Jejak Darah Masa Lalu

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Buku 10 · Pantera Publishing
5.0
1 ulasan
e-Buku
96
Halaman
Rating dan ulasan tidak disahkan  Ketahui Lebih Lanjut

Perihal e-buku ini

DUA bayangan hitam berkelebat laksana angin menyeruak pekatnya kabut pagi hari. Sesaat kemudian perlahan-lahan suasana berubah. Lingkaran kabut sirna dan keadaan menjadi terang. Seiring dengan itu sang mentari unjuk diri dari bentangan kaki langit di sebelah timur.


Pada satu tempat, mendadak bayangan hitam sebelah kanan cekal tangan bayangan di sebelah kiri. Kedua bayangan ini serta-merta hentikan lari masing-masing. Mereka tegak dengan kepala lurus memandang ke depan.


Bayangan hitam sebelah kanan ternyata adalah seorang kakek bermuka pucat dengan rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya besar melotot. Kakek ini mengenakan jubah hitam besar dan panjang. Sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku jubah hitamnya. Sementara bayangan hitam di sebelah sang kakek adalah seorang perempuan berambut pirang yang tidak bisa dikenali raut wajahnya. Wajah orang ini ditutup dengan kain cadar berwarna hitam hanya menyisakan lobang pada kedua matanya. Perempuan bercadar ini memakai jubah berwarna hitam sepanjang lutut. Kedua tangannya juga dibungkus dengan kulit berwarna hitam dan tampak merangkap di depan dada. Kedua orang ini bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Durga Ratih alias Dewi Siluman.


Untuk beberapa lama Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman tegak dengan mulut terkancing tak ada yang perdengarkan suara. Hanya sepasang mata keduanya memandang tak berkesip. Malah Dewi Siluman sejenak kemudian pentangkan matanya makin besar. Wajah di balik cadar hitamnya berubah. Tengkuknya menjadi dingin.


Sejarak dua belas langkah dari kedua orang ini tampak satu sosok tubuh seorang perempuan tergeletak di atas tanah. Perempuan ini belum jelas benar karena posisinya telungkup. Sementara pakaian yang dikenakan tampak hangus serta tak karuan. Sosok inilah rupanya yang membuat Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman tampak tersentak kaget hingga tak ada yang buka mulut.


“Ki Buyut…,”’ kesunyian dipecah oleh suara Dewi Siluman. “Apa yang ada dalam benakmu?!”


Kakek bermuka pucat menyahut tanpa berpaling. “Rasanya dugaan kita sama. Tapi kita belum melihat dengan teliti untuk mengenalinya!”


“Dari bentuk serta pakaiannya, meski sudah compang-camping tidak karuan, agaknya aku hampir yakin!” gumam Dewi Siluman. Tubuh perempuan bercadar hitam ini bergetar. Tengkuknya makin merinding.


“Keyakinan tak cukup selain dibuktikan dengan mata kepala sendiri, Dewi!”


Ucapan Ki Buyut Pagar Alam belum selesai, laksana elang Dewi Siluman telah berkelebat ke depan.


Ki Buyut Pagar Alam segera menyusul.


Begitu Dewi Siluman tegak di samping sosok perempuan yang tergeletak tak bergerak, sepasang matanya mendelik besar. Kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan kulit gemetar. Ki Buyut Pagar Alam yang telah tegak di samping Dewi Siluman tak kalah kagetnya. Namun kakek ini cepat dapat kuasai diri dan segera berkata.


“Buktikan dahulu, Dewi!”


Dengan lutut gemetar, Dewi Siluman perlahan-lahan jongkok. Kedua tangannya pegang bahu orang yang tergeletak menelungkup. Lalu tangannya bergerak membalik tubuh orang.


Laksana disengat, sosok Dewi Siluman langsung terlonjak dengan mulut keluarkan jeritan keras. Pada saat bersamaan, Ki Buyut Pagar Alam terhenyak dengan tampang memucat dan matanya membeliak.


“Daeng Upas!” desis Ki Buyut Pagar Alam dengan suara laksana orang dicekik.


