Tumbal Pusar Merah

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 29권 · Pantera Publishing
1.0
리뷰 2개
eBook
115
페이지
검증되지 않은 평점과 리뷰입니다.  자세히 알아보기

eBook 정보

BEGITU sosok Malaikat Berkabung lenyap di atas lobang, Gendeng Panuntun balikkan tubuh menghadap ke arah Pendekar 131 di depan sana.


“Sahabat muda…. Masih ada yang harus kau kerjakan! Jangan lama-lama di tempat ini, meski terasa berat kau harus berpisah untuk sementara waktu!”


“Busyet! Dia tampaknya sudah tahu kalau aku berat meninggalkan Putri Kayangan apalagi setelah ini mungkin tak bisa bertemu lagi!” Murid Pendeta Sinting membatin tahu arah pembicaraan Gendeng Panuntun. Tanpa sadar kepalanya berpaling pada Putri Kayangan.


“Bruss! Bruss! Berpisah dengan kekasih memang berat…. Apalagi tidak ada kepastian kapan bisa berjumpa lagi! Brusss! Tapi adalah mengherankan kalau seseorang harus tenggelam pada kesedihan hati padahal ada tugas penting di pundaknya demi kepentingan orang banyak!” Datuk Wahing sambungi ucapan Gendeng Panuntun.


“Bukan saja mengherankan, tapi dia adalah setan tolol kalau sampai mendahulukan cinta daripada kepentingan orang banyak yang tengah terancam!” Dayang Sepuh sudah menyahut.


“Betul! Kerjaku akan sia-sia kalau akhirnya hanya tergusur urusan cinta!” Dewi Ayu Lambada ikut ambil suara. Dan iblis Ompong tak tinggal diam. Dia buka mulut pula tanpa angkat kepalanya.


“Urusan cinta memang gampang-gampang susah! Tapi kalau aku punya murid yang mendahulukan cinta daripada tugas, akan kugebuk dia sampai terkencing-kencing!”


Mendengar ucapan-ucapan beberapa orang di tempat itu, Joko segera berkelebat ke depan. Lalu arahkan pandang matanya pada satu persatu orang dan berkata.


“Aku berterima kasih atas bantuan kalian semua! Dan harap tidak khawatir atau salah duga. Aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang!”


Pendekar 131 putar diri, memandang pada Pitaloka, Nyai Tandak Kembang, Kigali, dan terakhir pada Putri Kayangan. Untuk beberapa saat dia pandangi si gadis lalu tersenyum dan anggukkan kepala tanpa berkata apa-apa.


Saat lain murid Pendeta Sinting balikkan lagi tubuh, lalu berujar.


“Aku akan berangkat sekarang!”


Rombongan Dayang Sepuh tersenyum lalu sama anggukkan kepala. Hanya Dewa Uuk yang kerutkan dahi dengan kepala tetap diam karena tak mendengar ucapan Joko.


Namun tiba-tiba Joko urungkan niat berkelebat. Sebaliknya balikkan tubuh lagi menghadap rombongan Nyai Tandak Kembang. Kali ini pandang matanya bukannya mengarah pada Putri Kayangan, melainkan pada Pitaloka.


Putri Kayangan berdebar. Dia menduga-duga dengan gelisah. Joko tersenyum lalu angkat bicara.


“Pitaloka…. Kau tahu di mana manusia pemakai Jubah Tanpa Jasad itu?!”


Putri Kayangan menarik napas lega. Pitaloka anggukkan kepala dan menjawab.


“Terakhir kali aku melihatnya di kaki Bukit Kalingga….”


Pendekar 131 tersentak. “Bukit Kalingga…. Astaga! Bukankah aku pernah bertemu Kiai Laras di sana…? Apakah….” Joko tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya cepat berbalik, lalu berkelebat. Dia berhenti sejenak di bawah lobang. Memandang pada semua orang di ruangan, lalu melesat dan lenyap di atas lobang.


Gendeng Panuntun kerjapkan sepasang matanya yang putih. Lalu berkata.


