KAWRUH SIWABUDDHA: AJARAN KESADARAN SIWABUDDHA

· Isanabajra
4.7
3 opiniones
Libro electrónico
248
Páginas
Las calificaciones y opiniones no están verificadas. Más información

Acerca de este libro electrónico

Dalam buku ini, yang akan dijelaskan adalah metode dari Kisah Sutasoma. Karena ajarannya ini, memiliki hubungan erat dengan tradisi laku ngangsu-Kawruh, atau praktik spiritual individu (Kebathinan) yang telah menjadi tradisi merakyat di Jawa. Dimana Kayogiswaran adalah jalan menuju pengetahuan pada Atman yang adalah Adiyogi, sedangkan Kabodhisatwan adalah jalan menuju pencapaian pada Niratman, yang adalah Adibuddha. Ketika tercapainya Adibuddha (Jinalaya), maka Kitapun sama dengan jiwa Siwa yang bertubuhkan Buddha. Itulah maknanya, jika Siwabuddha itu, Kitalah sendiri! Ini sama dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti, menyatukan Aku (Atman) dan Engkau (Niratman).  

Adanya idealisme Siwabuddha oleh Mpu Tantular, dalam Kakawin Sutasoma, dicirikan dengan penerapan filsafat abadi, atau sekarang disebut filsafat perennial. Dalam Dharma, filsafat perennial adalah sebuah pemikiran filsafat abadi (Sat), yang menggali lagi sumber kitab-kitab epos, prinsip maupun tradisi kuno jauh ke belakang, yang terbukti abadi, menjadi kunci tema semua ajaran filsafat sekarang. Dulunya, cara berpikir perennial ini, sudah melekat di Kawruh lokal Kita. 

Dari Laku Lampah-nya, atau pengalaman langsung Spiritual-nya, telah memiliki prinsip mendasar, bahwa semua tradisi keagamaan sebenarnya mencirikan satu kesatuan semesta yang tunggal. Sang Mpu Tantular, nyatanya juga telah berhasil memadukan dua jalan, Kayogiswaran (Śiwa) dan Kabodhisatwan (Buddha) ke dalam satu perenungan di jalan yang sama. Karena kedua ajarannya memandang ke dalam, bukan memandang ke luar.

Melalui kejeniusan seorang Mpu Tantular, menunjukkan tulisannya menyampaikan banyak kedalaman makna yang tersembunyi dari filosofi esoteris dan eksoteris dibaliknya. Kakawin Sutasoma ini bercerita banyak dalam kiasan, juga keteladanan, yang ditujukan melukiskan kedua paham ke dalam satu pembelajaran. Filsafat perennial, adalah ketika Kita mulai berfokus pada ide-ide abadi dan kebenaran universal. Ini seperti kembali lagi ke jaman masa lalu, dan membawa ajaran lama yang bisa disesuaikan masa sekarang.

Dalam prinsip perennial, kembalinya Kita ke pijakan masa lalu, bahkan menjumpai ke jaman pupunden sekalipun, pada dasarnya yang dikembalikan adalah ajaran prinsip akar yang telah terbukti kebenarannya, nyata, universal, tetap abadi yang dibutuhkan di jaman sekarang. Sehingga memunculkan gagasan kreatif, jenius dan brilian dengan tujuan revolusi moral, mengajak kebangkitan intelektual dan spiritual. 

Dan, dengan melalui penelusuran karya dari Sang Mpu Tantular inilah, Kebhinekaan nya digagas!

Kasaiwan dan Kabuddhan masa lampau, dengan yang kita jumpai dalam warisan tradisi kepercayaannya di akar masyarakat, pada dasarnya memperlakukan Hindu-Buddha India sebagai filosofi terapan, bukanlah agama secara doktrinal, dan cenderung menerimanya tanpa kerumitan berfilosofi. Tradisinya sebagaimana seni ngangsu kawruh adalah serupa dengan seni dalam Tantra. Karena definisi tantra itu, dalam ajaran Dharma, adalah tradisi keagamaan yang dikomunikasikan secara tradisional. Tantra, adalah bentuk keagamaan yang lebih mengutamakan pendalaman mistik bathinnya, melalui praktik laku, yang diikuti dengan ritus budaya, menjadi tradisi ritualnya keagamaan pedesaan kuno di Nusantara. Meski sebutan Tantra bukan dari Nusantara, hanya dari apa yang Kita jiwai definisi dan materinya, memiliki kesamaan pengetahuan dan pendalaman yoga mistiknya.