Perempuan yang menggeletak dan kini telentang itu ternyata seorang perempuan berusia agak lanjut. Pakaiannya terbuat dari sutera. Tidak jauh dari tempatnya menggeletak tampak sebuah bambu berwarna kuning. Dari ciri-ciri orang cukup membuat Ki Buyut Pagar Alam yakin jika perempuan yang telah jadi mayat itu adalah Daeng Upas, kakak kandung serta ibu Dewi Siluman.


Tiba-tiba Dewi Siluman menghambur kembali ke depan. Tubuhnya langsung direbahkan ke atas sosok perempuan yang tidak lain memang Daeng Upas. Tangan sang Dewi mengguncang-guncang sosok ibunya. Bersamaan itu terdengar ledakan tangisnya. Sedang Ki Buyut Pagar Alam menghela napas dalam sambil usap-usap wajahnya.


“Dewi…,” bisik Ki Buyut Pagar Alam setelah beberapa saat berlalu seraya pegang pundak Dewi Siluman dan perlahan-lahan ditarik dari atas tubuh Daeng Upas. “Kita harus segera mengurus jenazahnya….”


Dewi Siluman tepiskan tangan Ki Buyut Pagar Alam. Lalu berteriak keras.


“Jahanam siapa yang punya ulah ini?! Siapa? Siapa?!”


“Itu akan segera kita selidiki, Dewi…,” sahut Ki Buyut dengan suara tetap pelan dan bergetar.


Dewi Siluman angkat tubuhnya dari atas tubuh Daeng Upas yang telah kaku. Sepasang mata perempuan bercadar ini sembab. Air matanya terus mengalir. Kedua tangannya yang bersarung tangan mengusap-usap wajah Daeng Upas.


“Semua telah terjadi. Percuma kita tangisi nasib! Tidak akan menyelesaikan masalah….”


Dewi Siluman berpaling ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Mulut di balik cadar perempuan ini hendak mendamprat. Tapi setelah dipikir-pikir ucapan si kakek benar juga, perlahan-lahan Dewi Siluman arahkan kembali wajahnya pada Daeng Upas.


“Aku bersumpah akan menguliti tubuh manusia jahanam yang membunuh Ibu!”


“Itu akan segera kita lakukan! Sekarang kita harus mengurusnya dahulu!” sahut Ki Buyut Pagar Alam lalu jongkok. Tubuh Daeng Upas perlahan-lahan diangkat lalu dibawa melangkah. Dewi Siluman hanya memandang. Tak lama kemudian dia mengambil bambu kecil berwarna kuning yang tadi tergeletak di samping sosok Daeng Upas. Lalu bangkit dan menyusul Ki Buyut Pagar Alam.


***


Dewi Siluman dan Ki Buyut duduk bersimpuh di depan gundukan tanah merah tempat dikuburnya Daeng Upas. Dewi Siluman masih terisak. Sedang Ki Buyut tundukkan kepala.


“Ibu, aku akan membalas manusia jahanam yang membuatmu begini!” isak Dewi Siluman.


Ki Buyut Pagar Alam bangkit berdiri. Memandang pada gundukan tanah merah lalu beralih pada Dewi siluman sambil berujar.


“Dewi…. Kita tinggalkan tempat ini!”


Dewi Siluman seka air matanya. Lalu perlahan-lahan bangkit. Setelah menarik napas dalam dia balikkan tubuh melangkah menyusul Ki Buyut yang telah melangkah pelan mendahului.


“Buyut! Kau bisa menduga siapa manusia jahanam penyebab kematian Ibu?!” tanya Dewi Siluman setelah dekat dengan Ki Buyut.


“Ada beberapa orang. Mereka selama ini punya masalah dengan ibumu! Namun kita masih perlu menyelidiki agar kita tidak buang-buang tenaga percuma. Apalagi kini rimba persilatan sedang dilanda kemelut. Jika kita tidak teliti, kita akan salah turunkan tangan!”


“Katakan siapa kira-kira jahanam itu!”


