Kitab Serat Biru

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Buch 5 · Pantera Publishing
4,4
7 Rezensionen
E-Book
115
Seiten
Bewertungen und Rezensionen werden nicht geprüft  Weitere Informationen

Über dieses E-Book

UNTUK beberapa saat Joko Sableng perhatikan orang di hadapannya. Dia adalah seorang pemuda mengenakan jubah putih. Sepasang matanya tajam dengan dagu kokoh dan rambut panjang lebat.


Orang yang dipandang tengadahkan kepala. “Hm…. Ternyata ada anak manusia yang mendahului langkahku! Jahanam betul! Siapa dia?! Apakah telah berhasil mendapatkan kitab sakti itu?!” gumamnya lalu luruskan kepala.


Sesaat dua orang ini saling bentrok pandang. Murid Pendeta Sinting buka mulut hendak bicara. Namun sebelum ucapan keluar dari mulutnya, pemuda berjubah putih yang bukan lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur telah angkat tangan kanannya dan berkata dengan suara keras.


“Kau tak berhak bertanya! Aku yang berhak ajukan tanya!”


Murid Pendeta Sinting angkat alis matanya, lalu garuk pantatnya seraya membatin. “Sombong betul! Tapi siapa pun dia adanya pasti membekal ilmu, apalagi bisa sampai ke tempat ini!”


“Katakan siapa kau!” hardik Malaikat Penggali Kubur seraya melangkah maju satu tindak.


Pendekar 131 arahkan pandangannya pada deburan ombak jauh di depan sana. Lalu berujar. “Aku Pangeran Mendut-Mendut! Penghuni pulau gersang ini! Boleh tahu siapa kau adanya?!”


Malaikat Penggali Kubur kernyitkan dahi. Matanya mendelik angker mengawasi pemuda di hadapannya. Namun tak lama kemudian tawanya meledak.


“Setan laut pun tidak akan percaya jika tampang macammu adalah seorang pangeran!” kata Malaikat Penggali Kubur di sela suara tawanya. Namun mendadak suara tawanya diputus. Seraya berpaling pada Joko dia membentak.


“Jangan berani mengumbar bicara tak karuan! Lekas katakan siapa dirimu!”


“Silakan setan laut atau hantu pulau inj tidak percaya. Yang pasti aku adalah .Pangeran Mendut-Mendut!” ujar Joko seraya senyum-senyum. Lalu melanjutkan. “Kau telah mengetahui siapa diriku. Sebagai penghuni pulau ini, aku ingin tahu siapa kau adanya!”


Malaikat Penggali Kubur keluarkan dengusan keras sebelum menjawab.


“Aku Malaikat Penggali Kubur!”


“Ah…. Kalau seorang malaikat datang jauh-jauh ke pulau yang gersang ini pasti punya tujuan penting!”


“Penting atau tidak bukan urusanmu!” sentak Malaikat Penggali Kubur. “Aku tanya padamu, di mana disembunyikan Kitab Serat Biru!”


“Apa…?!” tanya Joko sambil telengkan kepalanya.


“Kau tidak tuli! Orang tanya di mana disembunyikan Kitab Serat Biru!”


“Kitab Serat Biru?” tanya Joko seraya kerutkan kening.


“Betul! Sebuah kitab yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan kalangan rimba persilatan dan tidak sedikit pula orang yang coba mencarinya. Kitab itu menurut kabar yang kupercaya berada di pulau ini!” kata Malaikat Penggali Kubur memberi keterangan.


“Kau tidak kesasar ke tempat yang salah?!” tanya Joko


"Malaikat Penggali Kubur tidak akan datang ke tempat yang salah!”


“Dari mana kau tahu tempat ini?!”


“Jahanam! Kau terlalu banyak tanya!” bentak Malaikat Penggali Kubur. Rahang pemuda murid Bayu Bajra ini mulai mengembung.


“Ah, maaf. Sejak kecil aku berada di tempat ini. Tak pernah sekali pun melihat keadaan di luaran sana. Jadi harap dimengerti jika aku tak mengetahui bahwa banyak orang rimba persilatan membicarakan kitab yang dikabarkan berada di pulau ini!”


“Hm…. Jadi kau tak mengerti?!” tanya Malaikat Penggali Kubur dengan mata berkilat.


