Dalam perjalanannya itu ia menemukan seorang gadis desa yang memancarkan cahaya dari keningnya. Ia segera tahu bahwa gadis desa Matah itu, Siti Rubiyah, adalah kunci penting baginya menjadi raja. Wahyu keprabon, restu ilahi. Namun, terbelit di antara nafsu dan kepentingan politik praktis, RM Said kemudian membuat Siti Rubiyah terpuntir dalam perjuangannya sendiri demi mempertahankan cinta RM Said.
Selama enam belas tahun RM Said bertempur melawan Kompeni, Pakubuwono dan Mangkubumi (Hamengkubuwono). Serangannya membawa maut bagi lawannya sampai-sampai ia dijuluki Pangeran Sambernyawa hingga akhirnya Kompeni terpaksa mengajukan perdamaian dan memberi RM Said sebagian tanah kekuasaan Pakubuwono untuk mendirikan kerajaan Mangkunegara.
Atas peran RM Said dalam melawan penjajah, pada tahun 1983, Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional.
Novel ini dibangun berlandaskan berbagai bahan referensi, termasuk Babad Mangkoenagaran yang merupakan translasi Babad Lelampahan yang ditulis oleh RM Said sendiri.