Ada banyak jenis kegagalan dalam hidup. Ada kegagalan yang terjadi karena kita enggak punya kesempatan. Ada kegagalan yang terjadi karena kita kurang berusaha. Tapi, kegagalan yang paling menyakitkan adalah ketika kita mendapatkan kesempatan dan sudah berusaha amat sangat keras, tapi kita masih gagal juga. Itulah yang gue rasakan pada kehamilan pertama gue karena gue gagal mengandung anak gue sampai genap sembilan bulan.
Kehamilan, buat seorang wanita, seharusnya adalah sebuah hal yang sangat alamiah. Tapi entah apa penyebabnya, tubuh gue enggak sanggup melakukannya sampai tuntas gara-gara pre-eklamsia. Pre-eklamsia bukan penyakit. Jadi enggak ada obatnya. Pre-eklamsia adalah sebuah kondisi di mana tubuh ibu seolah-olah “keracunan” karena kehadiran bayi di dalam rahim. Enggak ada yang tahu pasti apa penyebabnya. Rasanya seperti tersambar petir. Penantian panjang selama mengandung untuk bisa bertemu si buah hati dalam sekejap berubah menjadi sangat berisiko bagi sang ibu dan anak. Menakutkan. Mengagetkan. Dan mengubah hidup seratus delapan puluh derajat.
Di samping itu, ternyata bukan cuma pre-eklamsia aja yang mengubah hidup gue. Sebagai seorang perempuan yang baru pertama kali merasakan yang namanya hamil, ternyata ada banyak banget perubahan yang gue alami. Mulai dari perubahan fisik, psikologis, sampai sosial. Dan hal-hal itu gue alami jauh sebelum pre-eklamsia terjadi, yaitu sejak awal masa kehamilan gue.
Di sini gue mau cerita perjalanan gue menjadi seorang ibu. Mulai dari dua garis biru, pre-eklamsia, prematuritas, sampai kehidupan gue yang berubah total setelah kehadiran putri kecil gue. Dia adalah keajaiban kecil gue. My tiny miracle, Kayla.