Setelah keruntuhan Singasari malam itu, nasib Raden Wijaya dan para putri kerajaan tak pernah lepas dari intaian maut. Pengawalan ketat oleh pasukan khusus Balasanggrama masih belum cukup untuk menghentikan nafsu para prajurit Kediri menumpahkan darah keturunan trah Rajasa tersebut. Raden Wijaya terpaksa menyeberang ke Sungenep dan mencari perlindungan di sana.
Kedatangan mereka disambut gembira oleh rakyat Sungenep. Namun, benarkah Sungenep tempat yang aman bagi Raden Wijaya dan pengikutnya?
Mulai muncul desas-desus bahwa penguasa Sungenep turut terlibat dalam menghancurkan Singasari. Akan tetapi, Raden Wijaya justru meminta bantuannya untuk melaksanakan rencana balas dendam ke Kediri. Benarkah Raden Wijaya tidak menyadarinya? Ataukah dia hanya bersiasat?
[Mizan, Bentang Pustaka, History, Fiksi, Kerajaan, Dewasa, Indonesia]
Ia penggiat di bidang kemanusiaan, itulah sebabnya mantan Presiden Megawati mengganjar pengabdiannya dengan Satyalencana Kebaktian Sosial. Sehari-hari adalah seorang suami dari seorang istri dan ayah dari dua anak gadis, begitu setia pada profesi yang digelutinya, menulis. Menurut LKH, menulis itu seperti rokok, bisa membuat kecanduan. Dilarang menulis, lebih baik mati.
Berimajinasi, baginya, adalah sebuah penyaluran beban emosi karena pengarang berbakat sejatinya adalah pengkhayal kelebihan beban. Ia butuh penyaluran karena pengkhayal mana pun, bila kebablasan dan tidak tersalurkan, akan bermuara ke rumah sakit jiwa. LKH sadar benar situasi itu. Itulah sebabnya ia selalu berakrab-akrab dengan “para” istrinya yang kesabarannya melebihi istri sesungguhnya. Istri keduanya adalah Dyah Laptopwati yang selalu ikut ke mana pun ia pergi. Sang istri kedua selalu rukun dengan istri ketiganya, Sri Canonwati, yang selalu mendampingi merekam apa pun, gambar, suasana, dan rasa.
Didampingi oleh para istrinya itulah lahir beruntun karya-karyanya, antara lain, Balada Gimpul, Libby,Alivia, De Castaz, Serong, Antologi Manusia Laminating, Melibas Sekat Pembatas, Kiamat para Dukun,Kiamat Dukun Santet, Siapa Nyuri Bibirku (menggunakan nama samaran), Jaka Tarub (menggunakan nama samaran), pentalogi Gajah Mada (Gajah Mada, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara, Hamukti Palapa, Perang Bubat, Madakaripura Hamukti Moksa), dan Menulis Ahh Gampang. Beberapa karyanya turut dimuat di media cetak, antara lain, “Beliung dari Timur” (harian umum ABRI/Solo Pos) dan “Sang Ardhanareswari” (harian Solo Pos).
Melalui penerbitannya sendiri, LKH melahirkan seri Candi Murca (Ken Arok Hantu Padang Karautan, Air Terjun Seribu Angsa, Murka Sri Kertajaya, Ken Dedes Sang Ardhanareswari) dan seri Perang Paregrek. Dua buah karya yang diproyeksikan untuk pasar luar negeri dan masih melalui proses penerjemahan adalah The Crown Princess dan Teror. The Crown Princess dalam versi Indonesia berjudul Menak Jinggo Sekar Kedaton, sementara Teror versi Indonesia hadir dalam judul yang sama diterbitkan oleh Narasi. Setelah sekian tahun naskah lama ini diam bersembunyi di hard disk, akhirnya ada juga penerbit yang tertarik berbarengan dengan dua novel lawas yang saya tulis sebelum saya terkenal,Balada Gimpul dan Serong dan Selingkuh, yang saya tarik kembali dari penerbit sebelumnya.
Serial Majapahit: Sandyakala Rajasawangsa, Majapahit: Bala Sanggrama, Majapahit: Banjir Bandang dari Utara, Surya Wilwatikta, dan seterusnya akan hadir ke hadapan Anda melalui Penerbit Bentang Pustaka. Rupanya, saya butuh ruang yang lebih lebar karena saya melihat lima seri saja tidak cukup. Itu karena secara khusus saya harus menulis masa kanak-kanak Gajah Mada.
Segala caci maki saya tunggu di surel.