Menggunakan cara ini, persoalan kerumitan belajar aransemen nada yang lazim disebut ‘cengkok’ paling tidak bisa diatasi, dan tidak menjadi faktor yang mempersulit proses pembelajaran. Sebagai catatan, persoalan pembentukan dan pengembangan cengkok yang bersifat pribadi atau personal itu, pada dasarnya akan terbentuk dengan sendirinya, sejalan dengan berjalannya waktu; sesuai dengan kreatifitas, latihan, pembiasaan, dan kesukaan orang yang mempelajarinya. Dengan demikian, seseorang yang mempelajari tembang suluk ini, akan mempunyai setidaknya dua pilihan utama, yaitu:
a) Membentuk dirinya, sedemikian rupa, sehingga mempunyai cengkok khas yang sesuai dengan kesukaan dirinya, tetapi tetap menggunakan susunan nada Laras Slendro Jejeg; atau, menggunakan tangga-nada Slendro Mayor, sehingga cenderung akan memperoleh pelantunan tembang suluk yang bergaya Sura-Karta atau Yogya-Karta. Atau paling tidak mendekati gaya itu.
b) Membentuk dirinya, sedemikian rupa, sehingga mempunyai cengkok khas yang sesuai dengan kesukaan dirinya, tetapi tetap menggunakan susunan nada Laras Slendro Barang Miring; atau, menggunakan tangga-nada Slendro Minor, sehingga cenderung akan memperoleh pelantunan tembang suluk yang bergaya Pesisir.
Pilihan atas kedua alternatif itu, diserahkan kepada pelaku sendiri, termasuk pengembangan cengkok dan luk tembang suluk, yang dipandang sesuai dengan kepribadian dan keinginan dirinya.
Belajar menabuh gamelan dan pedhalangan, sejak duduk di bangku SMP, di Kota Sala-Tiga. Memperdalam studi tentang pembuatan gamelan dan renik-reniknya dalam rangka penyusunan skripsi, saat menempuh pendidikan tingkat akhir di Jurusan Desain Produk, Institut Teknologi Bandung, pada sekitar tahun 1980-an. Aktif sebagai pegiat budaya dan kesenian Jawa di unit Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan Jawa (PSTK), Institut Teknologi Bandung, sejak tahun 1974 sampai sekarang. Menulis buku budaya 'Serat Kandha Gamelan Jawi' yang diterbitkan oleh Penerbit ITB, dan buku "Bayang-Bayang Kisah Wayang' yang diterbitkan oleh google book.