Sebelum mengulas isi buku, saya ingin bercerita dulu dalam proses penulisan buku ini. Saya mengalami beberapa hal mistik, unik, dan menggelitik. Pertama, saya bermimpi aneh selama tiga malam berturut-turut. Tepatnya, pada 6, 7, 8 November 2019. Saya kala mimpi itu berada di ruang lapang, dan penuh dengan kuburan. Medeni tenan. Saya tidak bertemu siapa-siapa, melainkan hanya ribuan kuburan berbaris rapi. Ketika sadar, saya menyimpulkan ini namanya “lautan kuburan”. Saya juga berpikir, “apa saya ini mau mati?” Entahlah.
Kedua, saya merasa merinding di “pusat revolusi” yaitu kamar saya di Temanggung. Karena, ada yang menunggui ketika saya mengetik buku ini. Aduh, ada-ada saja memang. Tapi, itulah yang membuat saya kadang harus membaca surat Al-fatikhah, ayat kursi dan selawat berkali-kali.
Ketiga, laptop saya mati tiga kali, kala listrik padam. Maklum, lantaran laptop saya dapat hidup ketika nyambung charger, ketika listrik padam, maka otomatis laptop matek. Ini tiga kali, dan posisi kematian laptop saya itu membuat bulu kuduk merinding.
Anehnya lagi, ini anehnya lagi, semua ketikan di laptop tidak hilang, utuh. Aneh betul. Padahal, posisi itu tidak saya control + s alias saya save (simpan). Saya memastikan saya sadar kala itu, dan benar, saya sadar. Tapi, kejadiannya demikian tadi, dan ini menurut saya aneh.
Keempat, kejadian berikutnya saat proses pengajuan ISBN, KDT, dan Barcode ke Perpusnas RI lewat laman isbn.perpusnas.go.id. Saya ingat dan teliti betul, bahwa judul buku ini aslinya di surat permohonan ISBN tertulis “Peradaban Nisan: Kajian Inskripsi, Kuburan, dan Makam”. Jika keliru, biasanya ada notifikasi revisi dan diminta petugas untuk upload ulang. Ini babarblas nggak ada notifikasi. Malah, ISBN keluar dan judulnya berganti “Peradaban Makam: Kajian Inskripsi, Kuburan, dan Makam”. Lah mbuh! Mungkin, ini keajaiban dalam proses menulis buku yang aneh ini. Sebab, sebelumnya saya debat panjang dengan Mas Yai Niam, bahwa yang cocok judul ini adalah “Peradaban Nisan”, bukan “Peradaban Makam”. Namun kenyataannya berbeda, dan ini super aneh.
Kelima, saat meminta prakata kepada Sekretaris PWNU Jawa Tengah KH. Hudallah Ridwan Naim, ada-ada juga kejadiannya. “Gus, niki pun siap diparingi Prakata”. Saya berujar demikian. “Sek, sek, Da, besuk saja tak ajak ketemu Gus Muwafiq sekalian biar lebih dalem. Sesuk nik aku meh ketemu Gus Muwafiq, ngko awakmu tak WA ya,” Gus Huda menjawab demikian. Dengan senang hati, saya menyetujui saran Gus Huda tersebut.
Akan tetapi, ketika Gus Huda sudah berjanji demikian, mungkin karena sudah kehendak Allah, selang dua hari, Gus Muwafiq terkena kasus “menghina nabi” yang kemudian sampai ke kepolisian. Sekira awal Desember 2019, Kelompok Front Pembela Islam (FPI) untuk melaporkan Gus Muwafiq ke Bareskrim Mabes Polri lantaran ceramah yang khilaf tersebut. Akhirnya, rencana untuk ketemu Gus Muwafiq gagal. Yawes lah. Mungkin memang nasib buku ini yang tidak direstui Allah diberi prakata Gus Muwafiq. Terpaksa, akhirnya saya menagih janji ke Gus Huda untuk memberikan prakata pada buku ini hingga akhirnya Anda baca ini.
Lupakan cerita saya di atas. Saya akan menjelaskan beberapa inti dari isi buku ini. Pada bagian pertama, penulis mengulas tentang klenik dan ilmiah. Di dalamnya menggambarkan tentang generasi milenial, pascamienial, hingga generasi alfa, misteri sedulur papat limo pancer, simbolisme kiai, hingga teknologi suwuk yang selama ini dimaknai sebagai klenik, bidah, dan syirik.
Kedua, penulis mengkaji tentang inskripsi dan nisan, serta peradaban manusia. Inskripsi sudah berkembang sejak dulu yang menjadi bukti peradaban manusia. Jika umat Hindu-Buddha memiliki relief, peradaban Jawa Islam memiliki inskripsi yang di dalamnya terdapat berbagai simbolismenya kehidupan.
