-> -> bit.ly/andini-citras <- <-
*
Keunggulan Ebook ini:
- Halaman Asli, tersedia header dengan judul bab
- Baca dengan keras, Menjadi audio book dengan dibacakan mesin berbahasa Indonesia
- Teks Mengalir, menyesuaikan ukuran layar
- Ukuran font dan jarak antar baris kalimat bisa diperbesar atau perkecil sesuai selera
- Bisa ganti jenis font
- Warna kertas/background bisa diubah menjadi Putih, Krem, dan Hitam
----------
Contents
Gairah Bu Siska, Guru Bahasa Inggrisku—1
Gairah Tante Etty, Sahabat ibuku - 1—21
Gairah Tante Etty, Sahabat ibuku - 2—41
Aku dijadikan Pelarian Mbak Wita—61
Nia, Istri Heru yang Menggairahkan—87
Aku dijadikan Pelarian Mbak Wita
Hidup memang penuh kejutan. Paling tidak aku sudah membuktikan itu. Perkenalkan, namaku Ronny, usia 28 tahun, tingi 170 berat 68 kg. Saat ini pekerjaan saya adalah wartawan muda di sebuah majalah ternama Ibukota. Lazimnya wartawan, sudah pasti aku memiliki banyak relasi. Tidak sedikit dari mereka adalah bos-bos di perusahaan ternama. Sebagai wartawan sudah pasti aku dituntut untuk bisa menaklukkan berbagai karakter dan persona setiap narasumberku.
Maklum, dengan kedekatan itu aku bisa mendapatkan berita ekslusif yang memang menjadi spesialisasiku. Nah, diantara banyak sumberku tadi tersebutlah nama Wita, seorang country manager sebuah Bank asing di Jakarta. Sebagai gambaran dari narasumberku ini. Usianya sekitar 36 tahun, dikaruniai 2 orang putra. Tingginya sekitar 165 cm dengan berat 57. Bodinya lumayan bagus, maklum rutin fitness dengan payudara kuperkirakan 34B.
Oh ya, perkenalanku dengan Mbak Wita, begitu aku menyebutnya, sudah berlangsung 4 tahun lebih. Awalnya, sudah pasti secara kebetulan. Ketika itu, Bank tempat Mbak Wita bekerja menggelar jumpa pers. Pada saat yang sama aku ditugasin oleh pimpinanku untuk meliput acara itu. Kloplah! singkat kata sejak pertemua itu yang diakhiri dengan tukar menukar kartu nama, aku berkenalan dengan Mbak Wita.
“Ron Met ketemu lagi ya, tolong beritanya yang bagus,” begitu Mbak Wita mengakhiri langkahku meninggalkan Hotel Indonesia.
Pertemuan kami di HI itu ternyata bukan yang pertama dan terakhir. Setelah perkenalan itu setiap kali Mbak Wita punya acara
Sudah pasti aku diundangnya.
“Ron besok datang ya, kami mau launch produk baru,” begitu pesan yang sering aku terima lewat WA dari Mbak Wita.
Tidak heran, saking dekatnya, kami sering bertukar pendapat. Tidak hanya masalah perkerjaan yang kami diskusikan, dalam beberapa hal aku juga berani untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Misalnya menyangkut hubungannya dengan sang suami, Mas Johan hingga cara dia mengelola rumah tangganya. Sebagai bujangan pengalaman itu sudah pasti penting bagiku jika menikah kelak.
Dari rasa saling percaya itu tidak terasa kedekatan diantara aku dan Mbak Wita sepertinya sudah tidak berjarak. Bahkan tidak jarang, karena aku membutuhkan informasinya, jam 12 malam pun aku menelpon dia jika aku kesulitan memahami sebuah kasus perbankan. Dan untungnya, Mbak Wita dan Mas Johan mengerti kondisi itu.
Oh, ya aku sendiri juga sudah mengenal Mas Johan sebagai salah satu direktur di perusahaan Sekuritas. Beliapun juga tahu dan tidak keberatan Mbak Wita selalu aku jadikan narasumber.
“Terima kasih Ron atas kepercayaan kamu pada Wita. Sekarang dia jadi terkenal lo,” ujarnya suatu kali ketika kami ber-6 makan malam bersama.