“Bukan hanya tidak mengerti. Namun baru pertama kali ini mendengar kau sebutkan nama kitab itu!”


“Heran. Bagaimana mungkin? Apakah peta itu palsu? Tapi melihat gugusan batu padas serta pasir di pulau ini, aku yakin inilah Pulau Biru! Hm…. Jangan-jangan pemuda ini mendustaiku!”


Untuk pertama kalinya Malaikat Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Tapi mana dia percaya begitu saja akan ucapan orang. Apalagi ketika matanya menumbuk pada hamburan batu di dekat lobang.


“Jika mau kusarankan, lebih baik kau menuju pulau itu!” kata Joko setelah agak lama keduanya sama diam sambil menunjuk pada pulau di seberang.


“Di sini kau tidak akan menemukan kitab yang kau katakan! Sebagai penghuni, aku hafal seluk-beluk pulau ini serta apa saja yang ada di dalamnya!


Malaikat Penggali Kubur tampak menyeringai mendengar ucapan Joko. Diam-diam ia membatin.


"Melihat pakaian yang dikenakan, mengaku mengaku seorang Pangeran, seperti nya tidak masuk akal jika dia penghuni dan tidak pernah meninggalkan pulau ini!” Lalu pemuda berjubah Putih berkata:


“Aku datang Jauh-jauh percuma jika tidak membuktikan sendiri semua ucapanmu! Dan sebelum menyelidik keseluruh pulau,bagaimana aku bisa menerima jika aku datang ke tempat yang salah!”


Tanpa memperdulikan pandangan Pendekar 131, Malaikat Penggal Kubur melangkah kearah lobang dari mana murid Pendeta Sinting, keluar.


"Tunggu!" seru Joko seraya tegak menghadang. "Ini tempatku. Aku…."


Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah. Lalu memandang lekap pada Joko dan menukas ucapannya. “Dengar! Sekali kau bergerak dan tempatmu aku tak segan penggal kepalamu!" Lalu Malaikat Penggali Kubur teruskan langkah.


“Meski kitab telah berada di tanganku, tapi bisa bahaya jika dia masuk ke bawah ,kata Joko dalam hati, lalu berkata.


“Jika kau teruskan langkah, berarti kau tidak menghormati Pangeran Mendut-Mendut!”


Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. “Persetan dengan Pangeran! Persetan dengan penghormatan!”


Pendekar 131 palangkan tangan kanan kirinya ke samping membuat gerakan penghadangan. “Persetan juga dengan Malaikat Penggali Kubur!” Joko ikut-ikutan berkata.


“Kau mencari mampus!” bentak Malaikat Penggali Kubur seraya angkat tangan kanannya. “Persetan dengan mampus!" Eh salah …. Yang kumaksudkan…


Joko tak sempat lagi teruskan ucapannya, karena saat itu juga Malaikat Penggali Kubur telah gerakkan tangan kanannya.


Namun gerakan tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tertahan ketika tiba-tiba mereka berdua dikejutkan dengan suara tawa bersahut-sahutan.


Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 131 serentak sama palingkan kepala ke arah datangnya suara tawa. Namun belum sampai kepala masing-masing orang berpaling, dua bayangan hitam telah berkelebat dan tahu-tahu tegak terjajar beberapa langkah di samping Malaikat Penggali Kubur.


“Mereka!” desis Malaikat Penggali Kubur seraya pandangi satu persatu pada dua orang yang baru datang. Paras wajah pemuda ini tampak berubah. Tapi kejap kemudian dia mendongak sambil keluarkan dengusan keras.


Pendekar 131 kernyitkan kening lalu memandang pada orang yang baru datang yang tegak di sebelah kanan. Di situ tegak seorang kakek mengenakan jubah hitam dengan rambut disanggul ke atas. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan rongga yang besar dan dalam. Kakek ini tegak seraya sedikit tengadah dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya.


Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya pada orang di sebelah si kakek. Mendadak air muka Joko berubah. Seraya pentangkan mata besar-besar dia perhatikan orang kedua ini baik-baik. Dia adalah seorang perempuan berambut pirang bergerai sepanjang punggung. Mengenakan jubah panjang sebatas lutut juga berwarna hitam. Perempuan ini tidak bisa dikenali karena wajahnya ditutup dengan cadar berwarna hitam yang berlobang di bagian kedua mata. Kedua tangannya yang merangkap di depan dada tampak dibungkus dengan sarung tangan dari kulit yang juga berwarna hitam.


“Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan perempuan ini yang mencuri Pedang Tumpul 131! Hm…. Kebetulan sekali! Tapi aku harus berhati-hati….”


Kalau Malaikat Penggali Kubur tampak terkejut dengan kemunculan dua orang kakek dan perempuan bercadar yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman, demikian pula halnya dengan Dewi Siluman. Namun perempuan ini tidak terkejut dengan adanya Malaikat Penggali Kubur, hanya dia hampir tak percaya dengan keberadaan Pendekar 131 di tempat itu! Yang paling tampak tenang ialah Ki Buyut Pagar Alam.


“Bagaimana anak manusia ini bisa berada di tempat ini?!” gumam Dewi Siluman dengan menatap tajam Pendekar 131.


Seperti diketahui, waktu terjadi bentrok antara Pendekar 131 dengan Ratu Pemikat serta Iblis Ompong, Dewi Siluman tiba-tiba menyeruak lalu menyambar murid Pendeta Sinting yang sedang melayang hendak jatuh dan membawanya pergi. Dan pa-da akhirnya Dewi Siluman berhasil mengambil Pedang Tumpul 131 milik Joko. Lalu bersama dengan paman guru sekaligus pembantunya Ki Buyut Pagar Alam, Dewi Siluman teruskan perjalanan menuju arah selatan. Pada satu tempat mereka berdua bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur yang saat Ku juga sedang melakukan perjalanan menuju Pulau Biru setelah mendapatkan peta asli dari tangan Dewa Sukma. Saat itu sebenarnya Dewi Siluman hendak lancarkan satu pukulan pada Malaikat Penggali Kubur yang hendak berkelebat pergi, namun ditahan oleh Ki Buyut Pagar Alam. Kakek ini merasa curiga dengan Malaikat Penggali Kubur. Dia lalu menyarankan pada Dewi Siluman untuk membiarkan Malaikat Penggali Kubur berkelebat pergi namun dengan diam-diam mereka mengikuti dari belakang.


“Kalian berdua!" Mendadak Malaikat Penggali Kubur berteriak seraya menunjuk kepada Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman. "Urusan kita belum usai! Jangan berani coba-coba menambah urusan dengan ikut campur urusanku dengan pemuda ini!"


sepasang mata Dewi Siluman terpentang besar mengarah pada Malaikat Penggali Kubur. ilmu .kepandaianmu masih sebatas telapak kaki masih juga bermulut besar! Dengar! Kau menyingkir dulu tunggu giliran. Aku akan selesaikan urusan dengan anak itu!


"Hmm… Rupanya kau telah mengenal Pangeran keparat Ini!” desis Malaikat Penggali Kubur, namun diam-diam dia juga masih membatin. “Ucapan perempuan bercadar ini membuktikan bahwa pemuda yang mengaku bernama Pangeran Mendut-Mendut ini sudah berkeliaran di luaran sana. Berarti dia juga bukan penghuni pulau ini! Jahanam betul! Dia telah menipuku’"


Mendengar Malaikat Penggali Kubur sebutkan Pangeran pada Pendekar 131, Dewi Siluman tertawa bergelak-gelak.


“Apa kau bilang? Pangeran? Pangeran apa?! Dasar manusia sok tahu namun dungu! Dengar baik-baik agar kau tak penasaran jika masuk liang kubur! Pemuda yang kau sebut Pangeran yang kini tegak di hadapanmu adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131!”


Persetan siapa dia! Pedang Tumpul 131 atau Pangeran Mendut-Mendut! Yang jelas aku punya urusan dengan dia dan jangan ikut campur!"


Di lain pihak, mendengar ucapan Dewi Siluman yang sebutkan siapa dirinya sebenarnya, murid Pendeta Sinting makin yakin bahwa perempuan berjubah dan bercadar hitam itulah orang yang membawa lari pedangnya. Namun sejauh ini dia belum mau mulai buka mulut untuk bertanya.


