Berdasarkan protokol WHO, dalam mendeteksi Malaria dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan Peripheral Blood Morphology atau Blood Smear. Blood Smear mengevaluasi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Sampel darah pasien akan diwarnai dengan flourscense dan kemudian dilihat menggunakan mikroskop untuk melihat adanya parasit Plasmodium dalam darah. Para teknisi yang melakukan pemeriksaan mikroskop dinamakan Phlebotomist. Dengan jumlah Phlebotomist yang sedikit sehingga para teknisi mengalami kelelahan fisik yang mengakibatkan kesalahan analisis dan interpretasi saat melakukan pemeriksaan Blood Smear. Untuk mengatasi kesalahan interpretasi, para peneliti berlomba-lomba mencari alat bantu yang memudahkan tenaga medis melakukan deteksi dini malaria menggunakan perkembangan teknologi. Salah satu perkembangannya, dengan menggunakan Teknologi Deep Learning untuk mendiagnosis Malaria berbasis citra tekstur warna pada sampel darah menggunakan protokol Blood Smear.
Convolutional Neural Network (CNN) merupakan model Deep Learning yang digunakan dalam mendeteksi Malaria. Kemampuan CNN dalam mengelola data yang besar dapat mendeteksi malaria pada citra Blood Smear dengan baik. Model dari CNN akan mengklasifikasikan citra Blood Smear ke dalam 2 kelas, Uninfected dan Paracitized.
Tujuan dari pengerjaan penelitian ini ialah menguji pengaruh hyperparameter tuning pada deteksi Malaria dan menemukan hyperparameter terbaik pada setiap Arsitektur yang digunakan pada CNN.