Nyai Tandak Kembang

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 पुस्तक 27 · Pantera Publishing
५.०
एक परीक्षण
ई-पुस्तक
120
पेज
रेटिंग आणि परीक्षणे यांची पडताळणी केलेली नाही  अधिक जाणून घ्या

या ई-पुस्तकाविषयी

SETAN-SETAN tua! Mengapa kalian mengajakku putar-putar tak karuan?!” Tiba-tiba Dayang Sepuh perdengarkan bentakan. Kepalanya segera dialihkan pada Gendeng Panuntun.


“Nek…. Aku mencium aroma kembang lain daripada yang lain! Apa kau tidak merasakannya?” tanya Gendeng Panuntun seraya terus mendongak.


Walau dengan mencibir tapi tak urung juga si nenek kembang-kempiskan hidung beberapa kali dengan kepala berputar. Sementara tangan kanannya bergerak rapikan poni di keningnya.


Di balik semak, Nyai Tandak Kembang melirik pada Putri Kayangan. Lalu memandang angker pada Pendekar 131 yang membalasnya dengan senyum.


“Dasar hidung setan! Hanya karena mencium aroma bunga kembang ini kau mengajakku pulang balik tak karuan, hah?!”


“Bruss! Bruss! Rasanya kita juga akan membuktikan ucapan sahabat yang baru saja kita temui. Herannya, aku tak bisa tahu apakah hanya cirinya yang sesuai tapi makhluknya berbeda!”


“Hem…. Jadi makhluk setan yang kita cari itu ada di sekitar sini?!” ujar Dayang Sepuh. Tanpa menunggu sahutan dari Datuk Wahing ataupun Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh sudah berteriak dengan suara keras membahana.


“Kalau kalian bukan setan, mengapa takut tunjukkan diri?!” Di balik semak, Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala pada Putri Kayangan. Lalu berbisik. “Mereka telah tahu keberadaan kita! Kita segera keluar!” Nyai Tandak Kembang alihkan pandangan pada murid Pendeta Sinting. “Kau jangan berani tunjukkan diri atau bicara!”


Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang memberi isyarat pada Putri Kayangan untuk mengikutinya keluar dari balik semak. Sambi! melirik dan tersenyum menahan tawa pada murid Pendeta Sinting, Putri Kayangan bergerak bangkit lalu melangkah keluar dari balik semak mengikuti eyangnya yang sudah mendahului.


Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Lalu memandang ke depan. Bukan ke arah Nyai Tandak Kembang melainkan pada Putri Kayangan. Juga tidak ke arah wajah si gadis namun pada perutnya. Sementara Dayang Sepuh segera pentangkan mata. Dia juga tidak melihat pada Nyai Tandak Kembang, melainkan melotot pada perut Putri Kayangan.


“Setan betul! Aku tak bisa membedakan wajahnya! Apakah menurutmu gadis itu yang kita cari?!” tanya Dayang Sepuh pada Datuk Wahing.


“Rasanya bukan dia yang kita cari…,” bisik Gendeng Panuntun. “Sahabat yang kita jumpa tadi memang mengatakan sesuai dengan ciri-ciri di depan itu, tapi tampaknya dia menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya! Dia mengecoh kita!”


“Ada yang ingin kalian katakan?!” Mendadak Nyai Tandak Kembang buka pertanyaan.


“Bruss! Bruss! Sebenarnya banyak…. Tapi agar kau tidak merasa heran apalagi jengkel, untuk sementara ini biarlah segalanya tersimpan dahulu! Suatu saat nanti pasti akan kita bicarakan bersama-sama…. Maaf bila kami mengganggu keasyikan kalian!”


“Sebelum kami pergi, mau perkenalkan sahabat satunya lagi yang masih malu-malu?!” kata Gendeng Panuntun.


Di balik semak, mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Joko tampak gelisah. Dari ucapan orang dia telah maklum kalau Gendeng Panuntun sudah mengetahui keberadaan dirinya. Pendekar 131 sendiri sebenarnya ingin keluar karena masih ada hal yang ingin dibicarakan. Namun ingat akan pesan Nyai Tandak Kembang, ia jadi bimbang.


Di lain pihak, meski merasa terkejut, namun Nyai Tandak Kembang bisa sembunyikan rasa kejutnya. Tapi tidak demikian halnya dengan Putri Kayangan. Gadis ini tersentak kaget. Dan tanpa sadar berpaling ke arah semak di mana Joko bersembunyi.


