kekerabatan dengan garis keturunan yang berkuasa) dapat meningkatkan
kedudukannya dan memperluas pemilikan lahan
pada tahun 1960-an. Mereka untuk sementara bekerja sebagai
penyewa pada sesama penduduk desa masyarakat Karo sambil
mendapatkan tanah dan menunggu sampai pohon-pohonnya
menghasilkan. Pasangan muda masyarakat Karo yang menunggu
untuk mewarisi lahan juga melakukan hal yang sama, dan
ditawari pekerjaan oleh kerabat mereka yang taat kepada
gagasan solidaritas kekerabatan dan bantuan atas dasar kerabat.
Sebaliknya, kebanyakan bekas pekerja perkebunan suku Jawa
yang masuk ke dalam desa itu untuk bekerja sebagai penyadap
karet tetap tidak memiliki lahan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi diferensiasi kelas
yang terbatas di kalangan masyarakat Karo. Sistem ideologi kekerabatan
mengharuskan kalangan masyarakat Karo yang kaya
untuk memberikan sumbangan besar bagi pelaksanaan upacaraupacara
ritual. Namun sistem pemberian warisan secara patrilinial,
migrasi keluar yang lebih besar daripada migrasi masuk,
dan sistem pemasaran karet (yang tidak menyebabkan hubungan
hutang) berfungsi untuk menahan kemungkinan kehilangan
lahan dan pemiskinan lebih lanjut di kalangan keluargakeluarga
Karo yang sudah miskin. Ladang-ladang yang ditanami
karet lagi tidak menyebabkan pemisahan antara petani yang
menjadi lebih kuat dan petani bagi-hasil atau buruh tani, karena
desa-desa yang melakukan penanaman karet kembali, yaitu anggota
elite desa dan para “pendatang baru” sama-sama mampu
melakukan kegiatan ini. Memang ada sebagian orang yang mendapatkan
keuntungan lebih dibandingkan dengan orang lain
dalam memanfaatkan peluang melalui penanaman karet dan
tanaman perdagangan lainnya, namun demikian nilai-nilai kaum
petani menengah dan pilihan petani itu untuk tetap memegang
otonomi atas usaha perkebunan mereka, sekarang sama
sangat berurat akarnya dengan, waktu terbentuknya kaum petani
seperti bagian yang kokoh dari ekonomi perkebunan
kolonial.