“Dasar manusia baru turun gunung! Tidak tahu siapa yang dihadapi! Buta tidak dapat menentukan mana Pendekar mana Pangeran!” kata Dewi Siluman lalu perdengarkan tawa mengejek.


Rahang Malaikat Penggali Kubur mengatup rapat. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Sepasang matanya mendelik angker melotot pada Dewi Siluman. Kedua tangannya terlihat bergerak mengepal pertanda dia siap lepaskan pukulan.


“Tahan!” Tiba-tiba Ki Buyut Pagar Alam berseru demi melihat apa yang hendak dilakukan Malaikat Penggali Kubur.


“Aku bicara terus terang saja. Kau dan kami datang ke tempat ini pasti dengan tujuan memburu kitab sakti Serat Biru. Betul?”


“Aku tak akan katakan tujuanku!" sahut Malaikat Penggali Kubur.


Ki Buyut Pagar Alam tak hiraukan ucapan Malaikat Penggali Kubur. Dia melanjutkan kata-katanya. “Keinginan kita ternyata telah didahului orang. Dan bukan tidak mungkin orang yang mendahului kita telah mendapatkan kitab itu! Sekarang bagaimana kalau kita berbagi rezeki?!"


“Apa maksudmu?!” ujar Malaikat Penggali Kubur sambil memandang tajam pada Ki Buyut Pagar Alam.


“Kita buktikan bersama-sama apakah orang itu telah mendapatkan kitab itu! Lalu….’


“Bagaimana membuktikannya?!” potong Malaikat Penggali Kubur.


“Kita tanya baik-baik. Kalau keras kepala kita cabut nyawanya bersama-sama!”


Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu tertawa pendek. “Malaikat Penggali Kubur tidak butuh bantuan jika cabut nyawa orang! Aku punya kekuatan untuk melakukannya sendiri!”


Mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur, Ki Buyut ganti perdengarkan tawa panjang. “Anak muda! Kami telah buktikan, kekuatanmu masih jauh di bawah kami! Bagaimana mungkin kau akan hadapi seorang pendekar?!”


Rahang Malaikat Penggali Kubur makin mengembang dan terangkat. Pemuda ini hendak keluarkan suara membentak, namun Ki Buyut Pagar Alam telah mendahului.


“Anak muda. Jika nyawanya telah kita cabut dan begitu kitab benar-benar ada. Kita tentukan siapa yang berhak memilikinya!”


Malaikat Penggali Kubur menyeringai sambil gelengkan kepala. “Usulmu baik. Tapi Malaikat Penggali Kubur masih punya tangan untuk mencabut nyawanya!”


“Hm…. Baiklah. Kuberi kesempatan padamu untuk buktikan ucapan! Kami akan lihat!”


Habis berkata begitu, Ki Buyut Pagar Alam mendekat ke arah Dewi Siluman dan berbisik. “Aku memanas-manasi dia agar dia segera melenyapkan pemuda berbaju putih itu. Setelah itu pekerjaan kita akan lebih ringan! Aku punya dugaan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpu! 131 itu bukan pemuda sembarangan! Bahkan kalau perlu kita cari kesempatan untuk mencabut kedua nyawa pemuda itu secara bersama-sama!”


Dewi Siluman anggukkan kepala. Kedua orang Ini lantas melangkah menjauh dan berdiri berjajar perhatikan ke arah Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar Pedang tumpul 131 Joko Sableng.

Bewertungen und Rezensionen

4,4
7 Rezensionen

Dieses E-Book bewerten

Deine Meinung ist gefragt!

Informationen zum Lesen

Smartphones und Tablets
Nachdem du die Google Play Bücher App für Android und iPad/iPhone installiert hast, wird diese automatisch mit deinem Konto synchronisiert, sodass du auch unterwegs online und offline lesen kannst.
Laptops und Computer
Im Webbrowser auf deinem Computer kannst du dir Hörbucher anhören, die du bei Google Play gekauft hast.
E-Reader und andere Geräte
Wenn du Bücher auf E-Ink-Geräten lesen möchtest, beispielsweise auf einem Kobo eReader, lade eine Datei herunter und übertrage sie auf dein Gerät. Eine ausführliche Anleitung zum Übertragen der Dateien auf unterstützte E-Reader findest du in der Hilfe.