karena ulah Tengkorak Berdarah, namun karena merasa penasaran akhirnya murid Pendeta Sinting berujar.


“Sudah kukatakan aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Tapi kalau kau ingin buktikan ucapanku, apa susahnya?!” Habis berkata begitu, Joko melompat ke depan. Dan sekali lagi menjejak tanah, sosoknya berkelebat masuk ke dalam Istana. Baru satu tombak tubuhnya lewat dari pintu, terdengar deruan keras, lalu Joko rasakan sapuan gelombang luar biasa ganas. Joko tak mau bertindak ayal.


“Wuuuttt! Wuuuttt!” Kedua tangannya cepat menyentak ke depan. Dua gelombang angin melesat. Anehnya kali ini tidak terdengar bentrokan keras. Tapi saat itu juga murid Pendeta Sinting rasakan tubuhnya bergetar keras. Dan tubuhnya yang masih di atas udara terdorong. Pertanda meski tiada suara bentrok pukulan, namun pukulannya beradu dengan pukulan orang. Sadar akan apa yang terjadi, Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga pada kedua lengannya lalu tangannya disentakkan ke depan. Angin dahsyat melesat. Lalu hawa dingin menyungkup. Tanda murid Pendeta Sinting lepaskan pukulan ‘Sukma Es’.Dari dalam istana tiba-tiba terdengar deruan hebat.


Menyusul dengan menghamparnya hawa panas luar biasa yang dalam sesaat menindih lenyap hawa dingin. Kejap lain terdengar ledakan. Sosok murid Pendeta Sinting mencelat keluar dan terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan tubuh bergetar dan raut pucat pasi. Untung dia telah lindungi diri dengan jurus inti ‘Sukma Es’, hingga dia tidak mengalami cedera.


“Itukah yang akan kau buktikan, hah?!” terdengar suara dari dalam istana disusul dengan suara tawa panjang dan berat.


Ucapan orang membuat dada Joko bergemuruh. Dia cepat bergerak bangkit, lalu berkelebat ke depan. Sejarak tiga langkah dari depan pintu Istana Hantu kedua tangannya yang telah berubah warna kekuningan segera didorong keras.


“Wuutt! Wuuuttt!” Gelombang angin dahsyat melesat membawa hawa panas disertai semburatnya warna kuning. Tidak ada pukulan yang memangkas dari dalam istana. Anehnya tidak juga terdengar ledakan tanda pukulan sakti yang baru saja dilepas Pendekar 131 melabrak sesuatu. Pukulan ‘Lembur Kuning’ itu laksana raib ditelan setan. Membuat Joko tegak dengan mata terbeliak dan tubuh bergetar. Belum hilang rasa herannya, mendadak Joko merasakan satu kekuatan dahsyat menyedot dari dalam Istana, hingga membuat sosoknya terhuyung ke depan. Tanpa pikir panjang, sebelum tubuhnya masuk ke dalam istana, Joko sentakkan kedua tangannya. Lepaskan pukulan sakti ‘Sukma Es’ dan ‘Lembur Kuning’ sekaligus. Hawa panas bertabur hawa dingin menyungkup. Gelombang luar biasa hebat menggebrak. Kekuatan yang menyedot tubuh Joko tiba-tiba lenyap. Tapi bersamaan dengan itu terdengar suara deruan yang menggidikkan!


“Blaamm! Blaamm!” Istana Hantu berguncang keras. Tubuh Joko terpelanting lalu terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan darah. Perlahan-lahan Joko bangkit lalu duduk bersila untuk salurkan hawa murni mengatasi sedikit nyeri di dadanya. Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting sepasang mata tampak memperhatikan tak berkesip dari balik rimbun dedaunan.


“Siapa pemuda ini? Meski masih muda tapi punya kepandaian dan tenaga dalam tinggi. Hem… Lama tidak melihat dunia luar,ternyata perubahan telah banyak terjadi. Banyak orang-orang muda berkepandaian tinggi muncul. Tapi apa kepentingan pemuda itu hingga berani lancang membuat urusan dengan penghuni Istana Hantu?! Apakah dia tahu di balik terbukanya pintu Istana Hantu?” kata orang yang mengintai dalam hati.


Sementara di depan sana, murid Pendeta Sinting telah bangkit berdiri dan kini menatap tajam pada pintu Istana. Rasa penasarannya kini sedikit demi sedikit berubah menjadi rasa geram, apalagi saat mengetahui pukulan sakti ‘Sukma Es’ dan ’Lembur Kuning’ begitu mudah raib bahkan sosoknya terpental dengan mulut keluarkan darah.


“Pukulan ‘Sukma Es’ dan ‘Lembur Kuning’ hanya bagai angin lalu, apakah dia sanggup membendung pukulan Serat Biru?!“ desis Joko lalu kerahkan tenaga dalam pada tangan kirinya. Sambil melompat ke depan Joko hantamkan tangan kiri kanannya. Tangan kiri lepaskan pukulan sakti ‘Serat Biru’ tangan kanan kirimkan pukulan ‘Lembur Kuning’.


“Wuutt! Wuuuttt!” Dari tangan kiri Joko melesat serat-serat laksana benang berwarna biru terang. Dari tangan kanannya menggebrak gelombang angin dahsyat berhawa panas yang semburatkan warna kuning. Dari dalam istana terdengar seruan. Disusul kemudian dengan menderunya suara keras, Istana Hantu bergetar, tengkorak berlumur darah yang menggandul bergoyang-goyang sebelum akhirnya jatuh pecah berantakan.


