-> -> bit.ly/andini-citras <- <-
*
Keunggulan Ebook ini:
- Halaman Asli, tersedia header dengan judul bab
- Baca dengan keras, Menjadi audio book dengan dibacakan mesin berbahasa Indonesia
- Teks Mengalir, menyesuaikan ukuran layar
- Ukuran font dan jarak antar baris kalimat bisa diperbesar atau perkecil sesuai selera
- Bisa ganti jenis font
- Warna kertas/background bisa diubah menjadi Putih, Krem, dan Hitam
----------
Contents
Memergoki Mbak Sekar—1
Seranjang dengan Tante Yeni —27
*
Sinopsis
Rudi mengenang pengalaman erotisnya ketika ia berusia 5 tahun bersama Sekar kakak sepupunya yang berusia 6 tahun lebih tua, dan Yeni yang baru lulus kuliah.
Pengalaman dengan Sekar ketika Rudi tanpa sengaja memergokinya dikamar tanpa busana setelah mandi dan dilanjutkan dengan penjelasan anatomi tubuh wanita olehnya
Pengalaman dengan Yeni ketika Rudi tidur seranjang dengannya
*
Pratinjau
Angin berhembus kencang di padang rumput yang ramai oleh celoteh nakal bocah-bocah kecil yang riuh menggiring ternak-ternak piaraan, di dusun kecil di pelosok Bojonegoro, sebuah kota kabupaten di Jawa Timur. Aku, sebut saja namaku Rudi, dengan bertelanjang dada dan kaki tanpa alas sandal, larut dalam kegembiraan bersama teman-teman kakak-kakak sepupuku. Aku yang terkecil di komunitas itu. Yang mampu ku ingat, usia ku baru 5 tahun saat itu. Sementara saudara-saudaraku yang lain, setidaknya 2 atau 3 tahun lebih tua dariku.
“Le, ayo ndang bali!” terdengar teriakan kakak perempuanku Sekar, memintaku bergegas untuk pulang.
Kami bersaudara, sangat akrab antara yang satu dengan yang lain. Sekar adalah anak tertua dari Bu Dhe, kakak ibuku. Ia tergopoh-gopoh menghampiriku, sambil berusaha menjangkau lengan kecilku yang licin oleh tetesan peluh.
“Ada apa kok mesti buru-buru pulang?” kataku menggerutu, sambil berusaha untuk mengeraskan pijakan kaki, pertanda aku enggan berlalu. “Lho.. Opo durung ngerti yen Bu Lek Yeni arep tindak menyang Semarang?” [“Lho, apa belum tahu kalau Tante Yeni mau pergi ke Semarang?”-pen.] “Enggak..” jawabku asal saja, karena aku masih kesal saat di paksa pulang bersama Kak Sekar.
Sebetulnya, aku sudah tahu rencana Tante Yeni yang hendak pergi ke Semarang untuk menengok salah satu keponakannya yang ada di kota itu. Kebetulan, saat itu ada libur satu minggu dari Sekolah, setelah usai ulangan catur wulan ke 2. Tentu saja maksud penjemputanku adalah untuk diajak serta oleh Tante Yeni pergi menemaninya ke Semarang.
“Males Mbak, aku penginnya main-main sama Mas Yogi, Mas Simin dan teman-teman yang lain,” rontaku dengan lagak acuh tak acuh setengah memohon, agar aku di perkenankan tidak mengikuti Vacancy [begitu biasanya Tante menyebut liburan-pen.].
Tampaknya usahaku tak ada hasil, mengingat Mbak Sekar masih saja tetap menggengam lengan ku, bahkan kurasakan agak lebih kencang dari sebelumnya, pertanda itu adalah harga mati yang tak mungkin bisa ditawar-tawar lagi. Rasanya tak ada gunanya lagi meronta, yah..
Terpaksa deh pasrah.
Sesampai di rumah, ku lihat Tante Yeni sudah tampak rapi bersiap untuk segera pergi. Dari kejauhan, nampak Ia sibuk mempersiapkan barang-barang yang harus di bawa nanti. Aku tersenyum kecut, penuh rasa takut campur malu, saat suara Tante menggelegar memecahkan keheningan suasana.
“Dolan wae, ayo gek ndang cepet adus, terus melu Bu Lek” begitu nampak olehnya batang hidungku.
“Sini, kakak mandiin,” ujar Kak Sekar menawarkan bantuan. “Ah.. Enggak, aku mandi sendiri” Aneh, untuk apa aku mesti malu sama dia? Bukankah aku masih kecil? Tapi aku tak mau berlama-lama. Segera saja aku menyiram tubuhku dengan air, begitu aku berada di kamar mandi. Sambil mengangkat gayung, lamunanku pun melayang mengingat kejadian semalam. Tak terasa aku bergidik jika membayangkan hal itu terjadi.
Malam itu, mendung tebal menggelayut di pekatnya langit. Tak nampak satu bintangpun di angkasa. Aku yang saat itu usai menonton siaran TV hitam putih, merasakan udara begitu panas, membuat suasana menjadi gerah, kurang nyaman.
“Wah.. Pasti mau turun hujan nih,” pikirku.
Saat itu, di kampung kami belum ada listrik, jadi untuk penerangan di malam hari, kami biasa menggunakan lampu petromak. Sementara kalau buat belajar, kami memakai lampu yang lebih redup, lampu teplok namanya. Entah karena ceroboh, atau memang takdirku, aku yang saat itu ingin meminjam karet penghapus ke Mbak Sekar, langsung saja nyelonong masuk ke kamar Mbak Sekar yang saat itu baru saja berganti pakaian tidur.
“Mbak..” aku tercekat tak mampu meneruskan kalimatku saat ia ku lihat juga sangat terkejut melihat kehadiran ku, yang sama sekali tak di duga-duga. Mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi entah, karena yang ada adalah kebisuan semata. Kami membeku oleh rasa takjub. Kalau aku tentu saja takjub karena mendapat pemandangan paliing mendebarkan, sementara Mbak Sekar karena tak menyangka adik sepupunya tiba-tiba hadir di saat ‘kritis’ semacam itu, hingga membuatnya terpana.
“Aduh.. mati aku,” hanya itu yang ia ucapkan pertama kali setelah tersadar dari keterkejutannya. Selanjutnya tangan-tangannya bergerak cepat berusaha menutupi tubuh 3/4 telanjangnya. Yang kumaksud yang tidak terbuka dari permukaan tubuhnya hanyalah separuh payudara dan celana dalam warna gelap, yang belum sepenuhnya tepat terpasang di pangkal pahanya.