-> -> bit.ly/andini-citras <- <-
*
Keunggulan Ebook ini:
- Halaman Asli, tersedia header dengan judul bab
- Baca dengan keras, Menjadi audio book dengan dibacakan mesin berbahasa Indonesia
- Teks Mengalir, menyesuaikan ukuran layar
- Ukuran font dan jarak antar baris kalimat bisa diperbesar atau perkecil sesuai selera
- Bisa ganti jenis font
- Warna kertas/background bisa diubah menjadi Putih, Krem, dan Hitam
----------
Contents
Ambisi Wijaya - 01—1
Ambisi Wijaya - 02—21
Ambisi Wijaya - 03—43
Ambisi Wijaya - 04—67
Ambisi Wijaya - 05—89
Ambisi Wijaya - 06—111
Ambisi Wijaya - 07—133
Ambisi Wijaya - 08—155
Ambisi Wijaya - 09—175
Ambisi Wijaya - 10—199
Ambisi Wijaya - Special—221
01
Cerita ini bermula dari permulaan abad ke 13, dimana kerajaan Kediri berdiri megah dan perkasa.
Pada suatu malam, dimana para nelayan sedang berlabuh untuk mencari ikan di laut Jawa. Malam gelap gulita, dan tepat pada saat itu terjadi gerhana bulan.
“Wah, bulan menghilang,” kata seorang nelayan sambil mendayung perahunya.
“Sepertinya akan terjadi hal yang buruk, menimpa negeri Jawa,” kata nelayan yang lain.
“Ah.. Itu hanyalah takhyul, jangan percaya yang tidak tidak”
Karena malam itu sangat gelap gulita, maka para nelayan itu menghentikan perahu mereka sesaat agar tidak tersesat di lautan luas. Kemudian terdengarlah suara orang berbicara dan ombak air bergelombang besar.
“Suara apa itu?” tanya seorang nelayan.
Namun karena mereka tidak dapat melihat apa apa, maka mereka pun hanya terdiam saja. Dan kemudian beberapa saat kemudian, gerhana bulan pun selesai. Cahaya bulan kembali bersinar terang. Para nelayan itu kemudian melihat ke arah dimana suara aneh itu datang, dan saat mereka berpaling, terlihatlah sebuah logam baja raksasa bergambar wajah yang menyeramkan.
“Ah Naga raksasa! Ayoo kabur,” teriak salah seorang nelayan.
Namun yang mereka lihat bukanlah seekor naga, namun sebuah kapal raksasa yang berlabuh tepat di depan mereka. Kapal itu berbekal sebuah logam raksasa bertulisan huruf aneh yang menyerupai huruf sansekerta.
“Brak!”
Kapal raksasa itu menabrak perahu nelayan dan para nelayan pun hanyut terseret ombak raksasa yang berasal dari kapal raksasa itu. Salah seorang nelayan sebelum tenggelam ke dalam laut, ia pun merasa kaget dan tidak percaya apa yang baru saja ia lihat. Di belakang kapal raksasa tersebut, ada ribuan kapal raksasa lainnya mengikuti dari belakang. Di setiap tepi kapal ada tiang bendera besar yang melambai-lambai. Bendera itu berwarna kuning emas dan bergambarkan naga yang sedang bersiap perang.
Nelayan itu berteriak,
“Tolong!” dan dari jauh terlihatlah ada seorang pria berdiri di tepi kapal. Pria itu memakai baju perang aneh yang terbuat dari baja. Kepala pria itu botak dan ada rambut panjang terkepang lurus kebawah di atas kedua telinga mereka. Pria itu mengambil suatu benda dimana nelayan tersebut tidak dapat melihatnya, karena sinar bulan yang terang sedikit terhalang kapal. Tiba-tiba sebuah anak panah besar melayang dan tertancap tepat di leher nelayan tersebut. Nelayan itu pun mati dan tenggelam di laut Jawa. Ternyata kapal-kapal raksasa itu adalah kapal milik kerajaan Monggolia dari daratan utara.