“Nyai Tandak Kembang…. Aku sebagai wakil dari sahabat-sahabat yang ada di sini minta maaf kalau selama ini bertindak kurang sopan padamu!”


“Ah…. Lupakan semua itu. Justru aku yang berterima kasih padamu serta sahabat-sahabat sekalian!” sambut Nyai Tandak Kembang seraya anggukkan kepala menjura.


“Setan! Aku tidak merasa bertindak kurang sopan pada setan perempuan itu!” Dayang Sepuh bergumam dengan cibirkan mulut.


“Aku pun merasa begitu!” Dewi Ayu Lambada menimpali gumaman Dayang Sepuh.


“Aku juga demikian!” Iblis Ompong ikut-ikutan bergumam.


“Brusss! Brusss! Ah…. Mengherankan sekali. Apa kalian tak tahu bahasa basa-basi?!” Datuk Wahing mengingatkan.


Dayang Sepuh sudah hendak angkat bicara menyahut. Namun Gendeng Panuntun mendahului buka mulut. Bukan sambuti gumaman beberapa orang di sampingnya, melainkan bicara seraya hadapkan wajah lurus ke arah Pitaloka.


“Gadis cantik…. Aku punya satu saran untukmu! Sebaiknya kau turuti saran eyangmu Jangan perturutkan kata hati!”


Hem…. Apakah dia tahu rencanaku? Lalu mengapa dia mencegahku?!” Pitaloka diam-diam berkata sendiri dalam hati. Mungkin tak mau berpanjang lebar dan bisa-bisa Nyai Tandak Kembang menarik izinnya, Pitaloka buka suara menyahut.


“Terima kasih atas saranmu. Aku akan berusaha melakukannya….”


“Brusss! Brusss! Rasa-rasanya aku ingat siapa kau sekarang!” Datuk Wahing berkata seraya hadapkan wajah dan memandang pada Kigali. “Tapi aku masih ragu dan heran. Apakah benar penglihatanku ini?”


“Aku memang Kigali…. Apa kau hendak teruskan ucapan usang, Galaga?!” Kigali berterus terang sambil menyebut nama asli Datuk Wahing.


Seperti diketahui, Kigali pernah menjadi orang kepercayaan Maladewa alias Setan Liang Makam pada beberapa puluh tahun silam. Bahkan Kigali punya tugas untuk mencari sekaligus membunuh Galaga alias Datuk Wahing.


“Brusss! Jangan berkata mengherankan, Sahabat! Aku tak ingin membangkitkan kisah lama. Malah aku bersyukur bisa bertemu kau lagi….”


“Datuk…. Sudah saatnya kita pergi dari sini! Lagi pula mereka masih punya pekerjaan….” Gendeng Panuntun berkata seraya menoleh pada Datuk Wahing.


Datuk Wahing berpaling pada rombongan Dayang Sepuh.


“Bruss! Brusss! Kalian juga sudah waktunya tinggalkan tempat ini! Walau bagaimanapun kita tidak bisa membiarkan seorang anak pergi sendirian! Kita pergi bersama-sama sekarang….”


“Nyai Tandak Kembang…,!” kata Gendeng Panuntun lagi. “Kami harus pergi sekarang. Kelak mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi….”


Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Gendeng Panuntun balikkan tubuh lalu perlahan melangkah. Datuk Wahing anggukkan kepala pada beberapa orang di depan sana. Lalu putar diri dan melangkah mengikuti Gendeng Panuntun.


Dayang Sepuh, Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk saling pandang satu sama lain. Tanpa ada yang buka suara keempatnya berbalik kecuali Iblis Ompong yang memang dari tadi memunggungi beberapa orang di depan. Mereka berempat melangkah berjajar. Gendeng Panuntun membuka satu gerakan disusul Datuk Wahing. Sosok keduanya melenting lalu lenyap keluar lobang.


Dayang Sepuh bergumam tak jelas. Lalu melesat menyusul. Di belakangnya Dewi Ayu Lambada membuntuti yang tak lama kemudian diikuti Iblis Ompong. Dewa Uuk adalah orang terakhir yang meninggalkan ruangan bawah Lembah Patah Hati.


