Tiba-tiba kesunyian di tempat itu disentak dengan suara tawa yang keluar dari mulut Pendeta Sinting. Melihat Pendeta Sinting tertawa, mendadak Manusia Dewa buka mulut dan ikut-ikutan tertawa bergelak. Hingga sekejap kemudian di tempat itu riuh rendah dengan suara tawa bergelak-gelak, membuat Joko Sableng geleng-geleng kepala.
“Busyet! Apakah demikian sapaan jumpa antara tokoh-tokoh rimba persilatan? Berha… ha… ha…, dulu sebelum berkata?!”
Begitu tawa keduanya berhenti, Pendeta Sinting usap-usap kumisnya. Lalu terdengar suaranya.
“Hari baik, bulan baik. Hingga tak disangka kita jumpa lagi. Rasanya sudah lama kita tak jumpa, bagaimana? Apa kau baik-baik saja selama ini sobatku, Manusia Dewa?”
Manusia Dewa condongkan kepalanya ke depan dengan sedikit menunduk. Saat kepalanya ditarik kembali, terdengar dia berucap.
“Selama angin masih berhembus. Selama laut masih bergelombang. Selama takdir manusia masih menggantung di langit. Tak ada yang tak mungkin bila Dia menghendaki. Banyak perubahan terjadi, namun seperti yang kau lihat tubuh tua ini baik-baik saja! Kau sendiri?!”
“Ucapannya tak berubah dari dulu! Padahal aku tak mengerti maksud ucapannya. Berhadapan macam orang begini mulutku jadi ngilu…,” kata Pendeta Sinting. Lalu guru Joko Sableng ini angkat bicara lagi.
“Begitulah. Seperti halnya kau, aku baik-baik saja…,” sejenak Pendeta Sinting putuskan kata-katanya. Sesaat kemudian menyambung. “Aku sangat gembira bertemu denganmu lagi. Namun tentunya ada hal penting sampai kau jauh-jauh datang ke sini!”
Manusia Dewa tengadahkan kepala. Saat itu matahari sudah hampir tenggelam, namun pantulan cahayanya masih menyeruak, dan perlahan-lahan rembulan tampak menapak langit dari balik gumpalan awan di sebelah utara. Untuk beberapa lama Manusia Dewa menatap bulan yang baru muncul.
“Takdir telah membawaku ke sini. isyarat alam menuntun pikiranku bahwa arakan awan kelam mengambang di langit biru! Bumi jadi gelap meskipun matahari bersinar! Rembulan bercahaya. Tapi warna merah membuat cahayanya pudar!”
Pendekar Pedang Tumpul 131 terkesiap mendengar ucapan Manusia Dewa. Diam-diam dia menduga-duga arti ucapan orang tua Itu. “Hem…. Nampaknya apa yang baru saja dibicarakan Pendeta Sinting benar adanya. Mendengar kata-kata kakek itu, sesuatu akan terjadi. Tapi apa…?!” Joko berpaling pada gurunya. Yang dipandang geleng-geleng kepala seakan menjawab apa yang hendak ditanyakan Joko.
“Sobatku, Manusia Dewa,” kata Pendeta Sinting pada akhirnya setelah diam beberapa lama. “Apakah ucapanmu itu pertanda akan terjadi sesuatu hai yang luar biasa?!”
Manusia Dewa palingkan wajahnya menghadap Pendeta Sinting. Kedua telapak tangannya tetap menakup di bawah dagu.
“Sobatku, Pendeta Sinting. Aku tak berhak menjawab ya atau tidak atas pertanyaanmu, itu bukan kuasaku! Hanya saja, tanda-tanda alam tadi menunjuk ke arah pertanyaanmu. Peristiwa besar! Tanda-tanda itu mengarah ke sana!”
Pendeta Sinting memandang lekat-lekat pada sahabatnya itu. Mulutnya komat-kamit dan bergetar, namun di lain kejap mulutnya telah membuka perdengarkan suara tawa perlahan.
“Sobatku, Manusia Dewa. Anggaplah memang Suatu peristiwa besar akan terjadi. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah peristiwa apa?! Apa kau juga menangkap peristiwa besar apa yang hendak terjadi?!”
“Jangan tanya apa yang akan terjadi, Sobatku. Aku mungkin bisa menjawab semua pertanyaanmu, tapi menjawab apa yang akan terjadi adalah bukan jadi hakku! Namun demikian, tanda-tanda zaman sedikit banyak bisa menjawab apa sebenarnya yang akan terjadi!”
“Sontoloyo benar! Ngomong sama dia aku jadi pusing sendiri!” rungut Pendeta Sinting yang rupanya tak sabar dengan segala ucapan Manusia Dewa. Penghuni jurang Tlatah Perak ini lantas jerengkan sepasang matanya. Mulutnya membuka hendak berkata, namun sebelum ucapannya keluar, Manusia Dewa telah berujar.
“Kau pernah dengar cerita tentang hura-hura besar yang terjadi ratusan tahun silam di Pulau Biru?!”