“Hem…. Jadi masih ada setan lagi di balik semak itu! Jangan-jangan makhluk itu yang tengah kita cari!” desis Dayang Sepuh mendapati sikap Putri Kayangan. Lalu tanpa pedulikan pandangan Nyai Tandak Kembang, si nenek berambut poni ini berseru.


“Setan di balik semak! Keluarlah!”


Pendekar 131 makin bingung. Dia sibakkan sedikit semak belukar di hadapannya. Lalu memandang satu persatu pada beberapa orang di depan sana. “Apa aku harus keluar mengikuti ucapan nenek Dayang Sepuh?! Tapi bagaimana kalau nanti Nyai Tandak Kembang marah-marah?! Aku tak tahu mengapa Nyai Tandak Kembang melarangku tunjukkan diri atau berucap! Hem…. Bagaimana ini?!”


“Eyang….”


“Kau juga jangan ikut bersuara!” Nyai Tandak Kembang telah menukas ucapan Putri Kayangan yang hendak bicara.


Dayang Sepuh berpaling pada Gendeng Panuntun. “Kau bisa merasakan, siapa setan di balik semak itu?


Setan perempuan atau laki-laki?!”


Gendeng Panuntun usap cermin bulat di depan perutnya. “Aku tak bisa memastikan. Tapi kurasa sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini!”


“Bagaimana dengan setan satu di balik semak yang belum unjuk tampang itu?!” tanya Dayang Sepuh.


“Kurasa tak ada yang bisa kita dapatkan dari orang itu! Kita harus berbalik arah lagi!” jawab Gendeng Panuntun lalu luruskan kepalanya menghadap Nyai Tandak Kembang dan berkata.


“Nyai…. Seperti ucapan sahabatku Datuk Wahing, sebenarnya masih banyak yang harus kita bicarakan. Namun karena kita kelak masih berjumpa lagi, kurasa pembicaraannya kita tuntaskan kelak saja! Sekarang aku dan sahabat-sahabatku akan pamit dahulu….” Gendang Panuntun anggukkan kepala dua kali.


Bersamaan dengan itu Datuk Wahing gerakkan Kepala ke depan mengangguk-angguk lalu bersin tiga kali tanpa disusul dengan ucapan. Dayang Sepuh masin arahkan pandang matanya ke arah semak. Namun begitu mendapati Gendeng Panuntun berkelebat disusul kemudian oleh Datuk Wahing, si nenek segera berpaling. Dengan perdengarkan gumaman tak jelas, akhirnya si nenek berkelebat mengikuti Gendeng Panuntun dan Datuk Wahing.


“Hem…. Tampaknya mereka telah tahu pula di mana arah Pitaloka berada!” gumam Nyai Tandak Kembang. “Kita harus terlebih dahulu mendapatkannya!”


Nyai Tandak Kembang menoleh ke arah semak. Ternyata Pendekar 131 sudah tegak dengan kepala mengarah pada berkelebatnya Dayang Sepuh.


“Bersama pemuda itu akan membuat gerakan kita sulit kembali Nyai Tandak Kembang bergumam. “Bagaimana kalau dia kita tinggalkan?!”


Pertanyaan Nyai Tandak Kembang tidak segera dijawab oleh Putri Kayangan. Namun perubahan wajah si gadis telah membuat perempuan dari lereng Gunung Semeru itu maklum apa yang ada dalam benak cucunya.


“Baiklah…. Dia kita ajak serta. Tapi harus melakukan segala yang kukatakan! Akhirnya Nyai Tandak Kembang berkata seraya menghela napas.


“Eyang…,” kata murid Pendeta Sinting seraya melompat dan tegak tidak jauh dari Putri Kayangan. “Boleh aku tahu mengapa kau melarangku menemui mereka dan bicara dengan mereka! Mereka adalah sahabat-sahabatku….”


“Aku tahu, Anak Muda…,” jawab Nyai Tandak Kembang dengan suara pelan dan bibirnya tersenyum. “Namun sementara ini aku tak bisa jawab pertanyaanmu! Selain itu, kau punya dua pilihan. Terus bersama kami atau berpencar!”


Hampir bersamaan kepala Pendekar 131 dan Putri Kayangan bergerak saling menghadap. Sesaat mereka saling berpandangan.


“Aku ikut bersamamu, Eyang…,” kata Joko.


“Kalau itu pilihanmu, ada beberapa hal yang harus kau lakukan! Kau sanggup?”


