Lembah Patah Hati

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Книга 28 · Pantera Publishing
Электронная книга
115
Количество страниц
Оценки и отзывы не проверены. Подробнее…

Об электронной книге

Kita kembali sejenak pada lembah sebelum kedatangan orang tua berambut putih jabrik, serta Dayang Sepuh, dan Pendekar 131 yang mengikuti si kakek. Seperti diketahui, begitu menemukan lobang di bawah gugusan batu di tengah lembah, Kigali meminta Pitaloka untuk menunggu di sekitar lobang sementara dirinya masuk ke dalam lobang.


Begitu jejakkan kaki di bawah lobang, Kigali cepat pentangkan mata lalu melirik dengan kepala diputar perlahan-lahan. Dia memang sudah tidak mendengar suara makian atau jeritan menyayat. Namun dia masih bisa menangkap desahan napas berat.


Tempat di mana sekarang Kigali berada adalah sebuah ruangan agak luas yang di sana-sini terlihat banyak tonjolan batu. Di sebelah pojok kanan terlihat pancuran air kecil. Di sekitarnya tampak dua batang pohon tidak begitu tinggi berdaun agak lebat. Di bagian kiri air pancuran, terdapat tempat agak terbuka yang ditumpuki jerami kering.


Untuk beberapa saat Kigali perhatikan tumpukan jerami. “Bagian tengah jerami itu tampak melesak ke bawah. Pertanda jerami itu ditempati orang! Hem…. Beberapa puluh tahun silam berkeliaran di sekitar tempat ini, tidak kuduga kalau d! tempat ini ada penghuninya! Siapa dia…?!”


Kigali terus perhatikan tempat di sekitar pancuran air. Dan diam-diam sepasang mata besar tampak mendelik dari balik lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air mengawasi gerak-gerik Kigali. Pemilik mata ini menahan diri untuk tidak perdengarkan suara atau membuat gerakan. Bahkan dia sengaja menahan napas.


“Kek…. Bagaimana?! Aku bisa turun?!” Tiba-tiba Pitaloka berteriak dari atas. Kigali melangkah agar bisa melihat Pitaloka. Lalu tengadah. Dia sebenarnya sedikit bimbang. Karena dia belum tahu siapa penghuni tempat di bawah lobang. Namun karena khawatir ada orang lain di lembah, akhirnya Kigali memutuskan untuk menyuruh Pitaloka turun ke bawah. Tapi baru saja Kigali hendak buka mulut, satu suara terdengar.


“Siapa kau, Orang Asing?!”


Kigali cepat berpaling. Walau dia tadi sudah menduga adanya orang di tempat itu, namun tak urung Kigali merasa terkejut. Matanya segera perhatikan ke arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air dari mana suara tadi terdengar. Meski Kigali belum bisa jelas melihat sosok orang yang perdengarkan suara, dia segera berucap dengan nada rendah.


“Maafkan jika kedatangan kami mengganggumu! Aku adalah Kigali….”


“Kau manusia suruhan bangsat keparat itu bukan?! Jangan pikir aku menyerah begitu saja! Kalaupun aku harus tewas, namun aku tak mau mampus sendiri! Kau akan kubawa serta!” Suara itu terdengar bergetar dan makin keras.


Kigali berpikir sesaat. Dari ucapan orang dia sedikit banyak telah tahu apa yang dialami orang. Seraya terus arahkan pada lebatnya dedaunan, dia angkat suara.


“Maaf. Aku bukan suruhan siapa-siapa. Kalaupun aku sampai datang ke tempat ini, itu adalah satu kebetulan belaka! Karena begitu aku memasuki….”


Belum selesai Kigali teruskan ucapan, terdengar suara memotong. “Kau jangan berkata dusta! Mengapa bangsat keparat itu tidak datang sendiri mengantar nyawanya?! Dia takut?!” Lalu terdengar suara tawa panjang.


Pitaloka yang masih berada di sekitar lobang atas tampak tajamkan telinga untuk simak percakapan orang. Dia sesekali rundukkan tubuh untuk melihat siapa orang yang bicara dengan Kigali. Namun tidak melihat sosok lain di bawah walau dia sudah beberapa kali melangkah mengitari lobang dengan kepala merunduk. Hingga akhirnya gadis saudara kembar Putri Kayangan ini duduk di bibir lobang sambil mendengarkan.