“Pulau yang katanya dihuni oleh seorang sakti yang memiliki Kitab Serat Biru itu? Memang, aku pernah dengar ceritanya. Tapi kurasa cerita itu hanya mengada-ada saja! Ternyata hingga sekarang aku tak dengar seorang pun yang mendapatkan kitab itu! Bahkan lambat laun cerita itu lenyap!” kala Pendeta Sinting pula.
Manusia Dewa tertawa pelan mendengar ucapan Pendeta Sinting.
“Boleh aku tahu, sudah berapa tahun kau mengasingkan diri tak terjun dalam belantara persilatan?!”
Pendeta Sinting terdiam sejenak seolah mengingat. Lalu bergumam.
“Menurut perhitunganku sudah kurang lebih dua puluh empat tahun!”
“Sobatku. Dua puluh empat tahun bukan waktu yang pendek. Masa selama itu telah cukup untuk membuat suasana benar-benar berubah!”
“Maksudmu…?!”
“Dalam lima belas tahun terakhir ini, rimba persilatan diramaikan dengan perburuan kaum persilatan untuk mendapatkan Pedang Tumpul 131 serta Kitab Serat Biru. Mungkin karena Pedang Tumpul 131 sulit membuka rahasianya karena si pembawa petunjuk lenyap berpindah-pindah, orang rimba persilatan mengarahkan pandangan dan telinganya pada Kitab Serat Biru, meski dengan diam-diam juga menyelidik tentang pedang pusaka itu!”
Pendeta Sinting dan Joko Sableng terkejut.
“Manusia Dewa. Pedang Tumpul 131 sekarang .,” Pendeta Sinting tidak meneruskan ucapannya.
“Aku tahu…. Pemuda di depanmu itu telah berhasil mendapatkan pedang pusaka itu. Karenanya secara diam-diam aku mengikutinya. Dan tak diduga jika dia orang yang dekat denganmu. Aku gembira karenanya. Sengaja aku mengikutinya untuk mengetahui siapa dia adanya. Terus terang, mula-mula aku merasa cemas. Aku khawatir pedang pusaka itu jatuh ke tangan orang yang tidak kita inginkan….”
“Dia muridku!” sahut Pendeta Sinting.
Manusia Dewa arahkan pandangannya pada Pendekar Pedang Tumpul 131. Memperhatikan lekat-lekat sebelum akhirnya berkata. “Syukur jika demikian. Hatiku sekarang tenteram!”
“Kembali pada Kitab Serat Biru itu…,” ujar Pendeta Sinting seakan tak sabar. “Aku rasanya masih menyangsikan adanya!”
“Justru aku hampir yakin adanya!” tukas Manusia Dewa. “Dan entah siapa yang memulai, akhir-akhir ini beberapa tokoh rimba persilatan telah muncul dan berbisik-bisik mencari jalan mendapatkan kitab itu, malah sebagian telah berada di sekitar pulau!”
“Kau tahu banyak tentang kitab itu?!" tanya Pendeta Sinting.
Manusia Dewa gelengkan kepalanya. “Tentang kitabnya, aku buta sama sekali. Hanya yang kutahu sedikit tentang orang sakti itu. Menurut yang pernah kudengar dari orang terpercaya, orang sakti itu bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Tak jelas apa Ki Ageng telah mati atau belum. Yang pasti suatu keanehan melekat padanya!”
“Keanehan? Keanehan apa?!”
“Orang itu tubuhnya sebagian berada di atas dan sebagian di dalam tanah!”
Pendeta Sinting dan Joko Sableng tersentak kaget mendengar keterangan Manusia Dewa. Mereka berdua seakan tak percaya.
Rupanya Manusia Dewa menangkap perasaan orang, hingga tak lama kemudian dia mendehem beberapa kali sebelum berkata.
“Inilah rimba persilatan. Dunia yang tak henti-hentinya diselimuti beberapa keanehan yang rasanya tak masuk akal. Namun begitulah kenyataannya! Herannya, semakin aneh, semakin menyedot perhatian orang dan mengundang orang berlomba-lomba menguak misteri keanehan itu. Mereka tak sadar, bahwa semakin terkuak, semakin remang-remang yang tampak. Lebih-lebih mereka jadi lupa jika Sang Pencipta Alam lebih daripada segala misteri di alam ini!”
“Ucapanmu benar…,” desis Pendeta Sinting. “Lantas apa yang terbaik yang harus kita lakukan sekarang?!”
“Manusia punya tugas mendamaikan umat. Rimba persilatan tak akan damai jika masalah Pulau Biru tak cepat diselesaikan!”
Pendeta Sinting komat-kamitkan mulut. “Jelasnya, kau mengajakku memburu kitab itu. Begitu?!”
“Aku tidak mengajak. Manusia diberi kemampuan berbeda-beda. Hanya saja jika merasa mampu kenapa tidak digunakan?!”
Pendeta Sinting menyeringai lalu mengangguk-angguk. Berpaling pada Joko Sableng dan berkata. “Kau telah dengar semua penuturannya. Bagaimana pendapatmu?!”
Pendekar 131 tersenyum-senyum sambil membatin dalam hati. “Aku tahu. Dia akan melimpahkan tugas ini kepadaku….”