“Hem…. Orang pertama adalah Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya. Ibumu kuketahui sejak lama memendam dendam pada mereka. Merekalah yang membuat hidup ibumu merana. Orang kedua adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Kau tahu, rahasia Kitab Serat Biru sebenarnya harus jatuh ke tangan ibumu. Namun karena ulah Gendeng Panuntun dan saudara saudaranya, Kitab Serat Biru akhirnya dimiliki pemuda itu. Bukan tak mungkin pemuda itu lalu menyingkirkan ibumu karena tahu masalahnya dari Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya! Orang ketiga adalah penghuni Istana Hantu yang dikenal dengan Tengkorak Berdarah. Tokoh misterius inilah yang selama ini dikabarkan orang dalang di belakang terbunuhnya beberapa tokoh rimba persilatan! Tapi siapa pun pembunuh itu yang jelas kepandaiannya tidak berada di bawah ibumu! Dari sini kita harus berhati-hati!”


“Peduli setan dengan kepandaian orang! Aku akan menuntut balas!” menyahut Dewi Siluman dengan setengah berteriak.


Ki Buyut menggelengkan kepala. “Kau tidak boleh gegabah, Dewi! Itu akan mendatangkan celaka! Dalam urusan ini kita dituntut untuk bertindak hati-hati bahkan kalau perlu harus berlaku licik!”


Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan Ki Buyut Pagar Alam. Agak lama baru dia perdengarkan suara lagi. “Ki Buyut. Apa yang kau ketahui tentang Tengkorak Berdarah?”


“Bukan hanya aku, tapi mungkin semua orang masih diliputi teka-teki tentang tokoh satu itu! Apa gerangan di balik perbuatannya selama ini! Tapi bagiku orang itu punya tujuan tertentu!”


“Kau bisa menebak apa tujuannya?!”


Ki Buyut Pagar Alam menggeleng. “Sulit meraba apa tujuannya. Hanya yang bisa kutangkap, dia seolah ingin mengundang munculnya beberapa orang! Kau tahu sendiri. Kini banyak tokoh yang muncul. Salah satunya adalah pemuda aneh bertangan buntung yang sempat bentrok dengan ibumu….”


“Ah…. Jangan-jangan pemuda itu yang membunuh Ibu! Bukankah dia pernah punya urusan juga dengan Ibu?!” gumam Dewi Siluman.


“Itu mungkin saja. Tapi ibumu tampaknya belum mengenal pemuda itu. Jadi kemungkinannya jauh sekali….”


“Aku jadi bingung! Sekarang yang mana harus kita cari dahulu?!”


“Kita tak dapat mendahulukan yang mana. Ketiga orang yang kukatakan sama pentingnya. Siapa yang kita temui dahulu di antara ketiganya, dialah yang kita selesaikan dahulu!”


“Lalu ke mana….” Dewi Siluman putuskan ucapannya. Saat itu mendadak terdengar satu seruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang angin luar biasa keras menggebrak ganas ke arah Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.


Ki Buyut Pagar Alam dorong sosok Dewi Siluman hingga tersurut tiga langkah ke samping. Si kakek sendiri melompat dua langkah. Gelombang angin lewat di tengah antara sosok sang Dewi dan Ki Buyut Pagar Alam melabrak tempat kosong.


Hampir berbarengan, kepala Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam berpaling ke arah asal datangnya gelombang angin yang jelas-jelas hendak mencelakai keduanya. Rahang di balik cadar sang Dewi mengembung. Sepasang matanya berkilat. Di sebelah sampingnya Ki Buyut Pagar Alam kernyitkan kening dengan mulut komat-kamit. Sepasang matanya yang melotot besar mementang tak berkesip memandang ke depan.


Kurang lebih sepuluh tombak dari tempat masing-masing, Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam melihat seorang yang sekujur tubuhnya dibungkus dengan jubah terusan warna abu-abu yang pada bagian dadanya ada lukisan tengkorak.


Ki Buyut Pagar Alam segera melompat ke arah Dewi Siluman. Sang Dewi berkata.


“Ki Buyut. Siapa adanya manusia ini?! Kenapa tiba-tiba menyerang kita?!”


