KAMPUNG SUAMIKU

"Lho, kenapa emangnya, Yung?" tanyaku pada Biyung (Ibu) dalam bahasa Jawa.

"Udah, pokoknya jangan cuci piring malam-malam," ujarnya memperingati kembali tanpa memberitahu kenapa dan ada apa.

Ibu mertuaku masuk ke kamar selepas memperingatiku. Aku diam sejenak, sambil melihat piring-piring kotor di westafel sehabis makan bersama tadi.

Jam menunjukkan pukul delapan malam, keluarga suamiku menunaikan salat Isya berjamaah di rumah. Di karenakan masjid serta musala yang jauh dari rumah. Maklumlah, tempat mertuaku sudah masuk ke pelosok desa. Jalanannya pun minim pencahayaan.

Aku tak ikut salat dikarenakan sedang kedatangan tamu bulanan. Menunggu mereka selesai salat aku duduk di bangku kayu di ruang tamu sambil memainkan ponselku.

Masih memikirkan kenapa memangnya dengan mencuci piring di malam hari. Di Jakarta aku sering mencuci piring di malam hari seusai makan malam, agar di pagi harinya piring-piring kotor sudah bersih tercuci.

Karena asyikan berselancar di sosmed aku sampai terkejut ketika suamiku menepuk pundak.

"Ayo masuk, tidur. Udah malam," katanya sambil melipat sarung.

Aku mengangguk dan masuk ke dalam kamar. Ruang tamu, dapur serta kamar-kamar lainnya lampunya dimatikan.