Wasiat Darah di Bukit Toyongga

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Գիրք 35 · Pantera Publishing
5,0
1 կարծիք
Էլ. գիրք
120
Էջեր
Գնահատականները և կարծիքները չեն ստուգվում  Իմանալ ավելին

Այս էլ․ գրքի մասին

"DIA bersekongkol dengan Bu Beng La Ma dan pemuda asing itu!” Hantu Bulan Emas berkata dengan suara keras.


Baginda Ku Nang terkejut. Dia kini alihkan pandangannya pada Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San tegak dengan tubuh bergetar. Kemarahannya sudah memuncak. Dia sudah membuat gerakan hendak berkelebat ke arah Hantu Bulan Emas. Namun Baginda Ku Nang mendahului dengan berkata.


“Guru Besar…. Apa benar?!”


Guru Besar Liang San urungkan niat. Dia hadapkan wajah pada sang Baginda.


“Amitaba… Harap Baginda tidak termakan dengan fitnahnya!’


Mendengar ucapan Guru Besar Liang San, Hantu Bulan Emas tertawa dan kembali buka suara.


“Kau lupa bertemu denganku di Kuil Atap Langit?!”


“Aku memang berada di sana. Tapi…� Sebelum Guru Besar Liang San selesaikan ucapannya, Hantu Bulan Emas sudah memotong.


“Jangan berdalih. Guru Besar! Siapa pun saat itu tahu jika pemuda asing itu berada di Kuil Atap Langit! Adalah hal aneh kalau keberadaanmu di sana hanya sebuah kebetulan belaka! Apalagi selama ini kau diketahui jarang bergaul, lebih-lebih dengan Bu Beng La Ma!”


“Kau jangan mengarang cerita! Aku benar-benar tak tahu kalau saat itu pemuda dari seberang itu ada di sana! Dan tujuanku ke sana pun semata-mata ingin memberitahukan tentang peristiwa yang baru saja terjadi!”


Lagi-lagi Hantu Bulan Emas tertawa mendengar ucapan Guru Besar Liang San. Saat lain dia kembali angkat suara seraya mendongak.


“Alasanmu tidak masuk akal. Guru Besar! Tanpa kau beri tahu pun, kelak semua orang akan tahu dan mendengar! Dan kalaupun benar kau ingin memberi tahu, berarti ada yang tak beres dengan peristiwa di perguruanmu itu! Kau sengaja memberi tahu orang agar orang tidak merasa curiga jika kau ikut mendalangi peristiwa itu!”


“Tutup mulutmu!” bentak Guru Besar Liang San sambil melirik sesaat pada sang Baginda. Dia diam-diam merasa khawatir kalau sang Baginda percaya dengan ucapan Hantu Bulan Emas. Di lain pihak, Baginda Ku Nang sebenarnya merasa curiga begitu mendengar keterangan Hantu Bulan Emas.


“Hem…. Dia mendatangi Kuil Atap Langit. Sementara pemuda asing itu berada di sana! Jangan-jangan dia selama ini bermuka dua! Menjalin hubungan denganku untuk memperoleh separo peta wasiat yang berada di Perguruan Shaolin, lalu secara diam-diam menjalin hubungan pula dengan Bu Beng La Ma untuk mendapatkan separo peta wasiat yang disebut-sebut berada di tangan pemuda asing itu! Kalau benar begitu, berarti separo peta wasiat itu sudah berada di tangannya!”


Membatin sampai di situ, akhirnya sang Baginda berujar.


“Guru Besar…. Agar tidak terjadi pertumpahan darah yang tidak berguna, harap kau mau berterus terang pada kami yang berada di sini!”


Dada Guru Besar Liang San berdebar tidak enak.


“Berterus terang bagaimana, Yang Mulia?!” katanya dengan suara bergetar.


“Kau telah mendapatkan peta wasiat yang selama Ini dikabarkan berada di tangan pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti urusan peta wasiat itu sudah selesai!”


“Amitaba…. Baginda percaya dengan ucapannya?!” kata Guru Besar Liang San seraya ganti arahkan telunjuk Jarinya pada Hantu Bulan Emas.


“Masalahnya bukan percaya atau tidak! Tapi kalau kau mau berterus terang, kita bisa cegah pertumpahan darah yang tiada gunanya! Karena kau sendiri pasti tahu, siapa pun orangnya yang akan hadir di tempat ini, pasti tidak bukan ingin memiliki peta wasiat itu!”