“Aku baru kali ini bertemu dengannya! Aku akan ajukan tanya!”’


Dewi Siluman mendengus. “Untuk membunuh orang yang jelas hendak mencelakai kita apa pentingnya tahu siapa dia?!”


“Dewi…. Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita harus bisa menghemat tenaga dan mengambil untung sebisanya!”


“Apa maksudmu, Ki Buyut?!”


Ki Buyut Pagar Alam tidak menjawab pertanyaan Dewi Siluman. Sebaliknya kakek ini maju satu tindak. Lalu berkata.


“Rasanya kita baru jumpa sekali ini. Harap sebutkan diri agar tidak terjadi silang sengketa tanpa urusan yang jelas!”


Orang berjubah abu-abu terusan yang tidak lain adalah orang yang selama ini perkenalkan diri dengan Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Tapi mendadak tawanya diputus. Saat lain dia berucap.


“Ucapanmu benar. Kita baru kali ini berjumpa, Tua Bangka! Tapi aku tahu siapa adanya kalian berdua! Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu, namun mungkin kau dan perempuan bercadar itu tak punya waktu lagi! Kedua tanganku akan mengirim kalian menyusul si kampret Daeng Upas sebelum kalian mendengar jawabanku!”


Baik Dewi Siluman maupun Ki Buyut Pagar Alam terkesiap kaget. Dewi Siluman segera angkat kedua tangannya siap lepaskan pukulan. Dia telah menduga bahwa orang di hadapannya masih ada sangkut paut dengan terbunuhnya Daeng Upas.


“Tahan, Dewi!” seru Ki Buyut Pagar Alam. “Jangan sampai kita dikecoh orang! Bukan tak mungkin dia hanya mengaku-aku agar orang sebenarnya yang membunuh ibumu bisa leluasa tak dicurigai!”


“Manusia jahanam ini telah mengaku sendiri. Untuk apa berpanjang lebar?!” sahut Dewi Siluman dengan kedua tangan masih terangkat. Tapi dia batalkan untuk lepaskan pukulan.


Ki Buyut Pagar Alam menoleh pada Dewi Siluman. Tapi kakek ini tidak berkata apa-apa. Kejap lain Ki Buyut memandang ke arah Tengkorak Berdarah lalu berkata.


“Kau bilang tahu siapa kami berdua. Coba katakan siapa adanya kami!” pancing Ki Buyut. Kakek ini berlaku cerdik. Dia tidak ingin saja mempercayai ucapan orang. Dia maklum, dalam situasi kemelut seperti saat ini, sulit membedakan mana lawan mana kawan. Tak jarang orang yang dianggap kawan menghantam dari belakang dan sebaliknya.


“Kau dengar ucapanku! Kalian tak mungkin punya kesempatan mendengar jawabanku!”


Mendengar kata-kata orang berjubah abu-abu terusan, Dewi Siluman yang tidak sabaran dan sedari tadi sudah geram segera sentakkan kedua tangannya mendahului gerakan Tengkorak Berdarah.


Wuuttt! Wuuttt!


Dua gelombang kabut hitam melesat dan melabrak ganas ke arah Tengkorak Berdarah! Anak perempuan Daeng Upas telah lepaskan pukulan andalan ‘Kabut Neraka’.

Rating dan ulasan

5.0
1 ulasan

Berikan rating untuk e-Buku ini

Beritahu kami pendapat anda.

Maklumat pembacaan

Telefon pintar dan tablet
Pasang apl Google Play Books untuk Android dan iPad/iPhone. Apl ini menyegerak secara automatik dengan akaun anda dan membenarkan anda membaca di dalam atau luar talian, walau di mana jua anda berada.
Komputer riba dan komputer
Anda boleh mendengar buku audio yang dibeli di Google Play menggunakan penyemak imbas web komputer anda.
eReader dan peranti lain
Untuk membaca pada peranti e-dakwat seperti Kobo eReaders, anda perlu memuat turun fail dan memindahkan fail itu ke peranti anda. Sila ikut arahan Pusat Bantuan yang terperinci untuk memindahkan fail ke e-Pembaca yang disokong.