(SANG PRESIDEN DAN BUKU PUISI KESEDIHAN)
***
“Kita berdosa. Maka menyesallah. Maka minta ampunlah. Dan sekarang semuanya sudah selesai. Sudah sempurna. Saatnya kalian kembali lagi, bergabung bersama manusia kembali. Kalian, aku utus menggantikan masing-masing jenderal yang telah kalian penggal kepalanya.”
(MENCULIK DAN MEMBUNUH PARA JENDERAL)
***
Mayat-mayat itu masih tergantung di depan benteng sampai hari Selasa berikutnya. “BAJINGAN PEMBERONTAK”, tulisan itu menjuntai, dikalungkan sekenanya pada leher mayat-mayat yang mulai disemuti dan dikerumuni lalat yang entah datangnya dari mana, koloni belatung berpesta pora, beranak pinak pada daging busuk mayat-mayat itu. Tak ada pribumi yang tega melintas dan memandang mereka. Mereka memilih menunduk, atau berlari, berbelok ke jalan lain dengan segera. Tapi dendam tentu tak bisa dipadamkan apinya. Malam ini, Frans dan tiga kawannya, para penyair, sedang menyiapkan tulisan-tulisan, bersiap memasak tepung sagu untuk merekatkan kertas-kertas di dinding kota.
(TIGA NYAMUK BETINA DAN PANGLIMA KABARESSI)
***
HANTU, PRESIDEN, DAN BUKU PUISI KESEDIHAN menghimpun cerita-cerita pendek pilihan Irwan Bajang yang ia tulis sejak 2009 hingga 2017. Beberapa di antaranya disambungkan dengan drama politik, sosial, keluarga, hubungan asmara, persahabatan, hewan peliharaan, dan perjalanan-perjalanan naratif tokoh-tokoh, dan dibalut tragedi-tragedi kecil dan besar di seputaran manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa cerita adalah modifikasi dan pandangan lain penulis terhadap kisah-kisah yang akrab dengan kita, ditulis ulang dengan perspektif pilihan penulis. Bukankah semua cerita pada dasarnya adalah pengulangan atas cerita-cerita sebelumnya?
Irwan Bajang, lahir dan besar di Aik-Anyar Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 22 Februari 1987. Ia datang ke Jogja tahun 2005, menyelesaikan kuliah di jurusan Ilmu Hubungan Nasional UPN Veteran Yogyakarta. Pernah menerbitkan Kumpulan Puisi Sketsa Senja (2006), Novel Rumah Merah (2008), Album Puisi Musik dan Ilustrasi Kepulangan Kelima (2013), Malam Tanpa Ujung (2014).
Tahun 2014 ia menerima Satu Indonesia award dari Astra Internasional untuk dedikasinya pada pendidikan dunia tulis-menulis dan sekolah menulis yang ia dirikan. Ia juga diundang untuk mempresentasikan kegiatannya di Kick Andy Metro TV pada tahun yang bersamaan.
Menjadi co-writer untuk buku Biografi R.C. Harjo Subroto, Seniman yang Tidak Mau Disebut Seniman (2014), editor untuk proyek penulisan sejarah kampung bersama Radio Buku yang menghasilkan buku Ngeteh di Patehan: Kisah Beranda Belakang Keraton Jogjakarta (2011).
Beberapa karyanya termuat di antologi Ibu (2009), Tralalatrilili (2009), Cinta, Rindu dan Hal-Hal yang Tak Pernah Selesai (2011), Karena Aku tak Lahir dari Batu (2011), Agoni: Antologi Puisi Jogja-Jember (2012), 22 Puisi Sastrwan NTB (2013), Lintang Panjer Wengi di Langit Jogja, Dokumentasi 90 Penyair Jogja Lintas Generasi (2014), Puisi di Jantung Taman Sari, Kumpulan Puisi 10 Penyair Muda Jogja (2014), Yogya Halaman Indonesia, 12 Penyair Yogya (2016), dan beberapa antologi lainnya.
Saat ini menjadi penyunting bahasa di Indie Book Corner, sebuah lembaga penerbitan yang ia dirikan sejak 2009. Hingga saat ini telah menyunting puluhan naskah penulis Indonesia. Menulis di media massa, media social, dan blog pribadi irwanbajang.com.