"Buku ini istimewa. Isinya kisah relasi anak-orangtua sejumlah pemikir dan aktivis publik yang sudah akrab kita kenali kiprahnya tetapi jarang kita dengar kisah pribadinya, seperti: Syafii Maarif, Ayu Utami, Benedict Anderson, Asvi Warman Adam, Franz Magnis-Suseno, Hersri Setiawan, B. Herry-Priyono, Ery Seda, M. Imam Aziz, Kamala Chandrakirana, Hilmar Farid, Degung Santikarma, Stanley Adi Prasetyo, F. Budi Hardiman, Djoko Pekik, P.M. Laksono, dan banyak lagi. Hasilnya adalah rangkaian ungkapan hati yang sangat personal, multi-perspektif, manusiawi sekaligus inspiratif. Melalui buku ini, kita diundang menimba inspirasi untuk melacak jejak-jejak berkah kehidupan yang kita sendiri telah terima. Seperti melakukan suatu ziarah, kita diajak untuk hadir kembali dalam sejumlah peristiwa bersejarah dan merefleksikannya secara personal: + Seorang ibu pemberani yang waktu mudanya ikut berjuang di antara desing peluru Perang Kemerdekaan Indonesia hingga sepasang orangtua yang harus membesarkan anak-anaknya di tengah gemuruh Perang Dunia Kedua di Eropa. + Perjumpaan tradisi NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah dalam sebuah keluarga hingga sebuah rumahtangga di Austria yang nyaris terbelah oleh sikap pro dan anti-Nazi Jerman. + Seorang anak di Bali yang terpaksa kehilangan ayah karena Tragedi '65 hingga seorang suami dari Pennsylvania, AS, yang bagaikan kuda laut dengan sengaja menggantikan peran istri dalam mengasuh bayinya. *** Bapak mengajariku untuk merasakan penderitaan tapi sekaligus juga mensyukuri kehidupan. --Ita F. Nadia Satu kali pun tidak pernah saya mendengar Ibu atau Ayah menyesalkan atau mengeluhkan bahwa seluruh milik mereka di Silesia--dan di Ceko tempat Kakek--hilang begitu saja. Kami termasuk 14 juta orang Jerman yang, sebagai balasan atas Perang Dunia II yang dilancarkan Jerman, diusir dari Eropa Timur. --Franz Magnis-Suseno, SJ"