“Dengarlah, Sahabat!” kata Kigali. “Aku tidak tahu menahu urusanmu. Sekali lagi kami datang hanya karena kebetulan. Dan kalau kau keberatan atas kedatanganku, aku akan tinggalkan tempat ini!”


Sesaat tak ada sahutan suara. Kigali tengadahkan kepala ke arah lobang. Lalu diluruskan lagi ke arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air. Saat lain dia berkata lagi.


“Aku datang bersama anak perempuanku…. Sebenarnya kami tengah mencari tempat untuk berlindung. Sebelum ini kami bertempat di hutan sebelah timur lembah ini.”


“Katakan siapa kau sebenarnya?!” Terdengar lagi suara dari lebatnya dedaunan.


“Aku hanyalah orang tua biasa…. Terlalu tolol jika orang seusiaku masih harus menjadi suruhan orang apalagi dalam urusan yang berkaitan dengan nyawa manusia. Dan kalaupun aku menjadi suruhan orang, tak mungkin hal itu akan kulakukan!”


“Lalu mengapa kau cari tempat untuk berlindung?! Sebagai orang biasa tak mungkin kau punya urusan dengan orang hingga sampai mencari tempat berlindung! Lalu caramu menghancurkan batu penutup di atas sana membuatku belum percaya dengan keteranganmu!”


“Setiap manusia tak bisa lepas dari urusan. Baik itu orang biasa atau orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan. Bahkan tak jarang orang harus terlibat urusan padahal orang itu tidak membuat urusan! Tentang bagaimana caraku menghancurkan batu di atas sana, aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan!”


“Apa sebenarnya urusanmu?!”


Kigali terdiam beberapa lama. Kembali dia tengadah seolah minta persetujuan dari Pitaloka. Rupanya Pitaloka yang bisa melihat gerak-gerik Kigali dan mendengarkan pembicaraan dapat menangkap maksud orang. Hingga dia segera berkata.


“Kek! Katakan saja apa urusan kita!”


Kigali menghela napas sebelum akhirnya berkata.


“Anak perempuanku itu sekarang tengah mengandung…. Dia perlu istirahat. Sementara akhir-akhir ini di dalam hutan sana, yang biasanya tidak pernah dirambah orang entah apa sebabnya tiba-tiba banyak orang bermunculan. Karena kami tak mau terlibat urusan, apalagi kulihat orang yang muncul adalah dari kalangan orang persilatan, terpaksa kami harus mencari tempat baru yang lebih tenang, sekaligus agar tidak ikut terlibat urusan orang! Karena biasanya, kemunculan beberapa orang rimba persilatan pasti membawa urusan!”


“Rupanya saatnya telah tiba!” Tiba-tiba terdengar gumaman pelan dari lebatnya dedaunan membuat Kigali merasa heran namun juga terkejut. Dia belum bisa menjabarkan apa maksud ucapan orang. Hingga dia segera berucap.


“Apa maksud ucapanmu?”


Tidak terdengar sahutan, sebaliknya lebatnya dedaunan bergerak-gerak. Saat lain muncullah satu sosok tubuh.


Kigali perhatikan dengan seksama. Sosok yang muncul dari balik lebatnya dedaunan adalah seorang perempuan berusia lanjut. Rambutnya putih panjang dan awut-awutan. Sepasang matanya besar dan tampak berwarna agak merah. Dia mengenakan jubah yang sudah sangat kumal. Parasnya cekung dan putih pucat laksana mayat. Kuku jari kedua tangan dan kakinya panjang dan hitam-hitam.


Kigali memperhatikan dengan mata membeliak tak berkesip. Dadanya berdebar keras. Bukan karena tampang dan sosok si perempuan yang pancarkan keangkeran, namun pada gerak-gerik orang.


