TZU HSI: Mengejar Badai di Kota Terlarang

· Pantera Publishing
1.0
1 review
Ebook
852
Pages
Ratings and reviews aren’t verified  Learn More

About this ebook

Sinopsis


“Nona adalah aura yang menyimpan kedahsyatan sebuah cinta dan ketangguhan seorang Kaisar!”


Itulah kalimat pertama yang ia dengar dari salah seorang kasim di Kota Terlarang. Kalimat yang membuatnya makin perkasa dan tegar dalam menapaki wajah kelam kehidupan malam dan sepi mendebarkan di sekitar Istana Merah.


Putaran usia ke tujuh belasnya, mengantar dirinya yang berwajah elok berlayar di atas dermaga tepian cinta Sang Kisar Putra Langit Hsien Feng. Ia memang hadir membawa tebaran pesona yang menawan pada setiap gerak langkahnya. Ia laksana kanvas memikat pada sebuah matahari senja di atas rangkaian ombak. Ia seperti pelangi berlatar halaman langit di sebuah pulau kosong yang hening. Ia ibarat peneduh yang berkesanggupan menjalani hidup di tengah hiruk pikuk pemerintahan ~ yang selalu hadir dengan materi perebutan, persekongkolan, lirikan iri dan rapatnya kecemburuan tersembunyi.


Baginya, sebuah cita-cita adalah perjalanan sarat pengorbanan. Maka ia pun menjejak ranah cita-citanya dengan meninggalkan sederet lagu cintanya pada pemuda yang dicintainya. Ia berlari menjauhi dunia masa lalunya, yang penuh debu kemelaratan, keterasingan wilayah, dan kehidupan normal sebagai perempuan biasa.


Keberanian, kecermelangan otak, kepiawaian kalkulasi, kecermatan menghitung dalam detail langkah dan, kesempatan takdir, adalah seperangkat tunas yang ia semai lalu ia rangkai menjadi bagian dari sejarah hidupnya. Tak lupa, ia pun berani mengambil tindakan sensasional dengan menggandeng para kasim bahkan menyelinapkan sang kekasih dalam bingkai pintu-pintu sepinya. Dan, bahasa langit adalah irama yang tak lelah menyenandungkan irama syahdu bagi iring-iringan cita-citanya.


Di depan Sang Kaisar, ia muncul sebagai jalan keluar. Disanalah, ia merajut kepingan-kepingan yang berserak dan liar di antara para selir juga sang Permaisuri. Di depan Sang Kaisar, yang diam penuh kemisteriusan, yang menggelegak sarat nafsu pengakuan ~ baik sebagai seorang Kaisar atau sebagai seorang laki-laki ~ ia menasbihkan diri sebagai perempuan terpilih.


Tatkala lingkungan semesta negerinya gelisah dengan hingar bingar hadirnya putra mahkota, Sang Pewaris Istana Merah. Tatkala pasukan negerinya mulai tersudut akibat pemberontakan dari perwira tangguh di arah selatan dan pasukan Inggris dan Perancis. Tatkala Ibu Permaisuri sudah mengumandangkan suara perkabungan bagi negerinya. Dan, tatkala Sang Kaisar telah menghadapi titik-titik kebekuan, ia meletakkan dirinya sebagai satu-satunya matahari.


Ia adalah Orchid.


Ia lahir dari darah Manchu.


Ia hadir sebagai karya tak terlupakan.


Ia muncul membawa angin baru.


Ia pertemuan antara kecantikan dan kecermelangan otak.


Ia adalah seorang perempuan.


Dan, ia adalah Tzu Hsi sang Ratu Istana Barat.