Kejap lain terdengar ledakan luar biasa hebat. Batu-batu kecil tampak berhambur keluar dari pintu istana. Keadaan dalam istana sejenak terang berderang. Namun belum sempat Joko melihat keadaan di dalam istana, satu gelombang asap tipis menghantam tubuhnya. Kejap lain sosoknya tersapu deras dan jatuh bergedebukan di atas tanah tiga tombak dari pintu.


Orang yang mengintai dari balik dedaunan pohon terkesiap. Dia menyibak rimbun dedaunan di hadapannya lalu berkelebat keluar. Namun gerakannya terlambat. Karena satu sosok telah melesat dan kejap lain berkelebat ke arah timur. Orang yang baru keluar dari tempat persembunyiannya terbelalak. Karena sosok pemuda yang sedari tadi diintainya telah tidak ada lagi.


“Jahanam! Ada orang mendahuluiku! Gerakannya amat cepat! Namun belum jauh dari sini. Pemuda itu! Aku harus mendapatkannya! Urusan dengan Tengkorak Berdarah terpaksa kutunda dahulu!”


Orang ini yang ternyata adalah seorang nenek mengenakan pakaian putih dari sutera yang di atas sela telinganya menyelip sebatang bambu berwarna kuning sejurus palingkan kepala kearah pintu istana. Tapi kejap kemudian dia berkelebat kearah berkelebatnya sosok yang membawa tubuh Pendekar 131.Tapi gerakan si nenek tertahan tatkala tiba-tiba satu suara terdengar.


“Kau hendak ke mana, Nek?!”


Orang berpakaian putih sutera berpaling. Dari balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis tipis. Untuk beberapa lama si nenek yang bukan lain adalah Daeng Upas memandang pada pemuda berpakaian hitam-hitam yang tidak lain adalah Raka Pradesa tanpa berkata apa-apa. Malah Daeng Upas segera berpaling pada jurusan berkelebatnya orang yang membawa serta tubuh Joko dan hendak bergerak pergi.


“Kau tampaknya tertarik dengan pemuda tadi. Betul?!” tanya Raka Pradesa.


“Siapa kau?!” kata Daeng Upas dengan membentak dan tanpa berpaling.


“Aku orang tersesat jalan…” Daeng Upas menoleh.


Menatap lekat-lekat wajah pemuda yang kini melangkah ke arahnya.


“Mustahil dia pemuda tersesat jalan. Dia seolah tahu jika aku terus perhatikan pemuda berpakaian putih-pulih tadi” batin Daeng Upas.


“Kau jangan bicara dusta membohongiku! Kau pasti punya maksud tertentu berkeliaran di tempat ini! Aku tak punya waktu banyak untuk bicara denganmu…” kata Daeng Upas lalu kembali hendak berkelebat pergi.


“Nek. Aku ikut bersamamu…” kata Raka Pradesa.


“Bukankah kau hendak mengejar orang yang membawa pemuda tadi?!” Daeng Upas mendengus.


“Aku tak butuh teman. Kau berkata sesat jalan, kenapa hendak ikut bersamaku, hah?!” Daeng Upas yang telah berada kembali tak jauh diri Raka Pradesa manggut-manggut. Lalu sekali bergerak, tubuhnya melesat menyusul Raka Pradesa.


“Pemuda tadi…”


“Kenapa pemuda tadi?!” potong Daeng Upas.


“Apa hubunganmu dengannya?!”


“Aku… Aku temannya!” Daeng Upas kernyitkan dahi. Sepasang matanya menyipit membelalak membuat bambu di sela telinganya bergerak-gerak.


“Kau jangan bicara tak karuan! Tadi…”


“Itu akan kuceritakan nanti. Kita harus cepat mengejar. Kalau terlambat aku akan kehilangan teman dan kau…” Raka Pradesa tidak teruskan ucapannya. Sebaliknya dia berkata dalam hati.


“Kenapa aku tidak tanya mengapa nenek ini tertarik pada Joko…? Ah. Itu urusan nanti…”


“Hemm… Kalau kau memang temannya, katakan siapa pemuda tadi?”


“Ah, kau terlalu mencurigaiku! Kalau kau tak mau pergi bersama-sama, aku tak memaksa…”


“Aku memang suka pergi sendirian!” sahut Daeng Upas. Habis berkata begitu, dia berkelebat. Pada satu tempat dia segera menyelinap.


“Aku ingin tahu apakah pemuda berpakaian hitam-hitam tadi ucapannya benar…” Lalu berkelebat lagi kearah semula dengan mengambil jalan lain.


Begitu Daeng Upas berkelebat, Raka Pradesa tampak masih tegak dengan wajah cemas. Dia sesekali menatap ke arah pintu Istana Hantu, lalu ke arah berkelebatnya orang yang membawa Joko Sableng. Kejap kemudian dia berkelebat kearah orang yang membawa tubuh Pendekar 131. Daeng Upas yang telah berada kembali tak jauh dari Raka Pradesa manggut-manggut. Lalu sekali bergerak, tubuhnya melesat menyusul Raka Pradesa.

Оценки и отзывы

4,8
5 отзывов

Оцените электронную книгу

Поделитесь с нами своим мнением.

Где читать книги

Смартфоны и планшеты
Установите приложение Google Play Книги для Android или iPad/iPhone. Оно синхронизируется с вашим аккаунтом автоматически, и вы сможете читать любимые книги онлайн и офлайн где угодно.
Ноутбуки и настольные компьютеры
Слушайте аудиокниги из Google Play в веб-браузере на компьютере.
Устройства для чтения книг
Чтобы открыть книгу на таком устройстве для чтения, как Kobo, скачайте файл и добавьте его на устройство. Подробные инструкции можно найти в Справочном центре.