Pada bagian ketiga, penulis mengkaji tentang kuburan, ada heroisme juru kunci, mbah modin, hingga misteri kuburan ganda. Pada bagian keempat, mengkaji tentang makam. Fokus kajian ini pada makam di balik kuburan wali yang penulis bongkar karena pemaknaan kuburan dan makam masih dianggap sama. Pada bagian kelima tentang peradaban kuburan yang mengkaji tradisi atau budaya masyarakat yang berangkat dari kuburan. Tradisi-tradisi itu merupakan bukti bahwa kuburan memiliki peradaban sendiri yang dilestarikan manusia.
Semua itu adalah wujud peradaban, bukan bidah, syirik, apalagi kafir. Kita dapat merujuk beberapa ayat Alquran yang sudah dipaparkan Gus Huda dalam prakata buku ini. Pendapat lain, As Sayyid Muhammad Bin Alwy Al Maliky Al Hasany (1971) dalam kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah. Dalam kitab itu, dijelaskan banyak hal untuk menjawab tuduhan atau serangan tabdi, tasyari, dan takfiri yang dialamatkan pada umat Islam yang melestarikan peradaban makam, kuburan, maupun inskripsi itu sendiri. Dan, itu terjadi lama sejak awal Islam berkembang dengan munculnya banyak kaum Salafi-Wahabi.
Dalam kitab itu, kita dapat mengambil pelajaran bahwa tentang dalil-dalil eksplisit bahwa selawat nabi, ziarah kubur, tawasul, nyadran, dan lainnya merupakan wujud tabarukan kepada orang yang dekat dengan Allah. Bahasa ayah saya, “nek pengen cedak karo Gusti Allah, awake dewe ya kudu ndepe-ndepe wong sing cedak Gusti Allah, yaiku nabi, wali, ulama, lan poro kiai”. Artinya, ketika kita ingin dekat dengan Allah sedangkan diri kita ini kotor, maka kita harus mendekat dulu lantaran (wasilah) kepada para nabi, wali, ulama, dan kiai karena mereka dekat dengan Allah, mereka kekasih Allah. Kita harus wasilah dulu kepada Nabi Muhammad dengan memohon kepada Allah agar menjadi manusia utuh, dan akhirnya selamat dunia dan akhirat. Kegiatan ini tentu saja membutuhkan perantara, sinyal, setrum, atau apapun namanya. Karena dimensi kita manusia “batu”, tentu harus ndepe-ndepe dengan manusia mutiara, siapa mereka? Jelas, nabi dan pewarisnya, yaitu ulama atau kiai.
Bentuk kegiatan ini merupakan wujud tabarukan kepada Nabi Muhammad, wali, ulama, kiai yang sudah wafat. Sebab, tabarukan tidak hanya kepada yang masih hidup, melainkan kepada mereka yang sudah meninggal dunia.
Dengan terbitnya buku ini semoga menjadi tambahan khazanah literatur tentang inskripsi, kuburan dan makam di Nusantara. Kami ucapkan terima kasih kepada Ketua LP Ma’arif PWNU Jateng, PWNU Jateng, Gus Huda, serta sahabat-sahabat semua di LP Ma’arif PWNU Jateng sebagai rekan, sahabat, kolega, dan bahkan musuh berdebat, berdiskusi dan ngopi. Semoga apa yang saya ketik di buku ini benar-benar menjadi sumbangsih pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Hamidulloh Ibda adalah penulis produktif. Ia menulis puluhan buku, puluhan artikel ilmiah di jurnal, mengedit ratusan buku, menulis ribuan artikel/esai populer.
Ia aktif menjadi Koordinator Bidang Diklat dan Litbang Lembaga Pendidikan Ma'arif PWNU Jawa Tengah 2018 - 2023, Koordinator Gerakan Literasi Ma'arif (GLM) LP Ma'arif PWNU Jateng 2018 - 2023, Bidang Humas Satuan Komunitas Pramuka Ma'arif PWNU Jateng 2018 - 2023, Bidang Literasi Media Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Jawa Tengah 2017 - 2022, Bidang Penjamin Mutu Perkumpulan Dosen PGMI Korwil Jateng - DIY 2017 - 2022, Kabid Media Massa, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pecegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah 2020 - 2022, Bidang Media Massa Lembaga Ta'lif Wan Nasr (LTN) Nahdlatul Ulama Temanggung 2019 - 2024, Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Temanggung TV 2020 - 2023, dan Wakil Ketua I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan STAINU Temanggung 2021-sekarang.