Seperti halnya yang telah menjadikan karakteristik Dharma di Nusantara, dalam mengidentifikasikan fokus orientasi ajarannya, sangat mengutamakan praktik nyata, yang diistilahkan dengan “Aparokșanubhūti”, atau pengalaman spiritual langsung. Bukan cara beragama yang lebih banyak mengembangkan kajian-kajian teoritikal-nya, daripada praktikal-nya (olah rasa). Hal ini bukanlah anti intelektual, karena dari pengalaman langsung, justru Kita dapat menemukan pemahaman dan penafsiran teori teologi filosofi-nya berdasarkan pengetahuan intelektual dari pengalaman yang dialaminya. Maka, akan beda tafsir dengan yang mengabaikan laku spiritual-nya.

Kita sejatinya telah memiliki tradisi akar kepercayaannya pada Hyang Maha Tunggal, adanya realitas keilahian semesta (Buana agung), sebagai pusat simbolis, kepercayaan dan nilai budayanya. Tradisinya menitik-beratkan perilakunya, pada nilai sifat inti semesta yang mengelilinginya. Ajarannya sarat berbagai filosofis yang menyoroti aspek-aspek cakrawala psikologis dalam diri atau batin Kita sendiri (Buana alit).

Inilah yang mencairkan hubungan Śiwa, Buddha dan agama lokalnya, harus tetap selaras dengan kesadaran tertinggi Kita pada Hyang, Samastha-Nya dan sesama manusianya sendiri. Karenanya, panunggalan Siwabuddha, dianggap telah lama berlangsung dalam peradabannya di Nusantara. Sama-sama mengajarkan Kita melek pada kebenaran Dharma yang sejatinya tunggal.

Maka ketika dipadukan dengan Kawruh lokal-nya, pemahaman intelektualitas dari Śiwa juga Buddha, menjadi dirasakan semakin dekat dengan makna filosofi kesemestaan, yang akhirnya sama-sama turut memayu hayuning Buwana. Jinatwa itu, tatwa atau prinsip Kita pada jiwa semesta dalam diri (buana alit) dan Śiwatattwa, membawa Kita memahami realitas jiwa-nya alam semesta (buana agung).

Sehingga sifat Śiwa menguasai dunia sejagat, dan sifat Buddha menguasai dunia batin, ini nyatanya saling mengisi Dharma di Nusantara, menjadi keduanya seperti sulit dipisahkan. Topik-topik intisari ajaran kesadaran Siwabuddha, yang sering banyak dipertanyakan generasi muda sekarang, adalah tatwa-nya sendiri. Artinya ada keinginan kuat menelusuri, memahami, mendalami dan mengamalkan ajaran Dharma Nusantara yang universal, sebagaimana prinsip semboyannya Bhineka Tunggal Ika yang telah menjadi inspirasi mendunia.

Disini akan menjelaskan dari sisi Kawruh (Tattwa), Laku (Marga) dan Kalepasan (Mokṣa atau Nirwāna), yang menjadi intisari ajaran Siwabuddha. Kayogiswaran dengan Kabodhisatwan, dirajut menjadi satu Kamanunggalan Siwasakti-Buddhapradnya.

Setelah ini, Kitapun akan tiba pada pertanyaan tentang tujuan akhir Śiwabuddha; Mokṣa atau Nirwāna?


Calificaciones y opiniones

4.7
3 opiniones

Acerca del autor

Jro indra, lahir di Puncak, Bogor, 24 Februari 1970. Dibesarkan di Jakarta, hingga kemudian mengikuti kuliah pariwisata dan perhotelan di Bandung dan Bali. Lalu pernah bekerja di hotel dan restaurant di Jakarta, Bandung, Ambon, Bali, hingga menetap di Bali, sampai sekarang.

Sejak muda menekuni ajaran spiritual dalam laku Kawruh, hingga mendalami ajaran Dharma.

Isanabajra, berkedudukan di Bali, adalah penerbit self-publishing.

Califica este libro electrónico

Cuéntanos lo que piensas.

Información de lectura

Smartphones y tablets
Instala la app de Google Play Libros para Android y iPad/iPhone. Como se sincroniza de manera automática con tu cuenta, te permite leer en línea o sin conexión en cualquier lugar.
Laptops y computadoras
Para escuchar audiolibros adquiridos en Google Play, usa el navegador web de tu computadora.
Lectores electrónicos y otros dispositivos
Para leer en dispositivos de tinta electrónica, como los lectores de libros electrónicos Kobo, deberás descargar un archivo y transferirlo a tu dispositivo. Sigue las instrucciones detalladas que aparecen en el Centro de ayuda para transferir los archivos a lectores de libros electrónicos compatibles.