“Yang Mulia! Peta wasiat itu tidak berada di tanganku! Dan kalaupun benar peta wasiat itu sudah ada di tanganku, tak mungkin aku datang ke tempat ini!”


Baginda Ku Nang tertawa pendek dengan gelengkan kepala. “Guru Besar… Bukannya aku tidak percaya padamu. Tapi aku sependapat dengan sahabat Hantu Bulan Emas. Adalah aneh kalau kau datang ke Kuil Atap Langit, sementara pemuda asing itu berada di sana! Dan kau berdalih kedatanganmu hanya perlu memberitahukan akan peristiwa yang terjadi! Seandainya kau tadi berkata kedatanganmu ke Kuil Atap Langit semata-mata mengejar pemuda asing itu, mungkin aku tidak merasa aneh!”


“Yang Mulia…. Harap tidak curiga, karena….”


“Guru Besar!” potong sang Baginda. “Kalau kau masih juga berdalih, itu membuatku makin curiga! Bahkan aku bisa menduga, kedatanganmu ke tempat ini hanya semata-mata agar kau tidak dituduh sudah mendapatkan peta wasiat itu! Sekarang berterus teranglah!”


“Yang Mulia boleh percaya atau tidak! Yang jelas, aku belum mendapatkan peta wasiat itu!”


Baru saja Guru Besar Liang San berkata begitu, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak di sebelah ujung puncak bukit sana. Dia adalah seorang perempuan mengenakan pakaian warna hitam panjang. Paras wajahnya tidak bisa dikenali karena dia sengaja menutupi wajahnya dengan cadar hitam dan hanya menyisakan dua lobang tepat pada kedua pasang matanya.


Untuk beberapa saat, semua kepala di tempat itu berpaling. Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tidak membuat gerakan menoleh. Sebaliknya orang tua ini melangkah ke arah sebatang pohon, lalu enak saja dia duduk bersandar setelah menarik bumbung bambu yang tadi dibuat duduk.


Di lain pihak, begitu semua kepala berpaling ke arahnya, si perempuan bercadar sapukan pandang matanya ke semua orang.


“Hem… Nyatanya dia belum muncul! Apakah dia tidak tahu urusan di tempat ini?! Sebaiknya aku menunggu… Aku tidak akan ikut campur urusan orang-orang itu. Karena kedatanganku bukan untuk peta wasiat itu!”


Habis bergumam begitu, perempuan bercadar hitam melangkah mendekati sebatang pohon tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran. Dia tegak bersandar di sana tanpa buka mulut bahkan alihkan pandangannya ke samping bukit seolah menunggu seseorang!


Kemunculan perempuan bercadar hitam membuat semua orang di tempat itu sempat bertanya-tanya, karena mereka memang belum pernah mengenali ada seorang tokoh yang berciri demikian. Namun karena saat itu semua tengah tenggelam oleh ketegangan antara Guru Besar Liang San dan Hantu Bulan Emas serta Baginda Ku Nang, mereka tidak pedulikan lagi tentang siapa adanya perempuan bercadar hitam. Malah begitu si perempuan melangkah mendekati pohon, Baginda Ku Nang sudah angkat bicara.


“Guru Besar…. Kurasa tidak ada gunanya kau terus berdusta! Lagi pula sebenarnya peta wasiat itu milik perguruanmu!”


“Itu cerita lama, Yang Mulia!” Hantu Bulan Emas menyahut. “Saat ini, siapa pun juga punya hak untuk memiliki peta wasiat itu!”


“Benar! Peta wasiat itu dibuat bukan semata-mata diperuntukkan bagi Perguruan Shaolin! Tapi bagi semua kalangan rimba persilatan!” Ratu Selendang Asmara yang sejak tadi diam, menimpali ucapan Hantu Bulan Emas.


Guru Besar Liang San menggeram marah. Dan karena pangkal dari semua tuduhan yang kini diarahkan padanya berasal dari ucapan Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang San tumpahkan kemarahannya pada Hantu Bulan Emas. Hingga tanpa buka mulut sambuti ucapan sang Baginda, Hantu Bulan Emas, serta Ratu Selendang Asmara, dia berkelebat ke arah Hantu Bulan Emas!


Tampaknya Hantu Bulan Emas bisa membaca gelagat. Begitu Guru Besar Liang San membuat gerakan, dia ikut berkelebat menyongsong. Namun belum sampai jauh bergerak, satu sosok bayangan berkelebat dan langsung memotong gerakan Guru Besar Liang San!


