Kami hidup seatap. Namun, sikap mas Rio dan Marta hanya menganggapku setan, menjadi yang ketiga.
Aku diperlakukan tak selayak istri, pun tak sebagai pembantu. Intinya, aku hanya dianggap pajangan. Pajangan yang hanya mengambil tempat namun tak berarti sama sekali.
Entah apa yang merasuki mas Rio, hingga suatu malam dia mendatangi kamarku dan mengambil paksa kehormatan yang selama ini kujunjung tinggi.
Di pagi hari, barulah aku tahu jawabannya. Saat istri terkasihnya Marta berteriak histeris akibat cemburu.
Setelah mengetahui, kehormatan itu adalah ganti mahar agar tak sia-sia, jantungku seakan berhenti berdetak.. Harga diriku sebagai istri dan wanita, sungguh telah terinjak-terinjak menjadi kepingan-kepingan.
Aku melajukan motor di pagi buta untuk menceritakan kebobrokan rumah tangga ke pada orang tuaku dan orang tua mas Rio.
Namun sayang, jauh panggang dari api. Pernikahan itu memang direncakanan karena ketiadaan cinta.
Kemanakah diri hendak mengadu? Jika memang aku hanya dijadikan tumbal?
Baiklah, aku akan pergi. Mencari obat pada luka di hati, mencari penawar pada lara di sukmaku.
Kukirim tulisan pesan pamit ke nomor mas Rio sebelum menghilangkan, semua jejak tentang di mana keberadaanku.
Selamat tinggal tanah kelahiran.
Penulis di Samudera Book