Begitu muncul dari lebatnya dedaunan, si nenek bukannya tegak berdiri dan melangkah, namun dia muncul dengan menyeret tubuhnya dengan pantat dijadikan sebagai tumpuan. Nenek ini baru hentikan seret tubuhnya di dekat pancuran air karena tempat itu menurun dan ditonjoli batu-batu tak beraturan. Si nenek memandang pada Kigali dengan seksama. Lalu menoleh pada jerami di seberang. Untuk mencapai jerami, si nenek harus melompat berjarak tiga tombak karena dipisahkan oleh pancuran air.


Entah karena mengerti apa arti pandangan orang, Kigali hendak melangkah mendekat bermaksud menolong si nenek untuk sampai pada tempat yang ditumpuki jerami kering. Namun belum sampai Kigali teruskan tindakan, si nenek sudah perdengarkan suara.


“Jangan bergerak dari tempatmu! Suruh saja anak perempuanmu turun!”


Bersamaan dengan itu si perempuan berjubah kumal gerakkan bahunya ke bawah. Tiba-tiba sosoknya melesat dan saat lain telah duduk di atas tumpukan jerami Kering.


Kigali menatap sejenak. “Bukan orang sembarangan…,” katanya dalam hati lalu tengadah. Baru saja kepala Kigali mendongak, Pitaloka yang dapat mendengar suara orang segera melompat turun dengan kedua tangan menakup menahan perutnya yang telah membesar.


Kigali terkesiap kaget. Dia buru-buru melompat untuk menahan layangan tubuh Pitaloka. Dan menyergap seraya bergumam.


“Seharusnya kau berhati-hati, Anakku!”


Pitaloka hanya tersenyum lalu anggukkan kepala. Saat lain gadis cucu Nyai Tandak Kembang yang juga saudara kembar Putri Kayangan ini arahkan pandang matanya ke depan. Dia sempat terkesiap dan hendak surutkan langkah melihat keangkeran wajah orang yang duduk di atas jerami kering.


Sementara si nenek langsung sengatkan sepasang matanya pada perut Pitaloka. Baru kemudian memperhatikan paras wajah si gadis. Dia perdengarkan gumaman tak jelas. Lalu perdengarkan tanya.


“Sudah berapa bulan kandunganmu, Anak Gadis?!” Mungkin masih terkesima melihat paras orang, Pitaloka tidak segera menjawab pertanyaan orang. Kigali putar tubuh lalu buka mulut.


“Sebenarnya masih dua bulan kurang…. Namun aku sendiri tak tahu mengapa sudah begitu besar….”


“Aku tahu…,” ujar si nenek pelan dengan manggut-manggut. “Mendekatlah kalian kemari! Ada yang harus kita bicarakan!”


Pitaloka dan Kigali saling pandang. Namun begitu Kigali anggukkan kepala dan mulai melangkah mendekati si nenek, Pitaloka ikut melangkah di belakang Kigali dengan dada dipenuhi pertanyaan tak terjawab.


“Untung kalian datang ke tempat yang benar….” Berkata si nenek sambil terus memandang ke arah Pitaloka. Pitaloka makin tak enak dipandangi begitu rupa, namun dia teruskan juga melangkah.


“Kau duduklah di atas batu itu,” kata si nenek pada Kigali. “Dan kau duduklah di atas jerami!” sambung si nenek dengan arahkan pandang matanya kembali pada Pitaloka.


Tanpa berkata menyahut, Kigali turuti permintaan orang. Dia mengambil tempat di atas batu di sebelah tumpukan jerami. Sementara Pitaloka sempat hentikan langkah dan memandang silih berganti pada Kigali dan nenek di atas jerami.


“Tak usah curiga…. Tampangku memang sudah harus begini meski aku juga sebenarnya tak menginginkan! Keadaanlah yang membuat semuanya berubah….” Berkata si nenek dengan suara bergetar. Ada nada kecewa di dalam suaranya, membuat Pitaloka tak ragu lagi untuk teruskan langkah lalu perlahan-lahan duduk di atas Jerami tidak jauh dari si nenek.


“Boleh aku tahu siapa kau sebenarnya?!” tanya Kigali membuka pembicaraan.


“Nanti akan kujelaskan semuanya! Sekarang harap kau Jawab pertanyaanku tanpa sembunyikan sesuatu!” kata si nenek dengan suara pelan. Nadanya sangat beda dengan ketika menegur Kigali untuk pertama kalinya saat Kigali turun melalui lobang. “Kurasa kita bernasib sama walau urusannya berbeda….”