Meski dengan hati masih bertanya-tanya, murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. “Apa yang harus kulakukan?!”


“Ikuti semua ucapanku!” jawab Nyai Tandak Kembang pendek.


“Kalau hanya itu tak susah aku melakukannya! Sekarang apa ucapanmu yang harus kulakukan, Eyang?!”


Nyai Tandak Kembang tidak menjawab. Sementara Putri Kayangan tersenyum seraya gelengkan kepalanya perlahan. Nyai Tandak Kembang arahkan pandangannya ke jurusan selatan. La u berkata. “Anak muda! Kau benar-benar sanggup melakukan apa yang kuucapkan?!”


“Demi bisa bersama denganmu dan Putri Kayangan….”


Putri Kayangan tersentak mendengar ucapan terus-terang murid Pendeta Sinting. Namun dadanya berdebar senang.


“Ikuti saja aku! Bila nanti tiba saatnya aku akan mengatakan apa yang harus kau lakukan!”


Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berkelebat ke arah selatan. Putri Kayangan dan Pendekar 131 saling pandang. Sebenarnya Joko hendak berkata, namun Putri Kayangan keburu berkelebat mengikuti Nyai Tandak Kembang.


“Aneh… Apa sebenarnya kemauan eyang cantik itu…. Hem…. Masih begitu muda dan cantik sudah dipanggil eyang! Apa benar Putri Kayangan dan Pitaloka adalah cucu-cucunya?!” sembari terus bertanya-tanya dan tersenyum sendiri, murid Pendeta Sinting berkelebat menyusul Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan.


***


Pada satu tempat tiba-tiba Gendeng Panuntun hentikan kelebatannya. Datuk Wahing dan Dayang Sepuh ikut-ikutan berhenti. Gendeng Panuntun dongakkan kepala seraya usap cermin bulatnya.


“Aneh…. Aku tak dapat menjajaki di mana beradanya orang yang kita cari! Ada tabir yang menghalangi! Bagaimana dengan kalian berdua? Bisa menjajaki arah di mana sahabat Kigali dan orang yang kita cari?”


“Bruss! Bruss! Aku juga merasa heran. Sejak memasuki kawasan selatan hutan ini, aku tak bisa mendapatkan petunjuk apa-apa!” Datuk Wahing menyahut.


“Bagaimana dengan dirimu, Nek…?” tanya Gendeng Panuntun.


“Kalau setan-setan seperti kalian tidak dapat, bagaimana mungkin aku bisa?!”


Dayang Sepuh edarkan pandang matanya berkeliling. Lalu memandang satu persatu pada Gendeng Panuntun dan Datuk Wahing. “Celaka! Bagaimana bisa begini! Rasanya kita bakal kehilangan jejak!”


Gendeng Panuntun geleng kepala. “Aku tak tahu harus mengatakan bagaimana. Aku benar-benar merasakan ada tabir penghalang yang sangat kuat hingga tak mampu menjajaki di mana beradanya orang! Ini satu tanda jika ada sesuatu yang sangat luar biasa! Aku tidak bisa memastikan apa sesuatu itu. Mungkin saja inilah salah satu keanehan yang dimiliki bayi itu….”


“Brusss! Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Adalah mengherankan kalau kita hanya tegak bengong di sini!”


“Perempuan setan bernama Nyai Tandak Kembang itu rasanya juga menuju ke arah selatan,” ujar Dayang Sepuh. “Tampaknya dia juga tahu di mana beradanya orang yang kita cari! Bagaimana kalau kita ikuti dia?! Barangkali dia bisa menembus tabir penghalang itu! Apalagi perempuan setan itu mengaku sebagai neneknya!”


“Hem…. Itu usul yang baik! Tapi aku merasa dia memiliki daya penciuman yang sangat hebat. Kalau kita mengikuti dia, tentu dia akan tahu!”


“Bruss! Bruss! Nyai satu itu memang punya daya cium luar biasa. Tapi jangan heran kalau kukatakan aku bisa mematahkan daya penciumannya hingga dia tidak dapat mengendus aroma tubuh kita!”


“Cepat katakan apa yang harus kita lakukan!” kata Dayang Sepuh.


Datuk Wahing tertawa dahulu lalu bersin tiga kali. Baru kemudian berucap.


“Kita butuh air kencing sebanyak-banyaknya….”


“Edan! Kau tak bisa membedakan kapan saatnya main-main dan sungguh-sungguh!” semprot Dayang Sepuh.