Seorang pria yang baru saja memanah nelayan itu ternyata adalah seorang tentara perang. Ia pun pergi ke dalam kapal dan melaporkan yang baru saja ia lakukan kepada atasannya.
“Apakah ada yang berhasil lolos,” tanya atasannya.
“Tidak Jendral Subodai”. Setelah itu ia pun pamit dan kembali ke posnya.
“Ha.. ha.., akhirnya kita bisa menghancurkan kerajaan Kertanegara,” jawab seorang panglima yang berdiri disamping sang Jendral.
Lalu jendral Subodai pun berkata,
“Jangan terlalu buru-buru panglima Meng Chi, Aku tidak mau perang ini gagal karena dendammu dengan raja Kertanegara”.
Setelah mendengar itu lalu panglima Meng Chi pun geram dan berkata,
“Kau tidak pernah merasakan malunya wajah seseorang di lukai dengan pedang”.
Jendral itu hanya terdiam, lalu bangun dari tempat duduknya dan berjalan untuk istirahat ke kamarnya. Beberapa saat kemudian, ribuan kapal raksasa tentara Mongol telah memasuki Pantai Utara Jawa.
Akhirnya pagi pun tiba, kapal Mongol pun merapat ke pantai Jawa. Sekitar 13000 Tentara berkuda dipimpin oleh Jendral Subodai, dan panglima Meng Chi keluar dari kapal dan berjalan menuju Kerajaan Kertanegara. Tentara Mongol itu berjalan dari pagi hingga siang hari dan tidak menemukan petani maupun warga sekitar.
“Bah, dimana orang-orang? Apakah mereka semua mengumpat di bawah tanah” kata Meng Chi.
“Mungkin mereka sudah tahu kalau kita akan datang, dan mereka pun telah bersiap siaga” kata Jendral Subodai.
Beberapa saat kemudian, terlihatlah istana Kertanegara.
“Serang!” teriak Meng Chi dan ribuan tentara berkuda menyerang ke dalam istana dengan membabi buta.
“Jangan bodoh, mungkin didalam ada jebakan” teriak Subodai, namun segalanya sudah terlambat, dan sebagian besar tentara sudah masuk ke dalam istana. Subodai pun segera mengejar Meng Chi dan akhirnya terlihat lah Meng Chi di depan barisan tentara.
“Apa yang kau lakukan..” teriak Subodai.
Meng Chi tidak menjawab. Ia hanya melihat kedepan. Subodai pun mencoba melihat kedepan dan terlihatlah pintu gerbang istana yang telah hangus terbakar. Rumah-rumah penduduk telah hancur. Akhirnya mereka pun menjelajah istana itu dan menemukan banyak mayat tentara. Akhirnya mereka pun menemukan makam raja Kerajaan Kertanegara.
“Puih,” Meng Chi meludah kemakam itu lalu berjalan keluar dari istana.
Subodai pun akhirnya kembali ke Kapalnya. Pada malam harinya Meng Chi pun kembali ke kapal dengan membawa banyak tahanan. Para tahanan adalah rakyat desa sekitar yang memutuskan untuk tinggal didaerah itu. Setelah ditanya, para rakyat-pun menjawab bahwa Kerajaan kertanegara telah dihancurkan oleh Kerajaan Kediri. Meng Chi menjadi marah dan kecewa karena ia ingin sekali membunuh raja Kertanegara dengan tangannya sendiri. Karena emosinya maka ia pun mengeluarkan pedang dan membelah meja makan. Melihat itu maka Jendral Subodai mengeluarkan pedangnya dan menyerang Meng Chi, namun tidak membunuhnya.
“Aku sudah cukup muak melihat tindakanmu yang sembrono. Pagi ini kita bisa saja masuk jebakan musuh karena emosimu. Akulah pemimpin disini bukan kamu”.