Guru Besar Liang San cepat hentikan kelebatan dan tegak di atas tanah dengan tampang angker. Saat lain dia berpaling sedikit untuk mengetahui siapa sosok yang menghadang gerakannya.


Saat bersamaan, Hantu Bulan Emas juga hentikan kelebatannya yang hendak menyongsong Guru Besar Liang San. Dia menoleh ke kanan. Dia terkesiap sejenak. Kejap lain dia melesat dan tegak di samping sosok yang baru saja menghadang gerakan Guru Besar Liang San.


“Ouw Kui Lan!” bisik Hantu Bulan Emas seraya perhatikan orang di sampingnya yang ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik mengenakan pakaian warna putih tipis hingga lekukan sekujur tubuhnya terlihat jelas. Rambutnya yang hitam lebat disanggul sedikit ke atas dan sebagian digeraikan di pipi kanan kirinya. Pada kepalanya mengenakan sebuah mahkota berwarna kekuningan bergambar bulan sabit. Dia bukan lain adalah Ouw Kui Lan atau yang lebih dikenal orang dengan Bidadari Bulan Emas, murid tunggal Hantu Bulan Emas.


“Kedatanganmu ke tempat ini satu bukti jika kau gagal dengan pekerjaanmu!”


Bidadari Bulan Emas sapukan pandangannya dahulu pada semua orang yang berada di tempat itu, Lalu berpaling pada Hantu Bulan Emas dan berkata dengan sedikit bungkukkan tubuh.


“Maaf, Guru! Aku telah berusaha…., Bahkan semua petunjukmu telah kulakukan. Dan hampir saja aku dapat menyelesaikan pekerjaan itu! Sayang…. Seseorang telah menggagalkan pekerjaanku!’


Bidadari Bulan Emas alihkan pandang matanya ke arah Guru Besar Liang San yang tegak tidak jauh di hadapannya. Saat bersamaan tangannya terangkat menunjuk pada Guru Besar Liang San dan berseru lantang.


“Dialah orangnya!”


Hantu Bulan Emas sengatkan sepasang matanya ke batok kepala Guru Besar Liang San. Tanpa buka mulut lagi dia melesat. Namun Baginda Ku Nang telah mendahului berkelebat bergerak dan tegak di hadapan Guru Besar Liang San seraya berkata.


“Aku tidak ingin terjadi silang sengketa! Dan jalan satu-satunya adalah, kuharap Guru Besar Liang San mau serahkan peta wasiat itu padaku! Tapi semua harap tidak punya rasa prasangka padaku!” Baginda Ku Nang sapukan pandangannya pada semua orang yang ada di tempat itu. lalu lanjutkan ucapan.


“Aku tahu, semua orang menginginkan peta wasiat itu! Dan hal ini pasti akan menimbulkan pertikaian yang berakhir dengan pertumpahan darah! Aku….”


“Apakah dengan peta wasiat di tangan penguasa, berarti keadaan akan bisa lebih aman?! Apakah kalau peta wasiat berada di tangan Yang Mulia, berarti pertumpahan darah bisa dihindari?! Apakah jika peta wasiat di tangan pihak kerajaan, berarti perebutan ini bisa diakhiri?!” Guru Besar Liang San sudah menyahut dengan suara keras sebelum Baginda Ku Nang selesai dengan ucapannya.


Baginda Ku Nang terlihat marah. Namun dia masih coba menindih perasaan. Seraya pentangkan mata dia berkata.


“Aku minta peta wasiat itu bukan untuk disimpan, lebih-lebih untuk kumiliki! Karena hal itu tidak menyelesaikan urusan! Karena hal itu tidak akan membuat keadaan bisa lebih aman! Karena hal itu tidak bisa hindarkan dari pertumpahan darah! Karena hal itu tidak bisa mengakhiri perebutan!” Suara sang Baginda terdengar bergetar dan keras membahana seolah menyentak kesunyian puncak Bukit Toyongga.


“Lalu untuk apa?!” Tiba-tiba satu suara menyahut.


Suara ini juga tak kalah bergetar dan kerasnya. Hanya saja semua orang di tempat itu tahu, jika suara yang baru saja terdengar disuarakan oleh seorang perempuan! Anehnya, meski semua orang di tempat itu sama putar kepala selain kepala Dewa Cadas Pangeran, mereka tidak menemukan si orang yang baru saja buka suara!


