Aku terdiam
Memandangi batu putih yang telah hitam
Rinduku semakin jauh bersikeras
Sampai melebihi laparnya malam akan rembulan
(Izzad Aminah, adik Luthfi Hakim)
Langit membiru setelah tertutup awan gelap. Hujan berhenti dari keributannya yang mengganggu, menjadi rintik yang kecil saja. Seketika Lutfi Hakim terbangun. Dia berdiri memandang keluar jendela, melihat matahari yang kembali bercerita di langit Kopenhagen, Denmark. Lutfi Hakim teringat mata tua Ibunya yang menangis ketika mengantarnya di Bandara Soekerno-Hatta. Ingatan itu selalu merapuhkan hatinya, meneteskan air matanya, dan menghilangkan tidurnya.
Luthfi Hakim berasal dari sebuah desa bernama Kritig, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah. Karena beberapa alasan, dia mendapatkan kesempatan untuk melihat dunia, dari mulai Denmark di Eropa, sampai Lebanon di Timur Tengah. Namun, semua itu tidak lepas dari mimpi dan doa Ibunya, sebuah mimpi yang bercengkrama dalam waktu, hingga cinta, perjuangan, kebaktian, dan kesedihan silih berganti menjadi selimutnya, sampai pada akhirnya, dia menemukan cinta di sekian petualangannya. Bagaimana kehidupan Luthfi Hakim? Apakah cintanya akan saling berjumpa? Bagaimana bisa sebuah mimpi tidak hanya menjadi sekedar mimpi? Selamat membaca.
Muhammad Afiq Zahara, menghabiskan hampir seluruh masa pendidikannya di pesantren, khususnya Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.