“Bruss! Aku tidak main-main, Nek! Segala sesuatu adalah mengherankan jika tak memiliki kelemahan! Dan satu-satunya kelemahan nyai cantik itu adalah air kencing! Daya penciumannya akan hilang bila mencium aroma air kencing! Lebih dari itu untuk menjaga segala kemungkinan, kita harus mengikuti dengan mengambil tempat yang berlawanan dengan arah angin!”


“Jadi kita harus kencing terus-terusan?!” tanya Dayang Sepuh. “Lebih baik kita urungkan saja! Bagaimana aku harus kencing melulu kalau aku mengenakan celana begini rupa?!” Dayang Sepuh arahkan pandangannya pada Gendeng Panuntun. “Kalau dengan dia aku tak merasa sungkan, karena bagaimanapun juga dia tak bisa melihat meski matanya melotot!” Dayang Sepuh alihkan pandang matanya pada Datuk Wahing. “Yang ku khawatirkan adalah mata setanmu!”


Datuk Wahing tertawa bergelak. Gendeng Panuntun ikut-ikutan tertawa. Dan entah karena apa Dayang Sepuh tiba-tiba juga ikut perdengarkan tawa!


“Brusss! Kau tak perlu terus-terusan kencing, Nek! Kita hanya perlu persediaan. Air kencing itu kita tabur-taburkan di depan kita begitu kita mendekati Nyai Tandak Kembang! Sekarang kita cari bumbung bambu dan daun ilalang! Masukkan air kencing masing-masing ke dalam bumbung bambu. Daun ilalang untuk menaburkan jika kita mulai mendekati Nyai Tandak Kembang!”


“Datuk…,” kata Gendeng Panuntun. “Untuk urusan bumbung bambu dan ilalang, aku menyerahkan padamu. Aku hanya bisa kencing saja dan menunggu di sini!”


“Aku juga!” sahut Dayang Sepuh.


Datuk Wahing bersin dua kali. Tanpa menyusuli dengan ucapan, kakek ini berkelebat meninggalkan Dayang Sepuh dan Gendeng Panuntun.


“Dasar datuk setan! Mainannya aneh-aneh!” gumam Dayang Sepuh lalu berpaling pada Gendeng Panuntun.


“Kau percaya dengan ucapan datuk setan itu?!”


“Kurasa ucapannya benar!”


“Huh! Dasar sama-sama setannya! Mungkin saja ini hanya permainan konyol datuk setan itu! Dia ingin melihat pantatku!”


“Jangan berprasangka buruk, Nek!”


“Ini bukan prasangka! Kau tahu sendiri, aku mengenakan celana pendek. Bagiku tak mungkin bisa kencing tanpa menurunkan celana! Dan itu pasti akan membuat pantatku kelihatan!”


“Kita tengah mencari orang yang sangat penting demi rimba persilatan. Kurasa kalau hanya memperlihatkan pantat bukanlah satu pengorbanan yang besar!”


“Memang bukan besar! Yang kutakutkan dia nanti menyiarkan kabar soal pantatku ini!”


Gendeng Panuntun tertawa bergelak. “Memang ada apa dengan pantatmu, Nek?!”


Belum sampai Dayang Sepuh menjawab, U dengar bersinan dua kali. Lalu muncullah Datuk Wahing dengan tangan membawa tiga bumbung bambu sepanjang masing-masing dua jengkal.


Datuk Wahing ulurkan tangan kanannya pada Dayang Sepuh. “Ambil satu untukmu!” Lalu mendekati Gendeng Panuntun dan memberikan satu bumbung bambu.


“Brusss! Sekarang terserah kalian. Mau kencing di sini atau mencari tempat yang enak! Yang jelas semakin banyak air kencing di dalam bumbung, semakin leluasa nantinya kita mengikuti langkah Nyai Tandak Kembang!”


Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan tubuh. Putar kepalanya sebentar lalu berkelebat dan lenyap di balik satu batangan pohon.


Dayang Sepuh pandangi bumbung bambu di tangannya. Lalu beralih pada bumbung bambu di tangan Gendeng Panuntun. Tiba-tiba si nenek perdengarkan tawa cekikikan. Saat lain dia berkelebat ke balik semak dengan perdengarkan suara keras.


“Jika kulihat salah satu dari kalian mengintip, jangan menyesal kalau kalian berdua akan mandi dengan air setan ini!”


Gendeng Panuntun tertawa seraya melangkah ke salah satu pohon. Disambut dengan gelakan tawa Datuk Wahing dari balik batangan pohon.


