"Negeri Kopi Air matamu mengerak di penggorengan tak berminyak. Suaramu mengepul mengiris malam. Tubuhmu berdetak berkeringat direguk ditumbuk. “Wait a minute, Mister. Without sugar, ya. Ini arabika harum sekali. Seperti negeri yang Tuan singgahi.” Cangkir kayumu membungkuk deritamu diseduh dikeruk. Kau masih kental pekat rasa gula tak kauingat. Kau sembunyi di seribu bukit, lars mesiu tubuhmu sakit. “Sudahlah, Tuan. Tubuhku capek. Mari bersulang saja. Ini robusta pahit sekali, seperti negeri yang Tuan gagahi.” Tubuhmu mengurai serbuk, dicambuk disegel dalam plastik. Buku puisi ini adalah perayaan Gol A Gong setelah menikmati kopi di kota-kota di Pulau Sumatra. Mulai dari Nol Kilometer di Pulau Weh, lalu di kedai-kedai kopi di Banda Aceh, Bireun, Takengon, Blankejeren, dan Kutacane. Ada aroma lain dari setiap cangkir kopi yang ia hirup: aroma ketidakadilan. Suatu rasa lain dari kopi nusantara yang kita cintai ini. *** Perjalanan kopi Gol A Gong menyusuri lembah dan bukit Gayo, kiranya menjadi perjalanan yang akan mengantarkan siapa saja kepada penghargaan dan pembelaan terhadap petani. — Fikar W. Eda - penyair, anak petani kopi"