Temaram lampu jalanan berpendar tertimpa rintik-rintik kecil hujan yang baru saja turun.
Gegas Alqi menepi berteduh di teras warung kecil tepi jalan yang sudah tutup. Ia mengeluarkan jaket dalam tasnya, segera memakainya lalu menutup kepalanya dengan kupluk dan melangkah kembali melanjutkan perjalanan.
Dalam benaknya terbayang wajah Ibu dan Ayah yang pasti berbahagia melihatnya kembali, setelah dua bulan tak jumpa dari kota tempatnya menempuh pendidikan. Ingin segera ia mengacak rambut dan menciumi ketiga adiknya yang sudah sangat ia rindui itu. Lelah kaki melangkah berkilo meter menuju kampungnya tak ia hiraukan.
Alqi mendesah lega kala akhirnya ia bisa melihat atap rumahnya di perempatan gang. Ia percepat langkah hingga akhirnya kakinya menjejak di teras rumah. gawai hitam putihnya sedikit bercahaya kala ia melihat jam pada layar. Pukul sepuluh malam.
Alqi duduk di teras rumah sesaat, melepas sepatu dan kaus kakinya yang sudah basah. Lalu mengeluarkan sesuatu dalam tas punggungnya.
“Assalamualaikum.” Ia ketuk pintu rumahnya perlahan. Tak ada jawaban. Sekali lagi, ia ketuk, barangkali keluarganya sudah tidur. Dipindahkannya ke dekat dada satu buah plastik berisi oleh-oleh yang sengaja ia beli untuk adik-adiknya itu. Lalu ia coba ketuk kembali. Sayang, ketukan ketiga kalinya pun tak ada yang merespons.
Ia duduk kembali, menanti dengan sabar sembari memandangi taman kecil di depan rumahnya yang nampak rapi itu. Hingga akhirnya, ada seseorang membuka pintu. Diamatinya lelaki itu dengan saksama. Alqi merasa tak mengenal lelaki tersebut.