Prolog


Beredar di sekitar Kota Sang Kaisar ~ Kota Terlarang ~ laksana menempel pada dada rembulan. Teduh namun sarat panorama tak tertebak dan kalimat-kalimat dramatis. Pada permukaannya, menggenang pesta segenap kerinduan manusia. Pada halamannya, berlalu lintas seluruh hasrat kemerdekaan, hak azazi, harta, tahta, intrik, persekongkolan, pemberontakan terselubung, penindasan nurani dan, hegemoni sejarah kelam setiap makhluk. Dan pada kedalamannya, mengendap nyanyian cinta sekaligus praharanya. Kota Terlarang adalah sederet baris perjalanan sejarah. Ia menyimpan gravitasi besar pada medan buminya, sehingga seluruh perhatian tak henti menatap ke arahnya. Ia dilingkari seperangkat timbunan tak terjamah dan, jauh dari ruang-ruang berudara. Ia digenggam tangan-tangan kekar yang berkesanggupan meniupkan gelombang dahsyat dan, mampu mengantar manusia pada sebuah petualangan mendebarkan. Ia adalah sebuah pusat pemerintahan serta pusaran sebuah romantika yang menggelisahkan, kasat mata, dan terkadang tak terjawab ~ pada sejarah zamannya.


Menonton Kota Terlarang, seperti menyaksikan pagelaran wayang di sebuah malam di halaman luas penuh sesak penonton. Di atas pentas, Sang Dalang melantunkan bait-bait tembang. Kedua tangannya bergerak menggeliat, berlintangan, terkadang lembut namun tak jarang menghentak. Saat mana layar meredup, maka pagelaran telah usai dan, seluruh wayang adalah bagian yang masih menyisakan cerita. Para wayang ~ tanpa membedakan peran yang baru dilakukan ~ dikumpulkan pada sebuah tempat, kemudian menunggu jalan sejarah berikutnya.


Kota Terlarang lahir sebagai pusat pemerintah kerajaan. Ia berdiri berlapis empat tembok tebal dan tinggi berwarna merah. Ia melambangkan tahtanya sebagai Tahta Naga dan menggelari sang pemimpinnya sebagai Putra Langit. Ia tumbuh dan besar dibawah asuhan beberapa Kaisar.


Bersama silsilahnya dari daratan utara yang berdarah Manchu, bersama ikatan matahari yang berputar dalam kurun ratusan tahun, bersama seluruh sikap-sikap kehidupan yang melekat pada setiap darah para Kaisar dan, bersama kisah-kisah asmara yang tak terlihat, Kota Terlarang muncul sebagai ikon besar. Ia mengeluarkan energi memikat yang sanggup menarik molekul-molekul pada semesta di sekitarnya. Sehingga Kota Terlarang hadir sebagai karya semesta yang penuh gaya ilustrasi, sarat ornamen liar dan, padat fragmen-fragmen menakjubkan. Ia sebuah peradaban yang hadir dengan segala kemegahan, keanggunan sekaligus kerapuhannya. Seperti kemunculan dan kebesaran dinasti-dinasti yang lain, Kota Terlarang pernah mengalami sejarah kemegahan dan kemasyhuran di bawah bendera keturunan Manchu. Pasukannya serupa karnaval mega-mega hitam yang tak henti mengejar matahari. Mereka kibarkan panji-panji kebesaran kerajaan dengan segenap komponen yang melekat pada individu para prajurit.


Kebudayaan, seni, dan peradaban melaju laksana derap langkah-langkah kaki kuda menggiring debu. Karya-karya agung para cendekiawan, para pengrajin, dan para pekerja seni, melambung bersama angin, melintasi negeri-negeri jauh. Estetika ketimuran, corak keseimbangan antara individu dengan lingkungan, dan keakraban bersama lingkar sekitar adalah pahatan yang tertanam demikian dalam dan tak tergoyahkan. Namun ~ seperti halnya sebuah pemerintahan pada wajah dinasti-dinasti lain ~ di bawah kursi Tahta Naga sang Putra Langit Hsien Feng, kerajaan mengalami masa-masa redup dan lembab. Sosoknya yang kurang cerdas, lamban dalam mengambil keputusan, labilnya kesehatan karena sejak usia belasan tahun telah terpuruk dalam lembah perilaku-perilaku yang belum sepantasnya dilakukan dan, belum adanya tanda-tanda munculnya sang putra mahkota dari sang Permaisuri atau para selir-selirnya, membuat kursi Tahta Naga-nya mulai dilirik para Pangeran dari silsilah Manchu di seantero negeri.


