"Nggak! Kita mudik tempat ibuku!" tolak Bang Arman.
"Lho, kita tiap tahun selalu mudik tempat ibumu. Masa sekali pun kita nggak pernah mudik ke rumah ibuku."
"Turuti saja perintah suami. Jangan bantah!" Bang Arman membanting sendok ke atas piringnya.
"Lho, Bang, kamu mau ke mana? Makan malamnya kok nggak dihabiskan sih?"
"Mending aku pergi. Bikin selera makan hilang saja kamu!"
Aku hanya bisa menatap diam punggung Bang Arman yang menghilang di balik pintu, yang juga ditutup dengan dibanting.
Sambil menghela napas, kuelus dada yang terasa perih. Seakan ada duri tajam yang menghujam di sana.
Selama lima tahun menikah, tak sekali pun Bang Arman bersedia diajak mudik ke kampung Bapak dan Ibu. Sekali dua kali, aku masih bisa paham. Tapi, ini sudah menginjak tahun keenam, Bang Arman tetap saja menolak.
**
Seperti biasa, seminggu sebelum lebaran, Bang Arman sudah libur bekerja. Kemudian sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk mudik. Dan lagi-lagi, mudik ke rumah ibunya.
Berkali-kali Bapak menelepon, memohon agar Bang Arman mau membawaku dan Indah--putri semata wayang kami pulang. Tetap saja Bang Arman bergeming dan tidak mengindahkan permintaan Bapak.
Setiba di kampung mertua, aku hanya diam seribu bahasa. Sementara Bang Arman larut dalam keseruan bersama kakak dan adiknya juga keluarga besar lainnya.
"Nia, kamu kenapa? Dari tadi diam saja," tegur Kak Ima.
"Halah, paling merajuk, karena Arman tak mau membawanya pulang ke kampung bapaknya." Ibu yang menyahut.
"Oalah, jadi cuma gara-gara itu toh? Seperti anak-anak kamu itu, Nia."
Hatiku semakin perih mendengar celotehan mereka, yang seakan aku ini adalah lelucon. Keterlaluan.
"Nia, dari pada diam di situ saja, mendingan kamu ke dapur, siapin makanan!" perintah Ibu.
"Iya nih. Aku sudah lapar banget. Biasanya kamu selalu sigap menyiapkan makanan, Kak Nia," sambung Ella--adik iparku.
"Siapkan saja sendiri! Kenapa harus aku?"
Seketika mereka terpaku. Ini kali pertama aku membantah perintah Ibu.
"Apa? Kamu berani membantah Ibu, Nia?"
"Kenapa nggak, Kak? Selama ini cukup aku mengalah. Kalian perintah apa saja, selalu aku turuti. Tapi, tidak untuk kali ini."