Bungaran Antonius Simanjuntak, lahir di kampung Sosor Pahu, Kecamatan Sipahutar tgl 24 Juni 1941. Anak dari pasangan Aflfred Simanjuntak dengan Elina br Silitonga. Punya saudara seorang bernama Hasurungan Simanjuntak tinggal di Jakarta. Penulis menikah dengan Netty Flora Hutabarat gadis asal Pematang Siantar yang lahir di Tarutung, 1945. Keturunan mereka sekarang berjumlah dua puluh tiga orang, termasuk cucu-cucu.
Pendidikan penulis dimulai di kota Kisaran, di Sekolah Rakyat (sekarang SD) Taman Siswa. Baru kelas enam penulis pindah ke sekolah negeri di perkebunan Belanda Rubber Cultuur Matchappij Amsterdam (RCMA) di Gunung Bayu dekat kota Perdagangan. Pendidikan dilanjutkan di kota Pematang Siantar tingkat SMP dan SMA, pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada (1960) di Yogjakarta dan ke Instituut Voor Culturele Antrhopologie (ICA) Rijks Universiteit Leiden negeri Belanda, tahun 1977-1978 (tinggal di Condorhorst) dan 1987-1988, tinggal di Buurhavelaan 29 Leiden.
Penulis sejak di sekolah menengah pertama telah menulis puisi bersama teman-teman seniornya, antara lain, R.P.Sitanggang, Rifai Harahap alias Dogerdo Vareira. Bahkan, saat penulis masih kelas 2 SMA, mereka bertiga telah membentuk satu lembaga bernama Lembaga Kebudayaan Indonesia Simalungun, yang dekat dengan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Ketika studi di Yogjakarta, penulis bergabung dengan tokoh-tokoh sastra , misalya, Pater Dick Hartoko, W.S.Rendra dan bersama dengan sastrawan muda lainnya. Selama di Pematang Siantar penulis mengirim karya puisinya ke surat-surat kabar terbitan Medan waktu itu, yakni Harian Utusan, Harian Patriot. Dari Yogjakarta penulis mengirim karyanya ke harian KAMI, dan ke majalah Sastra dan Horison untuk mendapat kritikan sastra dari pengasuh majalah itu, yang lebih senior dari penulis seperti H.B. Jassin.
Walau sibuk dengan pengajaran ilmiah dan buku-buku umum teks ilmu pengetahuan seperti Sosiologi, Antropologi, Metode Penelitian Sosial, Medical Sociology, dan Medical Anthropology, penulis puisi ini terus menuliskan pikiran, rasa, dan cita-citanya dalam bentuk puisi yang bernilai historis, emosi- kemanusiaan, maupun kemanusiaan universal. Dari kebiasaan itulah, buku kumpulan ini muncul dalam satu buku, walau jarak penulisan dan penerbitan puisinya itu sudah puluhan tahun. Berdasarkan aliran sastra terutama puisi yang dianutnya maka buku ini diberikannya ke Penerbit Obor untuk diterbitkan menjadi salah satu dokumen warisan dari penulis sebagaimana cita-citanya. Untuk itu, Penerbit Yayasan Obor Indonesia sangat berjasa dalam mewujudkan cita-citanya itu. (BAS/April 2014).