Jogal, anak Mangaraja Parhujinjang, justru ingin menghapus perseteruan itu. Agar kedua Huta (kampung) bisa berdamai, dia mangaluahon sang Putri Si Boru Anting na Rumondang, anak Raja Huta Bariba. Mangalua, biasanya memakan proses lama. Terlebih Belanda tak menginginkan ada Huta yang memiliki kekuatan. Perseteruan antarhuta selalu terjadi, tak lepas dari peran Belanda membesarkan perseteruan itu. Misi perkawinan, selain cinta, juga memiliki unsur politik untuk menyatukan kekuatan, tak terpenuhi. Belanda kemudian mengangkat Raja Huta Bariba menjadi Nagari. Putrinya diambil kembali. Perang antar kampung tak terelakkan.
Jogal tak pernah mau berunding dengan Belanda. Bagi masyarakat mereka, Belanda dikenal licik. Sisingamangaraja XII, juga tak mau berunding. Itulah alasannya mengapa Jogal tak mau berunding dengan Belanda. Licik harus dilawan dengan licik. Siap berperang adalah tekad. Walau akhirnya takluk juga di tangan Belanda yang memiliki kekuatan dengan tentara terlatih dan kelicikannya.
Ketika Jogal bebas dari tahanan (masuknya Jepang) dia pulang kampung. Orang di kampungnya sudah banyak memeluk agama Kristen dan meninggalkan agama leluhur. Jogal seorang mangaraja, meninggal dengan mengenaskan, tanpa penguburan adat yang besar dan megah, layaknya seorang mangaraja.
Tragis!