Suatu kali seorang pembaca berkata bahwa karya saya yang mengangkat isu lokalitas tidak Madura banget. Bagi saya, anggapan semacam ini berangkat dari pandangan khayali tentang Madura. Orang sering kali sulit membedakan yang ideal dan yang kenyataan. Saya kerap menemui banyak outsider yang berpikir bahwa Madura—baik sebagai geografi, kultur, maupun komunitas—amat udik (untuk tidak berkata primitif), tradisional, dan segala hal yang berlawanan dengan modernitas serta gaya urban. Padahal sebagaimana lokasi dan kebudayaan lain, Madura juga berubah mengikuti arus zaman, apalagi ditambah kenyataan bahwa etnis ini punya sifat kosmopolitan yang mudah menerima hal-hal baru. Jadi, biar tampak Madura banget, pembaca tersebut barangkali berharap di novel saya mesti ada karapan sapi dan carok. Itu artinya saya harus mengulang apa yang sudah diangkat oleh para penulis Madura lain dan menempatkan Madura sebagai entitas yang jumud.Sejumlah esai dalam buku ini berupaya mengabstraksikan lanskap kebudayaan Madura yang senantiasa berjalan dialektis, mengalami penyortiran, rekonstruksi, dan tukar-tambah. Esai-esai yang lain menghadirkan Madura partikular. Keduanya saling mengisi, berkelindan, dan sama-sama Madura yang sah. Sebab Madura bukan entitas yang ginaris, tidak tunggal, dan karena itulah secara ontologis ia inkonsisten. Sebagai realitas organik, Madura terus-menerus menjadi. Beberapa esai juga mengidentifikasi kultur Madura dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Dengan menariknya sebagai sebuah arketipe, kita tidak hanya akan menyaksikan hubungan antarkultur Madura partikular, tetapi juga melihat koneksinya dengan budaya-budaya di belahan bumi yang lain.
Royyan Julian
