Lelaki asal Jember itu termasuk berani. Ia, misalnya, mengungkap ‘derita’ yang dialami oleh agama lokal, seperti Bissu, Totalang, Parmalim, Samin, Tengger, Sunda Wiwitan, Wektu Telu, Bodhe, Kaharingan, dan lain semacamnya ketika proses Islamisasi dijalankan oleh para wali atau Kristenisasi yang diprakarsai oleh misionaris Barat. Dalam proses itu, para agamawan menggunakan mesin negara untuk menindas agama lokal. Puncaknya, pada era Orde Baru, pemerintah secara resmi membuat kategori agama resmi (agama negara) dan agama tak resmi (agama lokal). Jelas, agama resmi yang ‘menang’. Karena itu, tradisi, kebudayaan, dan kesenian lokal yang tidak sejalan dengan agama resmi dipaksa untuk ‘diselaraskan’. Sehingga, sekarang kita benar-benar tidak menemukan kebudayaan daerah dalam bentuknya yang asli, kecuali yang telah ‘distabilkan’ oleh negara (yang bekerja sama dengan agamawan atau ormas).