Manneke Budiman
Setelah menikmati novel ini, saya berkesimpulanm Hanna Rambe adalah seorang pengarang JAS MERAH sejati. Dengan pengetahuan yang banyak tentang sejarah percengkehan dan rempah-rempah lainya dari literature, ia tuang ke dalam novel ini. Sebuah novel tentang perlawanan terhadap wabah hongi ekonomi cengkeh yang melanda manusia di bumi subur laut kaya. Ia berdiri lebih tinggi dari pengarang perempupan Indonesia sebelum dan semasa dia. Novel 500-an halaman ini bagaikan pohon cengkeh besar sejarah yang bercabang, ranting, daun yang rindang, bunga, dan buah yang rimbun. Menikmati cerita ini tak perlu kita menuntut ketegangan sebuah cerita detektif, tapi kita akan terlibat dengan pathos (dengan pity, sympathy, tenderness and sorrow). Dari sepuluh bab ibarat cabang, semuanya mengandung pathos, juga logos dan ethos. Bahasanya bersih, jelas, sederhana dalam kalimat tunggal gaya KPSOK (Keterangan Pokok, Sebutan, Objek, Keterangan), atau ASPOA (Adjunct, Subject, Predicate, Object, Adjunct), bukan kalimat beranak cucu, mungkin karena lama ia menjadi wartawan. Dia bukan gayawan (stylist), yang lenggak-lenggok percuma, tapi novel ini mengandung ilham untuk mengadakan perlawanan kreatif yang ditopang oleh oleh bumi subur laut kaya terhadap wabah kapitalisme buas yang menyebabkan pengangguran dan kemiskinan.
Gerson Poyk
Hanna Rambe, lahir di Jakarta, 23 November 1940, menjalani pendidikan SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi di Jakara. Pernah bekerja sebagai wartawati di harian pagi Indonesia Raya, dan di majalah mingguan Mutiara. Buku-buku yang pernah diterbitkan antara lain, Seorang Lelaki di Waimital, Riwayat Hidup Pelopor Petani (Sinar Harapan, Jakarta, 1986), Mencari Makna Hidupku, Riwayat Hidup Pejuang Emansipasi Wanita (Sinar Harapan, Jakarta, 1974), Mirah dari Banda (Universitas Indonesia, 1983, edisi I; IndonesiaTera, 1988, edisi II; Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010, edisi III, Pertarungan (IndonesiaTera, 1988).