Si nenek sesaat hentikan ucapan sebelum akhirnya berkata lagi. “Betul dia adalah anakmu?” tanya si nenek sambil berpaling pada Kigali.


“Hem…. Rasanya tidak ada gunanya menutup-nutupi urusan ini! Siapa pun dia adanya yang pasti dia orang yang tengah menghadapi nasib kurang baik! Tak mungkin dalam keadaan begitu orang akan mencelakakan orang lain….”


Berpikir begitu, akhirnya Kigali buka mulut menjawab. “Dia sebenarnya bukan anakku…. Kira-kira dua purnama yang lalu aku bertemu dengannya di hutan sebelah timur lembah ini.”


“Apakah dia sudah bersuami?!”


Paras wajah Pitaloka tampak berubah merah padam. Sementara Kigali sedikit merasa kaget mendengar pertanyaan orang. Dia terdiam untuk beberapa lama. Dia melirik pada Pitaloka. Namun yang dilirik tengah perhatikan kuku-kuku panjang dan hitam kedua tangan dan kaki si nenek. Pitaloka sebenarnya tidak benar-benar memperhatikan kuku-kuku itu, namun coba mengalihkan wajahnya dari pandangan orang untuk sembunyikan perasaan.


Tiadanya sahutan membuat si nenek maklum. Lalu berkata. “Maaf. Bukannya aku mau menyinggung. Tapi aku perlu kejelasan. Jika tidak, kau nanti juga tidak akan mendapatkan keterangan berarti!”


“Dia memang belum punya suami!” Akhirnya Kigali menjawab.


Si nenek alihkan pandangan matanya pada Pitaloka. “Siapa namamu, Nak?”


Perlahan-lahan Pitaloka angkat kepalanya. Agak lama dia baru menjawab. “Pitaloka….” “Kau punya saudara kembar?!”


Baik Kigali maupun Pitaloka tersentak kaget. Pitaloka anggukkan kepala. Untuk pertama kalinya bibir si nenek tampak tersenyum. Lalu berujar pelan namun membuat Kigali dan Pitaloka makin heran.


“Aku dapat menduga apa yang telah terjadi…. Namun masih ada yang harus kuketahui sebelum aku memberi keterangan pada kalian tentang diriku!” Si nenek arahkan pandangan pada Kigali. “Kau mengatakan telah beberapa orang kalangan rimba persilatan yang tiba-tiba muncul di hutan sebelah timur. Kau sempat bertatap muka dengan mereka?!”


Dada Kigali berdebar. Diam-diam dia membatin. “Bagaimana harus kujawab? Pitaloka akan mengetahui kebohonganku jika sampai si nenek ini bertanya siapa saja orang yang sempat kutemui…!”


Seperti diketahui, selama ini Kigali memang berdusta pada Pitaloka tentang siapa saja yang sempat dijumpainya. Dia hanya sempat mengatakan bertemu dengan Datuk Wahing. Dan menyembunyikan pertemuannya dengan Nyai Tandak Kembang, Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh, dan juga tidak mengatakan pernah melihat seorang gadis berbaju merah dengan seorang pemuda yang bukan lain adalah Putri Kayangan dan Pendekar 131 Joko Sableng walau Kigali sendiri tak sempat bertatap muka dengan keduanya.


Setelah dipikir agak lama, akhirnya Kigali berkas juga. “Aku memang bertemu dengan beberapa orang dari kalangan rimba persilatan. Namun rasanya aku tidak mengenali siapa mereka! Mungkin hanya seorang yang kukenali. Itu saja Pitaloka yang memberi keterangan siapa dia adanya!”


“Tapi kau sempat melihat mereka bukan?!”


Dada Kigali makin berdebar. Dia khawatir kalau si nenek minta penjelasan ciri-ciri orang yang dijumpainya. Namun setelah memutuskan akan menyimpan


orang yang ada hubungannya dengan Pitaloka, Kigali angkat bicara.


“Aku memang sempat melihat mereka….” Mata Kigali melirik pada Pitaloka dengan dada makin tak enak. Dia menunggu ucapan si nenek dengan gelisah.