Tak berapa lama kemudian, Dayang Sepuh sudah berkelebat muncul dari balik semak dengan mendelik jelalatan. Karena bersamaan dengan itu suara gelakan tawa Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun lenyap!


“Di mana kalian?!” teriak Dayang Sepuh lalu arahkan sepasang matanya ke tempat di mana dia tadi menyelinap. Jelas nenek ini khawatir Datuk Wahing serta Gendeng Panuntun berada tak jauh dari tempatnya tadi menyelinap kencing.


“Aku di sini, Nek!” Yang menyambut adalah suara Gendeng Panuntun.


“Brusss! Aku heran…. Tampaknya kau takut sekali!” Datuk Wahing perdengarkan suara lalu sosoknya muncul dari balik batangan pohon. Tangan kiri memegang bumbung bambu tangan kanan pencet hidungnya.


Bersamaan dengan munculnya sosok Datuk Wahing, Gendeng Panuntun melangkah keluar pula dari balik pohon. Bumbung bambu tampak diselipkan pada ikat pinggangnya.


“Celaka!” Mendadak Datuk Wahing berseru dengan suara sengau karena hidungnya terpencet tangan kanannya.


“Kemauanmu sudah dituruti, tapi kau masih juga bilang celaka!” bentak si nenek.


“Brusss! Brusss! Bagaimana tidak celaka! Dengan air di dekatku, berarti aku tidak bisa menahan bersin! Dan itu akan membuat Nyai Tandak Kembang mengetahui kalau sedang diikuti orang! Heran…. Mengapa aku tadi lupa kalau aku tidak bisa menahan bersin bila mencium aroma air kencing….”


“Setan! Kau benar-benar mempermainkan aku!” sentak Dayang Sepuh. Tangan kirinya yang memegang bumbung bambu diangkat ke atas.


“Tahan, Nek!” seru Datuk Wahing tatkala melihat bagaimana si nenek hendak tumpahkan bumbung bambu yang telah berisi air kencing. “Karena sudah telanjur, apa boleh buat! Untuk sementara ini aku harus menyumbat hidungku dengan dedaunan! ini untuk mengurangi aroma air kencing.”


Setelah berkata begitu, Datuk Wahing membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat dan lenyap di balik kerapatan semak. Tak berselang lama, Datuk Wahing sudah muncul lagi.


Dayang Sepuh tiba-tiba perdengarkan gelakan tawa panjang. Sementara Datuk Wahing melangkah bersungut-sungut dengan tangan kiri memegang bumbung bambu sementara pada kedua lobang hidungnya terlihat daun sirih yang dibuat sumbatan oleh sang Datuk.


“Kita harus segera jalan memutar! Orang yang hendak kita ikuti sudah tidak jauh dari sini!” Yang berujar Gendeng Panuntun.


Dayang Sepuh putuskan gelakan tawa. Datuk Wahing hentikan langkahnya. Hampir bersamaan ketiga orang ini membuat gerakan. Kejap lain ketiganya berkelebat.

रेटिंग आणि पुनरावलोकने

५.०
एक परीक्षण

या ई-पुस्तकला रेटिंग द्या

तुम्हाला काय वाटते ते आम्हाला सांगा.

वाचन माहिती

स्मार्टफोन आणि टॅबलेट
Android आणि iPad/iPhone साठी Google Play बुक अ‍ॅप इंस्‍टॉल करा. हे तुमच्‍या खात्‍याने आपोआप सिंक होते आणि तुम्‍ही जेथे कुठे असाल तेथून तुम्‍हाला ऑनलाइन किंवा ऑफलाइन वाचण्‍याची अनुमती देते.
लॅपटॉप आणि कॉंप्युटर
तुम्ही तुमच्या काँप्युटरचा वेब ब्राउझर वापरून Google Play वर खरेदी केलेली ऑडिओबुक ऐकू शकता.
ईवाचक आणि इतर डिव्हाइसेस
Kobo eReaders सारख्या ई-इंक डिव्‍हाइसवर वाचण्‍यासाठी, तुम्ही एखादी फाइल डाउनलोड करून ती तुमच्‍या डिव्‍हाइसवर ट्रान्सफर करणे आवश्यक आहे. सपोर्ट असलेल्या eReaders वर फाइल ट्रान्सफर करण्यासाठी, मदत केंद्र मधील तपशीलवार सूचना फॉलो करा.