“Kita harus kuburkan dahulu bayi Pitaloka dan Umbu Kakani, juga mayat Lingga Buana!” Nyai Tandak Kembang berkata.


Kigali anggukkan kepala. Lalu serahkan bayi Pitaloka pada Nyai Tandak Kembang. “Pitaloka dan Putri Kayangan biar membawa mayat Umbu Kakani. Aku akan mengangkat mayat Lingga Buana. Meski mereka berdua pada akhirnya harus bermusuhan, tapi pada mulanya mereka berdua adalah sepasang kekasih. Tak ada salahnya kalau mereka kita kuburkan berdampingan!”


Kigali melangkah mendekati sosok mayat Lingga Buana. Pitaloka dan Putri Kayangan mengangkat mayat Umbu Kakani. Lalu mereka melangkah tanpa ada lagi yang buka suara.


***


Kita tinggalkan dahulu rombongan Dayang Sepuh dan rombongan Nyai Tandak Kembang. Juga kepergian Pendekar 131. Kita kembali dahulu ke sebuah bukit di sebelah timur sebuah hutan. Saat itu matahari baru saja menapak dari bentangan kaki langit sebelah timur. Cahayanya menerabas sela dedaunan jajaran pohon di sebuah kaki bukit di mana terlihat satu sosok tubuh tengah duduk bersila di bawah pohon besar dengan punggung bersandar pada batangan pohon.


Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut berambut putih agak panjang. Mengenakan pakaian warna putih. Di pangkuan orang tua ini tampak sebuah jubah hitam yang dipegang erat-erat seolah takut jubah hitam itu terbang terbawa angin. Padahal saat itu angin berhembus semilir dan tak mungkin mampu menerbangkan jubah hitam di pangkuan orang.


Orang tua ini sesekali arahkan pandang matanya ke satu jurusan jalan menuju arah bukit di mana dia kini berada. Dari sikapnya jelas orang tua ini tengah menanti seseorang.


“Hem…. Ke mana keparat-keparat itu pergi?! Seharusnya mereka sudah datang ke tempat ini! Apa mereka mendapat halangan atau barangkali mampus?!” Si orang tua di bawah pohon bergumam sendiri.


“Aneh…. Sudah hampir satu purnama lebih aku tak mendengar kabar berita tentang Pendekar 131 dan teman-temannya! Ke mana mereka?! Pitaloka juga tak ada beritanya! Hem…. Gadis itu menggairahkan! Seandainya dia tidak pergi meloloskan diri dari tanganku, tentu malam-malamku tak akan merasa kedinginan lagi! Pitaloka…. Hem….” Si orang tua sunggingkan senyum. Di sepasang matanya tiba-tiba terpampang seorang gadis muda berparas cantik mengenakan pakaian warna merah.


Saat itulah tiba-tiba entah dari mana sumbernya terdengar suara.


“Siapa pun kau adanya. Kelak kau akan mengambil buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad. Tapi Sang Pencipta akan menciptakan pamungkasnya! Dan pamungkas itu akan hadir dari darah dagingmu sendiri!”


Suara itu menggema ke seantero kaki bukit. Anehnya suara itu laksana diperdengarkan dari tempat yang sangat jauh dan dalam!


Si orang tua di bawah pohon tersentak. Dia sentakkan kepalanya berputar. Namun dia tidak melihat siapa-siapa!


“Kala Marica! Itu suara Kala Marica!” gumam si orang tua. “Bagaimana ini bisa terjadi! Sudah dua kali ini dia perdengarkan suara! Apa dia belum tewas?!” Seolah untuk yakinkan diri, si orang tua kembali putar pandangan berkeliling. Namun sampai matanya lelah memandang, dia tidak juga melibat adanya orang lain di tempat itu.


“Keparat! Mungkin ini hanya tipuan telingaku saja!” sentak si orang tua. “Lagi pula apa yang perlu ditakutkan! Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad berada di tanganku!”


Entah karena apa, meski dia tadi percaya suara yang baru didengar adalah tipuan telinganya, si orang tua ini tengadahkan kepala lalu berteriak.


