intelektual di Indonesia, beragam respons muncul ke permukaan,
baik yang bernada positif maupun negatif. Kala itu, di tahun
1993, ada yang menganggap perbincangan tentang posmodernis-
me sebagai tanda dari suatu “kedangkalan intelektual”. Namun
demikian, meski dipandang dengan tatapan sinis, ada sejumlah
kalangan yang melihat posmodernisme sebagai sebuah
penyelamatan dari arogansi filsafat yang sebelumnya berkuasa,
khususnya dalam ranah metafisika dan epistemologi modern.
Tentang posisi mendua ini, kita bisa mengambil contoh
ilustrasi dari term “dekonstruksi” yang begitu identik dengan
filsafat posmodernisme—sebuah istilah yang diperkenalkan dan
dikembangkan oleh Jacques Derrida (1930-2004), filsuf yang akan
diulas dalam buku ini. Mereka yang berkeberatan dengan
dekonstruksi memandang bahwa ia cenderung menggiring ke
pemikiran yang bercorak nihilistik, atau memandang dekon-
struksi sebagai sebentuk intellectual gimmick belaka. Sementara
di sisi yang lain, seperti ditulis Fayyadl dengan uraiannya yang
lincah dan menawan dalam buku ini, dekonstruksi adalah “sebu-
ah pembelaan kepada the Other, kepada makna yang ‘lain’ dari
teks dan logika permainan yang terepresi oleh kuasa kepenga-
rangan”. Dengan kata lain, sebuah pembebasan.