Sebuah cerpen di antara jubelan khazanah hidup lainnya tak perlu dipuja-puja, lantaran ia memang lahir untuk terus berada di pinggiran kehidupan, sunyi, dan miskin: honor kecil, sulit dimuat, tak mengangkat citra sosial. Ia hanyalah kebahagiaan individual di kedalaman batin dan spiritual pengarangnya. Karena itulah, jangan sangka si miskin penyair, cerpenis, atau novelis akan menyesali dirinya terlahir dengan takdir pengarang, kendati atas nama takdir itu jugalah ia harus selalu sedia jalan kaki, berpanas-panas, berhujan-hujan, dan bermandi keringat dengan sebatang rokok di bibir dan dompet lusuh yang cuma berisi sekian ribu rupiah. Edi AH Iyubenu (2003)
Betapa membosankannya menulis dan membaca cerita yang terbekap melulu pada rezim struktur-formal cerpen. Mau apa, dapat apa, dan mengapa MESTI begitu?
Saya pikir menulis cerpen adalah sepenuhnya perihal kreativitas dan berbahagia: maka ia MESTI bebas, sebebasnya, tak kudu begini atau begitu. Macam kaum terjajah saja kudu begini atau begitu. Suog!
Yang penting penulis TAHU apa yang dituliskan dan diceritakan. Buat apa menulis bila tak membahagiakan?
Edi AH Iyubenu (2017)