Keadaan mendadak sunyi laksana kuburan. Hanya beberapa mata yang terlihat saling lontar pandang dengan penuh curiga. Dan belum sampai ada yang angkat suara lagi, tiba-tiba puncak Bukit Toyongga kembali dipecah dengan terdengarnya satu suara.


“Aku bertanya! Mengapa tidak ada yang memberi jawaban?! Untuk apa, hah?! Untuk apa peta wasiat itu?!”


Semua orang sempat terkejut. Kalau suara yang pertama tadi jelas diperdengarkan oleh perempuan, kali ini suara itu jelas diperdengarkan oleh laki-laki!


Bidadari Bulan Emas dan Guru Besar Liang San kerutkan kening masing-masing. Dan hampir bersamaran, mereka bergumam.


“Pemuda berkebaya itu!”


Mereka jelas tahu, karena mereka berdua sudah pernah mendapati hal yang sama beberapa hari yang lalu. Mereka berdua kembali gerakkan kepala mencari. Namun sejauh ini mereka belum juga bisa menemukan sosok orang yang dicari.


Di lain pihak, Baginda Ku Nang sempat hendak berkelebat. Namun entah karena apa, tiba-tiba dia batalkan niat. Sebaliknya dia kerahkan sedikit tenaga dalamnya lalu berteriak.


“Kau bertanya! Aku yang akan jawab! Peta wasiat itu kuminta untuk kumusnahkan! Dengan begitu, tidak akan ada lagi perebutan apalagi pertumpahan darah!”


Terdengar suara orang tertawa panjang. Lalu terdengar lagi ucapan yang tak kalah lantangnya dengan jawaban Baginda Ku Nang.


“Peta wasiat itu dibuat bukan untuk dimusnahkan! Tapi diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu untuk memegangnya! Dan kalaupun hal itu akan membawa pertumpahan darah, itu akibat bodohnya orang yang merebut! Lagi pula tidak akan ada rimba persilatan tanpa tetesan darah yang mengalir!”


“Kalian berani berkata lantang! Tapi mengapa tidak berani unjuk muka?!” kata Baginda Ku Nang. Sang Baginda menduga yang perdengarkan suara adalah dua orang.


Sementara itu begitu yakin siapa orang yang perdengarkan suara, diam-diam Guru Besar Liang San membatin.


“Pemuda asing bergelar Pendekar 131 Joko Sableng itu mengatakan peta wasiat telah diambil pemuda berkebaya yang suaranya baru saja terdengar. Hem… Aku belum percaya benar, tapi dari sikapnya, jelas aku bisa membaca jika ucapannya tidak berdusta! Ini saatnya aku merebut dari tangan pemuda berkebaya itu!” Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Kejap lain dia buka kelopak matanya dan perlahan-lahan dia bergerak memutar ke satu arah. Saat berikutnya dia membuat gerakan. Sosoknya berkelebat.


Semua orang di tempat itu sama terkejut. Lebih-lebih Baginda Ku Nang dan si Panglima. Mereka berdua khawatir jika Guru Besar Liang San berkelebat melarikan diri. Hingga begitu Guru Besar Liang San berkelebat, sang Baginda dan sang Panglima segera pula mengejar.


Namun bersamaan dengan itu, tepat ke arah mana Guru Besar Liang San berkelebat, satu sosok tubuh melesat menyongsong sosok Guru Besar Liang San!

Գնահատականներ և կարծիքներ

5,0
1 կարծիք

Գնահատեք էլ․ գիրքը

Կարծիք հայտնեք։

Տեղեկություններ

Սմարթֆոններ և պլանշետներ
Տեղադրեք Google Play Գրքեր հավելվածը Android-ի և iPad/iPhone-ի համար։ Այն ավտոմատ համաժամացվում է ձեր հաշվի հետ և թույլ է տալիս կարդալ առցանց և անցանց ռեժիմներում:
Նոթբուքներ և համակարգիչներ
Դուք կարող եք լսել Google Play-ից գնված աուդիոգրքերը համակարգչի դիտարկիչով:
Գրքեր կարդալու սարքեր
Գրքերը E-ink տեխնոլոգիան աջակցող սարքերով (օր․՝ Kobo էլեկտրոնային ընթերցիչով) կարդալու համար ներբեռնեք ֆայլը և այն փոխանցեք ձեր սարք։ Մանրամասն ցուցումները կարող եք գտնել Օգնության կենտրոնում։