Pemberontakan dari selatan pun, mulai mendekati Kota Terlarang. Bertepatan dengan tahun ke 208 dari perhitungan Manchu, hadir sebuah wajah indah. Ia mosaik anggun yang memiliki mata berlian dan otak cemerlang. Ia melangkah tegar memasuki Istana Merah membawa seperangkat imajinasi, keinginan, hasrat, tubuh dan sebuah cinta. Ia muncul di hadapan sang Putra Langit memberikan matahari, bulan, dan, putra mahkota. Orchid sang legenda adalah perempuan yang teranugerahi. Wajahnya adalah nyanyian kerinduan sang Kaisar Putra Langit. Sikap-sikapnya ialah angin sejuk Ibu Permaisuri. Bersama guratan takdirnya, ia adalah perempuan ambisius namun penuh langkah-langkah terhitung. Ia adalah perempuan yang tegak menelanjangi halaman langit dengan cita-citanya. Ia beredar di sekitar Kota Terlarang lalu mengepakkan sayap-sayap kekuatannya. Ia sebuah potret dari tulisan tinta emas. Dan, ia adalah sejarah. Demi sebuah cita-cita, ia rela berkarib dengan sepi pada dinding-dinding balairung penantian. Ia rela merebahkan kobaran cintanya dengan kehidupan di balik pintu-pintu tertutup, yang berselimut tirai panjang di atas peraduan yang dingin namun terkadang penuh jilatan api. Ia rela menidurkan segenap tarian eksotis di kepalanya dengan tangan-tangan para kasim, yang sarat keinginan individu dan muatan cemburu. Dan, demi sebuah cita-cita, ia berani tegak memandang wajah Sang Kaisar ~ di Balairung Pemilihan ~ saat digelar seremoni pemilihan Para Selir. Tzu Hsi adalah titik awal berangkatnya sebuah kelahiran bagi Sang Pewaris.


ZHAENAL FANANI

Ratings and reviews

1.0
1 review

About the author

Zhaenal Fanani lahir 07 Maret Di Dampit, Malang, Jawa Timur. Pendidikan SD Negeri Dampit 1, MTSN Malang, MA Malang dan Unisma. Beberapa Tahun Nyantri Di Pondok Pesantren Raudalatul Muta’Allimien Dan Pondok Pesantren Salafiyah Shirotul Fuqoha’, Malang.


Kurun 1993 – 1997 Menulis Serial Silat: Pendekar Mata Keranjang 12 Episode ( Cinta Media, Jakarta ), Joko Sableng 53 Episode ( Cinta Media, Jakarta ), Pendekar Seribu Bayangan 18 Episode ( Karya Anda, Surabaya ).


Novel Yang Telah Diterbitkan : Madame Kalinyamat ( Diva Press, 2009 ) Tsu Zhi ( Diva Prss, 2009 ) Kantata Ababil ( Diva Press, 2010 ) Troy ( Diva Press, 2010 ) The Cronicle Of Jengiskhan ( Diva Press, 2010 ) Aeromatical ( Diva Press, 2010 ) Sujudilah Cintamu ( Diva Press, 2011 ) Gerbang Dunia Ketiga ( Diva Press, 2011 ) Tabut ; Ark Of Covenant ( Diva Press, 2011 ) Anak-Anak Langit ( Diva Press, 2011 ) Shema ; Whirling Dervish Dance ( Diva Press, 2011 ) Senja Di Alexandria ( Diva Press, 2011 ), Menorah ( Diva Press, 2011 ), Karbala ( Diva Press, 2012 ).

Rate this ebook

Tell us what you think.

Reading information

Smartphones and tablets
Install the Google Play Books app for Android and iPad/iPhone. It syncs automatically with your account and allows you to read online or offline wherever you are.
Laptops and computers
You can listen to audiobooks purchased on Google Play using your computer's web browser.
eReaders and other devices
To read on e-ink devices like Kobo eReaders, you'll need to download a file and transfer it to your device. Follow the detailed Help Center instructions to transfer the files to supported eReaders.