Kenapa Siwabuddha?
Bukankah istilah Budi itu lebih mendekati pada paham Buddha?
Ajaran Dharma, maupun praktik Budipekerti sudah pasti tentunya ada di semua agama. Kemudian, di setiap terjadinya peradaban bangsa manusia dimanapun, ini telah membentuk berbagai kesadarannya, berperilaku dari beragam ajaran dan sejarah agamanya yang meski tidak akan selalu sama. Pengaruh ini yang telah secara generasi atau terjadi turun-tumurun, maupun secara politik kerajaannya, berabad-abad mulai berakulturasi, lebur ke dalam tradisi pribumi Nusantara dulunya.
Sebenarnya telah ada di berbagai ungkapan naskah-naskah Jawa kuna dulu, adalah prinsip yang sama dengan ungkapan dalam tradisi Brahmana Siwa dan Brahmana Buddha di Bali, agar tidak saja memahami Siwa, tapi juga memahami Buddha, pun sebaliknya, tidak saja memahami Buddha, tapi juga memahami Siwa.
Nah, kalau leluhur Nusantara dulu sudah menyarankan nasehat filosofis kebajikannya seperti tadi, lantas darimana Kita memahaminya?
Dimana letak jejak historis berpikirnya?
Nah, jejak historis pemikiran Kawruh Budipekerti, ada kaitannya dengan era Siwabuddha. Meskipun ini belum banyak yang percaya, karena hanya dikenali dengan sebutan ajaran Budi-nya saja. Melalui buku ini, justru kawruh Budipekerti dapat ditelusuri memiliki latar-belakang jejak historisnya, yang menjelaskan struktur tatwa-nya Budipekerti tersebut. Petunjuk kunci memahaminya, tentunya bukanlah dari adanya menggabung-gabungkan agama Hindu dan Buddha yang memang telah berbeda.
Jika ajaran Budi dikaitkan dengan agama Buddha saja, jelas hanya anggapan yang mengklaim kemiripan istilah Budi-nya. Bila dikaitkan kemiripannya dengan Bodhicitta, memang ada kemiripannya. Budipekerti juga mengarahkan upaya pencerahan pikiran atau kesadaran dengan perilakunya. Namun, sebagaimana ajaran Buddha yang menampik filosofi apapun yang mengarah pada konsep ketuhanan, apalagi teori penciptaan-Nya. Jadi dari asal dan makna Budipekerti, bukan sebuah metode pengajaran dari Kabuddhan.
Budipekerti itu sendiri, memang berkaitan dengan sejarah era-nya Siwabuddha, pahamnya memiliki maksud dari makna dan tujuan filosofi “Kamanunggalan Kesadaran” atau Śiwabuddha-Jñāna, yang didasarkan pendekatan etimologi dari koherensi Sansekerta; “Buddhi dan Prakŗti”, yang kemudian disebut Budipekerti. Pengertian yang dibedakan dari Prakŗti dengan Pekerti, akan dijelaskan bagian bab selanjutnya. Dimana fokus perhatian orientasi terapannya dari ajarannya pada pemahaman pengetahuan “Kamanunggalan Kesadaran”, atau hakikat kesadaran individu Kita yang mencerminkan non-dualistis.
Buddhi menjadi aspek kesadaran pada paham Siwa dalam Purusha-Jñāna dan Prakŗti menjadi aspek kesadaran pada paham Buddha dalam Pradhana-Jñāna. Seperti penyatuan Ardhanārīśwara-Ardhanārīśwari dalam Tattwa-nya pada aspek kesadaran Purusha-Pradhana, inilah yang diajarkan dalam paham Siwasidanta-pakṣa tradisi Nusantara.
Begitupun tradisi Kabajradhāran (Buddha Bajradhāra), juga sangat jelas berprinsip pada penyatuan kesadaran Ardhanārīśwara-Ardhanārīśwari yang dijelaskan melalui naskah Sanghyang Kamahayanikan tentang filosofi Adwaya-Adwayajñāna di Nusantara. Dalam pemahaman lokal, istilah Dewahyang, adalah dualitas Puruṣa-Pradhāna, aspek kepercayaannya pada Bapa Akasa-Ibu Pertiwi melalui terapan kosmologi Gunung dan Laut.
Darimana asal usul istilah Budipekerti?