Sampai suatu kali, dimana hampir sebulan, kami tidak sempat kontak, Mbak Wita menggelar jumpa pers. Sudah pasti akupun datang ke acaranya.
“Hey apa kabar Ron. Kemana aja, kok lama nggak kontak. Nggak butuh berita nih,” ujarnya Kenes.
“Nggak lah Mbak, masak wartawan kagak butuh berita. Biasalah susah ngatur waktu. Abis banyak kerjaan sih,” aku menimpali.
Seperti biasa setelah acara selesai, akupun beranjak untuk pergi. Namun sebelum pergi, tanpa kuduga Mbak Wita menepuk pundakku.
“Mau pergi Ron? Sudah cukup nih informasinya?” Mbak wita menyapaku.
“Iya nih, mau ke tempat lain Mbak, masih ada sumber yang ingin kukejar,” aku menjelaskan.
“Oke kalau begitu. Met jalan dan jangan lupa kontak-kontak ya,” katanya lagi.
“Oke Mbak,” ujarku semabri ngeloyor pergi.
Pertemuan kami memang tak terhitung. Kadang aku yang mengundang dia untuk sebatas minum kopi dan mengorek informasi darinya. Namun tidak jarang, dia memintaku untuk menemaninya makan siang. Sampai akhirnya tiba-tiba dia menleponku.
“Bisa ke Restoran biasa Ron. Aku pusing nih, lagi ada masalah,” telpon Mbak Wita membuyarkan konsetrasiku yang sedang menyelesaikan tulisan.
“Emangnya ada apaan Mbak? kataku.
“Sudah deh, jam 12 aku tunggu,” katanya langsung menutup telepon.
Tak lama berselang, sekitar jam 12.30 aku bertemu Mbak Wita di tempat biasa.
“Ada apa sih Mbak, emangnya berat baget tuh masalah. Nggak biasanya deh Mbak Wita seperti ini,” kataku membuka pembicaraan.
“Begitulah Ron, aku lagi suntuk dengan Mas Johan. Dia punya simpanan,” ujarnya lirih.
“Ups, aku kaget juga dengan perkataan Mbak Wita.
“Masak sih Mbak, mungkin Mbak Wita salah dengar. Sudah di kroscek belum?” kataku lagi.
“Sudah. Aku lihat dengan mataku sendiri Mas Johan bawa cewek ke hotel (X) di Senayan itu. Mereka berdua menginap di kamar 202 kemarin,” katanya.
“Lo, emangnya dia kemana, kok pake nginap segala,” sergahku.
“Katanya sih dia mau ke Singapura. Tapi tak disangka aku bertemu dengannya di hotel itu. Kebetulan aku lagi ada acara.”
“ Aku turut prihatin. Mbak yang sabar ya.,” kataku.
Tak terasa bulir-bulir air tampak jatuh dari mata indah Mbak Wita. Secara reflek aku beranikan diri menyeka airmata itu dengan sapu tanganku. Aku usap matanya sambil kubelai rambutnya. Kebetulan saat itu tempat duduk kami memang saling berdekatan. Herannya reaksi Mbak Wita diam saja. Seolah dia menikmati belaianku.
“Sudah deh Mbak nggak usah bingung. Mungkin ada sesuatu yang salah dalam keluarga Mbak,” kataku sedikit lancang.
“Selama ini baik saja Ron. Mas Johan kalau pulang juga tepat waktu. Hubungan kami tidak ada masalah,” Mbak Wita masih tidak percaya dengan ulah suaminya.
Tak terasa obrolan kami sudah berlangsung hampir 2 jam.
“Kalau begitu, mungkin lebih baik Mbak Wita pulang aja, siapa tahu dengan berkumpul sama anak-anak pikiran jadi tenang. Ayo aku antar,” kataku berusaha menenangkan Mbak Wita.
“Baiklah Ron, doakan Mbak Kuat ya,” ujarnya menimpali.
Setelah membayar tagihan kami pun melangkah meninggalkan restoran itu. Aku berjalan disamping Mbak Wita menuju tempat parkir. Tak sepatah katapun yang meluncur dari mulut kami saat itu. Raut kesedihan benar-benar tampak dari muka narasumberku ini. Sampai akhirnya di dalam mobil Mbak Wita menyela.
