Buku Kuliner Surakarta ini menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara sejarah, budaya, tradisi, serta potensi yang dimiliki oleh suatu daerah dan masyarakatnya. Budaya yang dimaksudkan adalah budaya kuliner yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, khususnya masyarakat Surakarta. Sebagai salah satu pusat kebudayaan di Jawa, sekaligus paling banyak terdokumentasi, Surakarta menyimpan kuliner hasil akulturasi budaya masyarakat Tionghoa seperti soto, timlo, dan lain-lain; kemudian Belanda dengan selat Solo, bestik lidah, sosis solo, dan lain-lain; kuliner timur tengah (Arab) yaitu sate, gulai, tongseng, dan lain-lain, serta kuliner asli yang tidak kalah lezat. Berbagai macam ayam panggang, pecel ndeso, sambel tumpang, nasi liwet, cabuk rambak, brambang asem, serta serabi Notosuman yang sangat mengingatkan ciri khas wong Solo yang terkenal luwes dan memikat. Masih kentalnya tradisi menyebabkan terpeliharanya budaya masyarakat terkait berbagai jenis makanan, seperti wulu wetu dan penjelmaannya sebagai jajan pasar serta hidangan lain seperti wajik, apem, lenjongan, dan rujak-rujakan. Kuliner Surakarta dilengkapi dengan berbagai macam kuliner daerah sekelilingnya yang sangat nikmat seperti ayam panggang, dan mi ayam dari Wonogiri; aneka produk daging dan susu khas Boyolali; aneka produk nikmat dari daerah Kartasura dan sekitarnya seperti ayam panggang Klaten, garang asem Pakis dan bebek goreng Pajang. Pada sore hari tidak kalah indahnya menyaksikan keberangkatan para penjual nasi liwet dari Desa Menuran, yang mengadu peruntungan ke seluruh pelosok Kota Solo. Ramenya HIK adalah paduan tradisi dan modernisasi. Semua hal itu disajikan dalam buku ini dengan ulasan runut dan menarik.