Dari segi etimologi kata, istilah Budi Pekerti adalah gabungan dari dua kata sansekerta yaitu Buddhi dan Prakŗti. Arti kata Buddhi sendiri adalah sadar, nalar, pikiran atau watak. Sedangkan arti kata pekerti adalah perilaku, perbuatan, perangai, tabiat, watak. Yang jika disimpulkan bahwa Buddhi dan Prakŗti merupakan sesuatu yang berkaitan sangat erat mengenai karakter manusia baik dalam sifat maupun perbuatan, yang dilakukan dengan kesadaran. Ini dapat ditelusuri melalui cara pendekatan etimologi dari koherensi Buddhi dan Prakŗti. Pengetahuan atau Kawruh Budipekerti, dianggap merupakan pendahuluan dari memasuki alam atau Kahyang Kasiwabuddhan.
Aliran ini, memiliki epistemology penuh, sedangkan logika hanya pada satu bagian yang tunggal. Ini dimaksudkan sebagai dasar yang melengkapi satu cara pencarian filosofis yang benar, ke dalam suatu objek dan subjek pengetahuan Kita. Hubungan secara teologis dari Buddhi dan Prakŗti, bisa dimaknai dimana orientasinya bertujuan penyatuan dua aspek dualitas dalam diri Kita dari Buddhi dan Prakŗti itu sendiri. Budipekerti-Tattwa atau prinsip ajaran Budi, mengajarkan pada Kita, membentuk berkesadaran pada prinsipnya kesadaran pikiran yang tunggal.
Manusia, adalah aspek energi dari Bumi-Langit. Tanpa ruh materialistik (Bumi), manusia tidak memiliki ekspresi, dan tanpa ruh non-materialistik. Tanpa salah satu dari keduanya, manusia tidak memiliki eksistensi berarti.
Buddhi pada manusia adalah maha kuasa, impersonal, namun dikategorikan sebagai kesadaran yang tidak kreatif. Pada dasarnya berkaitan dengan kesadaran murni Purusa, yang adalah aspek Nirguna Brahman, Ruh yang Transendental. Di sisi lain, Prakŗti, sebagai kekuatan atau aspek aktif dari Saguna Brahman, Ruh yang imanen. Prakŗti adalah perwujudan dari kekuasaan dan feminitas, ketidak-kekalan pada Buddhi. Buddhi menjadi generator dari Prakŗti, bukan pencipta-nya. Buddhi adalah kemurnian transenden dan Prakerti adalah figur yang membuatnya seperti itu. Secara simboliknya, maknanya akan mengajarkan kesadaran pada realitas Laki (Purusa) dan Wanita (Pradhāna). Adanya realitas dua yang berbeda, namun dapatlah Kita sadari berasal dari adanya realitas Sang Hyang Tunggal.
Dalam hal ini adalah membantu perjalanan spiritual Kita untuk mencapai kesempurnaan kesadaran spiritual di alam kesadaran yang lebih mendalam. Dari sinilah akan terbuka segala rahasia diri yang membatasi kesadaran Kita, menjadikan adanya keyakinan yang semakin menguat adanya hubungan Kita dan Jiwa-Nya yang tunggal.
Perlakuan fokus meditasi pada Ibu pertiwi setara dengan pemujaan Bapa Akasa, dan pemujaan pada Bapa Akasa adalah meditasi pada Ibu Pertiwi. Di kepercayaan Nusantara, Langit adalah simbol pemberi Kehidupan dan Bumi adalah simbol Kebahagiaan. Substansi ajarannya berakar dari nenek moyang Nusantara, didasarkan prinsip adanya realitas Hyang pada Jagat Semesta-Nya. Dimana ajarannya memiliki prinsip dasar pada adanya hukum kebenaran Dualitas (Rwabhineda), yang kemudian diajarkan tunggal seperti pandangan filsafat Adwaita pada Siwasidanta-pakṣa dan filsafat Adwaya pada Kabajradhāran.
Jro indra, lahir di Puncak, Bogor, 24 Februari 1970. Dibesarkan di Jakarta, hingga kemudian mengikuti kuliah pariwisata dan perhotelan di Bandung dan Bali. Lalu pernah bekerja di hotel dan restaurant di Jakarta, Bandung, Ambon, Bali, hingga menetap di Bali, sampai sekarang.
Sejak usia muda menekuni spiritual laku kawruh, hingga mendalami ajaran Dharma.
Isanabajra, berkedudukan di bali, adalah penerbit self-publishing