“Habis ini kamu mau kemana Ron,” tanyanya.
“Wah kebetulan aku DL-deadline-nih. Jadi aku harus balik kantor lagi,” kataku.
“Masak tiap hari kerjanya cuma DL. Wartawan nggak ada istirahatnya apa?”
“Ya begitulah Mbak, sudah resiko kerja. Tapi aku menikmatinya kok. Soal Libur, mungkin sabtu minggu,” kataku menimpali.
Tak berapa lama, mobil yang kami tumpangi sampai di dekat kompleks Perumahan Mbak Wita. Sebelum masuk kompleks elit itu, mobil mercy keluaran terbaru itu berhenti.
“Aku turun sini aja Mbak. Nggak enak ntar dilihat orang,” kataku.
“Kamu nggak mampir dulu, Mas Johan nggak ada kok,” katanya.
“Nggak lah Mbak, justru karena Mas Johan nggak itu masalahnya. Ntar Mbak dikira perempuan apaan,” kataku.
“Oke Kalau begitu. Ntar Sabtu kita ketemu ya.”
“Baik Mbak, aku janji deh. Tapi pesanku Mbak jangan berpikir macam-macam. Biarlah kejadian ini jadi pelajaran kita semua. Manusia pasti bisa berbuat salah. Moga saja Mas Johan segera sadar,” panjang aku memberi nasehat.”
“Oke sayang, cupp uaahh,” tiba-tiba Mbak Wita mencium bibirku.
Sontak aku kaget bukan kepalang. Beberapa detik aku bengong karenanya.
“Hey, kenapa kaget ya. Maaf Ron kalau kamu nggak suka,” ia melanjutkan.
“Nggaak Mbak, Nggak pa pa. sudah ya, aku pergi dulu, salam buat anak-anak,”
Akhirnya aku berlalu keluar mobil meninggalkan Mbak Wita. Didalam taksi yang membawaku ke kantor, dibilangan Thamrin, kebingunganku pada ciuman Mbak Wita tetap belum hilang. Tapi ya sudahlah Bodo amat. Toh kerjaanku masih menumpuk, aku mengakhiri lamunanku.
Tak terasa, hari Sabtu pun tiba. Seperti biasa, setiap Sabtu bangunku pasti molor. Maklum, habis begadang semalaman Di di kantor. Namun, rasa kantuk yang masih amat sangat itu akhirnya terganggu. HP-ku berdering nyaring. Beberapa kali memang aku biarkan saja. Tapi karena penasaran, aku bankit ke meja kerjaku meraih Nokia kesayanganku itu.
“Hai met pagi Ron, lagi ngapain,” suaranya yang khas langsung membawa otakku menuju wajah Mbak Wita.
“Bbbaik Mbak,” aku sedikit gugup.
“Lo ada apa nih, tumben wartawan gugup, baru bangun ya,” katanya.
“Iya nih Mbak, semalaman lagi banyak kerjaan. Tapi sekarang sudah kelar kok,” aku menimpali.
“Asyik deh, kita bisa jalan dong,” katanya.
“Kemana?”
“Ada deh, cepat sono mandi, ntar aku jemput kamu ya jam 10, oke!” ucapnya sembari menutup Hp-nya.
Sontak aku jadi bingung. Kejutan apa lagi nih yang bakal terjadi? Jangan-jangan aku dijadikan pelarian sama Mbak Wita? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku. Tok.. Tok.. Tok! Ronny.. Ronn, suara Mbak Wita memanggilku.
“Oh Mbak, silakan masuk Mbak. Sorry tadi aku tutup baru selesai mandi nih,” kataku sambil membuka pintu.
Ketika menemui Mbak wita aku masih pakai kaus dalam dan handuk.
“Bentar ya Mbak, aku ganti baju dulu. Mbak tungu aja di depan, tapi maaf lo rumahnya kotor, maklum bujangan,” kataku tentang rumahku yang memang tampak berantakan.
“Nggak apa-apa Ron yang penting nyaman,” celetuknya
Aku langsung masuk ke kamar dan membuka belitan handukku. Tapi belum sempat memakai celana dalam, tiba-tiba Mbak Wita langsung masuk ke kamarku.
“Maaf Ron, aku pikir sudah selesai,” katanya sambil melirik selangkanganku....