“Apa di antara mereka kau melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian selempang putih dengan dada kanan terbuka?! Orang ini memakai kalung panjang dari butiran kayu warna coklat. Tangan kanannya memegang tasbih pendek juga berwarna coklat. Rambutnya putih pendek dan tegak-tegak! Biasanya dia bersama seorang pemuda bermantel hitam!”


Mendengar pertanyaan si nenek, Kigali menarik napas lega. Lalu dengan cepat dia menjawab. “Aku tidak bertemu dengan orang yang kau sebut!”


Si nenek anggukkan kepala namun raut mukanya berubah. Matanya sedikit mendelik. Kigali dapat menangkap bayangan kemarahan di wajah orang. Hingga buru-buru ia berujar. “Aku mengatakan apa adanya! Aku memang tak pernah bertemu dengan orang yang ciri-cirinya kau katakan tadi!”


“Aku percaya…. Tapi bangsat keparat itu pasti akan datang!”


“Siapa mereka…?! Mengapa kau bisa memastikan mereka pasti datang?! Apa ini ada kaitannya dengan kedatanganku di sini?!” tanya Kigali. Kembali dadanya dibuncah dengan perasaan tidak enak. Apalagi tatkala teringat ucapan si nenek jika mereka beruntung datang ke tempat yang benar dan waktunya sudah tiba.


“Kedatangan mereka tentu ada kaitannya dengan kedatangan kalian! Bahkan mereka sudah lama menunggu kedatangan kalian!”


Kigali dan Pitaloka kembali dibuat terkesiap kaget. “Apa maksud mereka menunggu kami?!” Kali ini yang angkat pertanyaan adalah Pitaloka. “Sepertinya kami berdua tidak pernah punya urusan dengan mereka! Di luar hutan pun aku tidak pernah bertemu dengan orang yang kau ceritakan!”


“Kalian memang tidak pernah punya urusan. Aku pun merasa yakin kalian belum pernah bertemu dengan mereka. Tapi mereka telah tahu siapa kalian dan tahu ke mana kalian akan datangi. Lebih dari itu mereka mengerti apa yang harus dilakukan dengan bayi dalam kandunganmu!”


Kali ini Pitaloka tak bisa lagi menahan perasaan. “Katakan siapa mereka! Dan apa yang akan dilakukan dengan kandunganku ini?!”


“Mereka berdua adalah bangsat keparat yang membuat diriku jadi begini! Merekalah manusia-manusia yang membuat derita panjang hidupku! Lihat diriku…. Kedua tangan dan kakiku hilang kekuatannya! Otakku hampir mereka buat gila! Tapi semua ini juga karena kebodohanku…. Aku menjunjung perasaan cinta di atas segalanya! Aku berpikir, untuk cinta segalanya harus dikorbankan!” Si nenek tiba-tiba sesenggukan. Kigali menghela napas lalu alihkan perhatiannya ke jurusan lain. Pitaloka tak berani buka mulut.


“Nek…,” kata Kigali setelah agak lama berlalu dan dilihatnya si nenek sudah dapat kuasai diri. “Apa hubungannya peristiwa yang menimpamu dengan kedatangan kami? Sekaligus dengan bayi dalam kandungan Pitaloka?!”


“Ceritanya panjang…. Aku akan menerangkan bagian yang penting saja pada kalian…,” ujar si nenek dengan mata dibeliakkan nyalang ke arah dinding batu di depan sana. Namun sebenarnya pandangannya terus menembus dinding batu dan bahkan memandang jauh tanpa batas pandang!

Оцените электронную книгу

Поделитесь с нами своим мнением.

Где читать книги

Смартфоны и планшеты
Установите приложение Google Play Книги для Android или iPad/iPhone. Оно синхронизируется с вашим аккаунтом автоматически, и вы сможете читать любимые книги онлайн и офлайн где угодно.
Ноутбуки и настольные компьютеры
Слушайте аудиокниги из Google Play в веб-браузере на компьютере.
Устройства для чтения книг
Чтобы открыть книгу на таком устройстве для чтения, как Kobo, скачайте файл и добавьте его на устройство. Подробные инструкции можно найти в Справочном центре.