“Kala Marica! Kalau kau bukan manusia pengecut, mengapa tidak berani unjuk tampang?! Dan jangan mimpi kau bisa menggertak Kiai Laras! Keluarlah dari tempatmu dan perlihatkan nama besarmu!”


Si orang tua yang tidak lain adalah Kiai Laras putar pandangan sekali lagi. Namun sejauh ini dia lagi-lagi tidak melihat siapa-siapa. Bahkan dia juga tidak mendengar suara sahutan!


“Ah…. Mengapa aku tolol turuti tipuan telinga?!” Kiai Laras akhirnya sadar akan tindakannya meski dadanya terus dibuncah perasaan tidak enak.


Seperti diketahui, Kiai Laras dengan muslihatnya sendiri akhirnya dapat menguasai Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad. Pada satu saat, dia terlibat bentrok dengan seorang tokoh tua yang dikenal dalam kalangan rimba persilatan berilmu sangat tinggi dan punya ilmu langka. Dia adalah Kala Marica. Sebenarnya Kala Marica tidak mau meladeni Kiai Laras. Namun Kiai Laras tak ambil peduli. Pada akhirnya Kiai Laras berhasil melukai Kala Marica dan bahkan menendangnya masuk ke dalam jurang. Saat sosok Kala Marica amblas masuk ke dalam jurang itulah, Kala Marica sempat berucap seperti kata-kata yang didengar oleh Kiai Laras yang sedang termenung sendiri. (Lebih jelasnya tentang Kala Marica silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : “Kutuk Sang Angkara”).


Kiai Laras bergerak bangkit. Saat itulah sepasang matanya menangkap satu bayangan berkelebat menuju arah bukit.


“Hem…. Tampaknya dia datang membawa tangan hampa!” desis Kiai Laras lalu kenakan jubah hitam yang tadi diletakkan di atas pangkuannya.


Begitu jubah hitam telah terpakai, mendadak sosok Kiai Laras raib tidak kelihatan! Yang terlihat sekarang hanyalah jubah hitam yang terapung di atas udara di bawah pohon. Inilah satu petunjuk kalau jubah hitam yang dikenakan Kiai Laras adalah Jubah Tanpa Jasad. Jubah peninggalan leluhur dari Kampung Setan. Jubah yang akan membuat sosok pemakainya tidak bisa ditangkap dengan pandangan mata biasa.


Kiai Laras yang sosoknya tidak kelihatan lagi membuat satu kali gerakan. Jubah Tanpa Jasad bergerak dan tahu-tahu telah berada di antara lebatnya rimbun dedaunan pohon di mana tadi Kiai Laras duduk bersandar.


Begitu sosok Kiai Laras lenyap dari bagian bawah pohon, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak sepuluh langkah dari pohon di mana Kiai Laras berada. Orang ini lirikan ekor matanya ke seantero tempat itu.


“Dia cepat sekali lenyap…,” gumam orang yang baru muncul. “Mengapa dia sembunyikan diri? Bukankah aku datang untuk menemuinya dan dia menungguku?!”


Baru saja orang menggumam, Kiai Laras melayang turun dan berdiri delapan tindak di hadapan orang.


“Kau tahu apa yang seharusnya kau katakan!” Kiai Laras sudah buka suara.

평점 및 리뷰

1.0
리뷰 2개

이 eBook 평가

의견을 알려주세요.

읽기 정보

스마트폰 및 태블릿
AndroidiPad/iPhoneGoogle Play 북 앱을 설치하세요. 계정과 자동으로 동기화되어 어디서나 온라인 또는 오프라인으로 책을 읽을 수 있습니다.
노트북 및 컴퓨터
컴퓨터의 웹브라우저를 사용하여 Google Play에서 구매한 오디오북을 들을 수 있습니다.
eReader 및 기타 기기
Kobo eReader 등의 eBook 리더기에서 읽으려면 파일을 다운로드하여 기기로 전송해야 합니다. 지원되는 eBook 리더기로 파일을 전송하려면 고객센터에서 자세한 안내를 따르세요.