“Dek, sudah kau siapkan apa yang diperintahkan Ayah semalam?” tanya Hasyim kepada istrinya, Habsyah. Yang sedang sibuk menyiangi ikan di pelantaran belakang rumah mereka.
Hasyim berdiri menunggu jawaban Habsyah yang sedang terbungkuk membuang sisik di tubuh ikan hasil tangkapannya tadi malam. Tidak terdengar sepatah kata sautan yang keluar dari bibir Habsyah. Wanita berambut panjang dengan tubuh kurus dan berkulit sedikit gelap itu, lebih memilih diam daripada harus menyahuti pertanyaan suaminya.
“Dek, kau dengar abang bertanya?” tanya Hasyim lagi dengan nada suara yang mulai meninggi.
Habsyah menghentikan kegiatannya. Diletakkannya parang di samping ikan-ikan yang masih bergelimpangan di pelantaran. Habsyah berdiri dan membalikkan badan memandang wajah suaminya dengan tatapan dingin dan wajah yang kaku.
“Abang cari sendiri saja bahan-bahan yang dipesan Ayah. Adek tak, kan, sudi mengikut apa perintah Ayah,” ujar Habsyah datar.
“Kau ini…kau memanglah istri yang tak taat pada suami. Aku kau lawan, Ayah aku kau bantah. Apa yang kau nak sekarang ini?” tanya Hasyim dengan wajah merah padam.
“Sejak dari sudah lama lagi, Adek tak pernah setuju dengan adat gila keluarga Abang itu!” Habsyah meremas ujung bajunya.
“Adek dah kata yang keluarga Abang itu sudah menyimpang dari ajaran agama kita. Abang tak paham juga?” Habsyah mencoba mengingatkan Hasyim tentang kebiasaan buruk keluarga suaminya.
“Sembarang kau berkata, Habsyah! Kau tak tahu kalau garis keturunan aku semua taat pada agama. Mereka semua paham hukum dan ketetapan Tuhan. Ini hanya pelengkap adat dan kebiasaan Nenek Moyang aku. Tak ada kena mengena dengan ajaran agama kita, tahu kau?!” Hasyim mengepalkan tangannya dengan kuat, menahan gejolak marah yang sedang membakar hatinya.