“Sontoloyo!Jangan cengengesan. Aku bersungguh-sungguh!” bentak Pendeta Sinting meski kejap kemudian dia ikut-ikutan tersenyum.
“Sebaiknya kita memang menyelidik Pulau Biru itu Guru…, rasa-rasanya ucapanmu tadi sebenarnya tidak menanyakan bagaimana pendapatku, namun menanyakan kesiapanku! Benar bukan?”
“Sontoloyo! Ternyata kau bisa menebak siratan ucapanku! Bagus kalau kau telah mengerti!” gumam Pendeta Sinting. “Kau bersedia bukan?!”
“Pedang Tumpul 131 ada di tanganku. Apa pun yang terjadi, aku siap melakukannya!” ujar Joko pula.
Manusia Dewa mendehem, membuat Pendeta Sinting dan muridnya berpaling.
“Anak Muda. Kuasai pikiran. Jangan mengandalkan benda ciptaan. Pedang di tanganmu memang hebat, tapi jika pedang itu lenyap apa lagi yang kau andalkan? ilmu…? ingat, Anak Muda. Di atas langit masih ada langit. Semakin dalam kita menggali lubang semakin gelap yang kita lihat!”
“Kau dengar ucapannya, Sontoloyo?! Kau jangan sombong, itu akan membawamu ke arah kegelapan!” desis Pendeta Sinting pada Joko, membuat Joko terpekur dan angguk-anggukkan kepala.
“Kurasa sudah lama kita bicara. Sekarang aku harus pergi. Jika guratan masih menggariskan, tentu kita akan jumpa lagi…,” habis berkata demikian, tiba-tiba Manusia Dewa keluarkan suara tawa bergelak, membuat Pendeta Sinting dan JO KO Sableng sama-sama tengadahkan kepala seraya kerahkan tenaga dalam menangkis suara tawa yang menusuk gendang telinga.
Karena suara tawa itu terus menggema tak henti-henti, Pendekar Pedang Tumpul 131 segera palingkan kepala ke arah di mana tadi Manusia Dewa berada, sepasang mata Joko jadi terbeliak dengan mulut menganga. Ternyata Manusia Dewa tidak ada lagi di tempat itu! Padahal suara tawanya masih terdengar!
“Dia sudah tidak ada lagi, bukan?!” gumam Pendeta Sinting tanpa berpaling pada Joko.
“Benar. Padahal suaranya masih terdengar hingga sekarang!”
“Itulah. Manusia satu itu kepandaiannya memang sulit diukur!”
Sang guru lantas arahkan pandangannya pada Joko. “Hem…. Kau memikirkan sesuatu?!”
“Aku kagum dengan ketinggian Ilmunya. Waktu terjadi bentrok tempo hari dia hanya mendorong kedua telapak tangannya untuk menangkis serangan ganas. Nyatanya lawan dapat dibuat roboh terluka dalam….”
“Aku tahu, kau menginginkan ilmu seperti itu bukan? Hem..,. Mudah saja asalkan kau sudah dapat membutakan sepasang mata dan mata hatimu! Mendengar ceritamu tadi, tampaknya memerlukan waktu sangat panjang bagimu untuk sampai ke sana….”
“Kenapa bisa begitu, Guru…?!”
“Selama hati masih kotor, selama mata masih tergiur melihat paha dan dada apalagi pinggul yang bergoyang-goyang, simpan dulu keinginanmu!”
Joko Sableng menyeringai sambil garuk-garuk leher. Dalam hati dia berbisik.
“Rasanya keinginan bukan saja hanya tersimpan, namun tak akan terjadi kenyataan. Mataku rasanya gatal jika melihat dada dan paha. Apalagi pinggul besar yang bergoyang-goyang. He…. He..He…!”
“Sontoloyo! Apa kau sekarang sudah siap?!" tiba-tiba Pendeta Sinting menyentakkan lamunan Joko.
“Kalau tak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku siap, Guru!”
“Hem…. Mendengar keterangan Manusia Dewa apa yang akan kau hadapi bukan urusan ringan! Selembar nyawamu jadi taruhannya. Muslihat licik dan tipu daya keji akan menghadangmu! Meski matamu tidak bisa dicegah dari melihat paha mulus, dada membusung serta lenggak-lenggoknya pinggul, tapi pikiran jernih dan kepala dingin jangan sampai tergadai!”
“Akan kuingat selalu ucapanmu, Guru…. Aku pamit sekarang….”
Habis berkata, joko menjura dalam. Lalu bangkit dan di kejap kemudian lenyap meninggalkan tempat Itu.
“Mudah-mudahan Sontoloyo itu kuat menghadapi tantangan! Hem…. Menurut Manusia Dewa sekarang telah banyak muncul tokoh rimba persilatan, membuatku ingin tahu. Memang tak ada salahnya aku melihat-lihat dunia luar yang telah lama kutinggalkan. Gila! Kenapa aku jadi ikut-ikutan bingung…? Apakah aku memang orang bingung? Bukan, bukan bingung, tapi sinting. Ha…. Ha…. Ha…,” Pendeta Sinting tertawa sendiri, lalu bangkit dan berkelebat tinggalkan tempat itu.